Ujian Nasional Bukan Ajang Adu Gengsi

Gunawan Handoko* Ujian Nasional (UN) bagi para siswa SMA dan SMK serta Lanjutan Atas yang sederajat baru saja usai. Ternyata UN masih saja menjadi momok yang menakutkan bagi para siswa. Selain harus belajar ekstra, para orang tua pun turut an...

Ujian Nasional Bukan Ajang Adu Gengsi
Gunawan Handoko*

Ujian Nasional (UN) bagi para siswa SMA dan SMK serta Lanjutan Atas yang sederajat baru saja usai. Ternyata UN masih saja menjadi momok yang menakutkan bagi para siswa. Selain harus belajar ekstra, para orang tua pun turut andil dalam menciptakan ketegangan putra-putrinya dengan menerapkan aturan khusus menjelang pelaksanaan UN. 

Bukan itu saja, isu adanya praktik jual beli kunci jawaban membuat para siswa semakin gelisah dan merasa dikhianati atau didzolimi. Adalah menjadi kewajiban kita bersama untuk menciptakan suasana tenang bagi anak-anak kita setiap kali menghadapi UN. Termasuk para pengamat dan komentator, agar berhenti membuat gaduh setiap menjelang pelaksanaan UN. Curiga boleh, tapi jangan sampai menimbulkan kesan yang mencekam seolah-olah UN sesuatu yang membahayakan dan harus diawasi dari segala penjuru, seperti halnya mengawasi peredaran narkoba atau tindak pidana korupsi. 
Sebaliknya, kita wajib memberikan motivasi kepada anak-anak bahwa UN bukanlah apa-apa, hal yang biasa-biasa saja. Hanya sekedar untuk mengukur apakah siswa setelah menempuh pendidikan selama 3 tahun telah menguasai materi yang diajarkan. Kita semua yang pernah sekolah juga menempuh ujian serupa, cuma namanya saja yang beda. 
Kepedulian para Kepala Daerah (Bupati dan Walikota) dengan melakukan kunjungan ke sekolah-sekolah pada saat pelaksanaan UN, hal itu baik dalam rangka memberikan semangat dan motivasi. Hanya saja ’road show’ yang dikuti serombongan Punakawan tersebut justru telah mengganggu konsentrasi anak-anak. Apalagi jika para pejabat sampai masuk-masuk ke ruang kelas dan memberikan sepatah dua patah kata, untuk apa? Selain melanggar ketentuan yang ada, yang pasti konsentrasi anak menjadi buyar
Kepada para Bupati dan Walikota janganlah pasang-pasang target kelulusan sekian prosen. Statemen seperti itu justru akan mendorong terjadinya perbuatan curang yang dilakukan bawahannya, untuk menempuh segala cara agar kelulusan bisa mencapai yang ditargetkan. UN bukan untuk kepentingan ’adu gengsi’, maka harus ditempatkan dalam konteks yang benar. Bila praktik curang masih saja dilakukan, hal tersebut bukan saja mencederai hak anak, namun akan menghambat proses perbaikan mutu pendidikan yang masih seperti gulungan tali kusut. 
Maka, pilihan yang paling arif bagi kita adalah untuk bersikap sportif bahwa setiap orang pasti mempunyai keterlibatan dalam permasalahan ini. Masing-masing pihak harus tumbuh ‘minat’ secara sungguh-sungguh untuk mengurai gulungan tali yang kusut tadi. 
Bicara masalah pendidikan bukanlah semata menekankan pada konteks ‘hasil’, namun lebih menekankan pada sebuah perjalanan luar biasa yang selama ini kita sebut sebagai ‘proses’. Proses yang bernama pembiasaan, proses yang bernama pembelajaran dan proses yang menyimpulkan pada sebuah tantangan besar. Inilah saatnya untuk berbuat menuju perubahan, merubah pemikiran kita semua bahwa menjadikan pendidikan yang berkualitas kepada bangsa ini bukanlah hal yang tidak mungkin.
Setiap dari kita dapat mulai berbuat sesuai dengan peran masing-masing, untuk selanjutnya bersinergi.
*Gunawan Handoko, Ketua Harian KMBI (Komunitas Minat Baca Indonesia) Provinsi Lampung.