Unjuk Rasa
Oleh: Sudjarwo Guru Besar Ilmu-Ilmu Sosial di Pascasarjana FKIP Unila Dini hari tadi saya mendapat pesan group bahwa tanggal tertentu akan ada ujuk rasa besar besaran dalam rangka memperjuangkan salah satu undang-undang yang mengatur profesi pendidik...

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Ilmu-Ilmu Sosial di Pascasarjana FKIP Unila
Dini hari tadi saya mendapat pesan group bahwa tanggal tertentu akan ada ujuk rasa besar besaran dalam rangka memperjuangkan salah satu undang-undang yang mengatur profesi pendidik di tanah air ini. Unjuk rasa akan dilakukan karena “perbaikan” yang akan dilakukan oleh penguasa berkecenderungan menafikan profesi pendidik. Menurut beberapa kalangan ini adalah bentuk “cuci tangan” penguasa untuk melakukan penghematan anggaran negara tetapi dengan cara halus, tetapi menyakitkan.
Unjuk rasa dari hasil penelusuran melalui Wikipedia bermakna: adalah sebuah gerakan protes yang dilakukan sekumpulan orang di hadapan umum. Unjuk rasa biasanya dilakukan untuk menyatakan pendapat kelompok tersebut atau penentang kebijakan yang dilaksanakan suatu pihak atau dapat pula dilakukan sebagai sebuah upaya penekanan secara politik oleh kepentingan kelompok.
Walaupun dalam dunia pendidikan makna unjuk rasa dalam pengertian demonstrasi, dia adalah satu metode pembelajaran yang menampilkan proses sesuatu terjadi di depan peserta didik. Metode pembelajaran ini lebih diutamakan pada materi yang bersifat memerlukan pemahaman langsung atau disebut praktik.
Sementara itu makna unjuk rasa dalam pengertian alinea kedua sebenarnya memiliki sejarah panjang. Dari hasil penelusuran melalui Sosial 79 ditemukan informasi bahwa aksi unjuk rasa dilakukan pertama kali pada 71 tahun sebelum masehi oleh Spartakus, yaitu seorang pemimpin budak. Semula gelombang unjuk rasa ini kecil, namun kemudian membesar sampai diperkirakan 120 ribu orang. Mohon diingat, ukuran jumlah pada waktu itu ini adalah cukup besar. Demonstrasi ini mengguncangkan Italia pada waktu itu. Saat itu para demonstran melakukan penjarahan di mana-mana. Setelah Marcus Licinius Crassus sebagai Komandan Militer pada waktu itu melakukan penekanan secara militer, barulah demonstrasi ini bisa dipadamkan.
Jika kita mau sedikit mengendapkan pikir dan rasa kita, apalagi dalam konteks ingin menampilkan sesuatu untuk proses pembelajaran, maka unjuk rasa itu sebenarnya perbuatan baik. Apalagi jika ingin menampilkan kepiawaian dalam arti tidak sombong, congkak, atau ujub. Menjadi persoalan manakala itu ditampilkan dalam konteks demonstrasi atau demo dalam arti menuntut pihak lain untuk melakukan apa yang kita inginkan. Dan ini sekarang yang banyak terjadi di akhir-akhir ini.
Unjuk rasa dengan pola lain pernah terjadi pada masa Kerajaan Mataram. Saat itu jika ada rakyat yang ingin menyampaikan aspirasi, mereka cukup duduk tidak pakai baju di alun-alun saat berlangsunnya pasewakan agung (pertemuan besar). Cara ini disebut pepe atau berjemur di terik matahari tanpa baju. Begitu pasewakan agung selesai, raja akan memanggil rakyatnya yang sedang pepe tadi untuk dimintai keterangan apa gerangan yang terjadi pada dirinya. Inilah salah satu bentuk demokrasi tradisional Jawa masa lampau. Begitu masuk penjajahan Belanda serta banyaknya kebijakkan raja yang tidak memihak rakyat, maka pudarlah aturan yang baik tadi.
Dalam kondisi sekarang, unjuk rasa dapat dilihat dari banyak perspektif atas dasar apa yang diunjukrasakan, siapa yang melakukan, untuk apa tujuannya, dan seberapa banyak orang yang terlibat. Bisa jadi, untuk menunjukkan bahwa demokrasi itu hidup, maka unjuk rasa itu direkayasa untuk ada, bahkan pembiayaan unjuk rasa pun sudah termasuk dalam rancangan awal. Atau unjuk rasa sudah diperhitungkan akan ada, maka pembiayaan disiapkan untuk menanggulanginya. Bisa pula bahwa unjuk rasa itu akan terus ada karena diposisikan sebagai kelompok penyeimbang sebagai syarat sahnya demokrasi, dan untuk ini dilegalkan serta dibiayai. Namun tidak menafikan ada unjuk rasa yang benar-benar benar dilakukan atas nama hati nurani untuk memperjuangkan sesuatu keyakinan atau yang diyakini akan keharusan keberadaannya.
Semua bentuk unjuk rasa di atas ternyata mengharuskan kita dalam melihat hendaknya memahami terlebih dahulu apa, siapa, dan mengapanya. Karena tidak jarang unjuk rasa sudah berkelindan dengan unjuk kerja, sehingga di sana ada transaksional terselubung yang tidak tampak, karena kesempurnaan dalam penyamaran.
Unjuk rasa adalah salah satu metoda penekanan yang efektif dalam perspektif sosiologis, namun pada sisi lain juga adalah metode dalam politik untuk membangun opini sehingga menjadikan tujuan lebih mendekat untuk menjadi sasaran. Menjadi persoalan adalah untuk masing masing kepentingan tidak jarang sasaran ini diperebutkan, sehingga semula teman menjadi berhadapan karena yang ada di sana adalah kepentingan bukan persahabatan. Oleh karena itu, tidak aneh jika yang mengangkat ditangkap, yang diangkat selamat.
Sayangnya, unjuk rasa ini pada pelaksanaan meminta korban, terlepas apa bentuk korban itu; bisa material bisa juga nonmaterial. Lebih dahsyat lagi adalah adanya upaya transaksi untuk biaya politik, yang ini diperuntukkan pengerahan masa guna pencapaian yang diinginkan; yang tentu saja makin banyak personil dikerahkan, maka makin besar biaya operasional yang diperlukan.
Konon ada juga yang berpendapat unjuk rasa juga ada kaitannya dengan unjuk tangkap tangan; mengingat biaya operasionalnya cukup besar, maka sayang jika tidak keluar. Mulai di cari siapa yang bakal dijadikan sasaran. Oleh karena itu, bisa saja tikus gurun dijadikan mangsa, sementara kera gabon yang rakus dibiarkan bergelantungan di atas pohon, karena dana yang tersedia tidak mampu menjangkau tingginya pohon. Atau, bisa jadi kera gabon mampu memberikan rasa nyaman kepada sesama.
Selamat menikmati kopi pahit di akhir pekan.