Willy Pramudya
Sialnya saya terlanjur berani menasibkan diri menjadi penyuka kata sebagaimana saya menjadi penyuka lodeh, sambel goreng petai, kapri juga sambel terasi. Ya, penyuka kata, bukan pegulat bahasa seperti para sastrawan, ilmuwan, dan munsyi. Paling jauh saya hanya berani menyatakan diri sebagai penggemar bahasa (Indonesia) seperti saya menggemari sastra Indonesia, terutama karya-karya Pram, Rendra, Mangun, Thukul, GM, Seno, Ayu, Sulak, dan lain-lain.
Tali-temalinya tentu saya juga menyukai deretan kata dalam berbagai wacana yang hadir di depan mata dan/atau telinga. Mungkin seperti orang lain yang senasib, saya paling suka menikmati kejutan-kejutan yang ditimbulkannya. Entah itu timbul karena pilihan kata dan penjahitannya, entah karena komposisinya atau karena puncak virtual yang tercapai. Mungkin sekarang disebut nendangnya.
Saya juga sangat terkejut ketika membaca berita berjudul “Pengacara Polri: Bila 425 Ribu Polisi Mogok Bisa Chaos, Kalau KPK Mogok Masih Aman!” yang linknya dipercikkan ke halaman facebook –saya rudapaksa menjadi “fesbuk”– oleh kawan Bem Simpaka. Artinya saya beroleh kejutan dari judul berita itu. Lepas dari kaidah dan prinsip-prinisip dasar jurnalistik, bahasa, dan etika yang terabaikan, saya merasa penulis berita dan terutama nara sumber berita itu sukses besar dalam menyamoaikan tendangannya. Dia berhasil mengirimkan pesan “khusus”-nya.
Ketika membaca ulang berita itu, selain menemukan pesan khusus, saya juga menemukan bahwa Frederick Yunadi, pengacara Polri yang tengah menangani kasus BG adalah narasumber dan pengacara yang pandai. Setidaknya dia pandai menendangm mengejutkan banyak orang dan mengirimkan pesan secara efektif. Perhatikan deretan kalimat yang dikutip dalam berita yang ditayangkan detik.com pada Senin, 02/02/2015 14:35 WIB ini. “Kalau 425 ribu polisi mogok, apa yang akan terjadi? Bisa chaos. Kalau KPK mogok, 1 tahun saja ada polisi sama jaksa yang nanganin korupsi, masih aman,” yakin Frederick yang dulu juga menjadi pengacara Komjen (Purn) Susno Duadji, Senin (2/2). Sangat mengejutkan bukan?
Tapi kali ini kejutan yang dihadapi publik, minimal saya bersama orang-orang yang merespon melalui media sosial (Medos), jauh panggang dari kejutan yang lazim diperoleh saat membaca Pram, Rendra, Seno, Thukul dll itu. Saya merasa kepandaian pengacara yang mewujut dalam deretan kalimat terkutip itu tak memberikan kenikmatan akan keindahan juga gizi bagi otak dan batin. Alih-alih ia lebih merupakan kepandaian “profesional” di hadapan kliennya, yang tentu amat bermanfaat bagi dirinya. Dalam beberapa berita lain dia juga terlihat memiliki kepandaian yang sama. Setidaknya cukup tampak pandai dalam berhitung.
Sayang Yunadi tak menghitung dampak atas ucapannya. Dampak itu bisa dilihat antara lain di medsos. Melongok dan mengintip berbagai respon di sana, saya beroleh catatan bahwa deretan kalimat yang dia lontarkan lebih ternilai sebagai provokasi sekaligus ancaman kepada publik. Juga ada semacam pesan yang ingin ditekankan betapa tidak pentingnya KPK. Banyak pefesbuk yang tak habis pikir. Sampai-sampai ada yang mempertanyakan kualitas pengacara ini karena ia justru dinilai mengadvokasi potensi pembangkangan polisi..
Tak jauh dengan respon banyak pefesbuk saya memandang ungkapan itu sebagai intimidasi bahkan teror terhadap rakyat, terutama rakyat “tak jelas” yang menjadi pendukung pemberantasan korupsi. Mungfkin para pegiat pemberantasan korupsi tak mudah terteror karena sudah terbiasa diteror. Ya kalimat si pengacara ini terasa sebagai teror. Isi pesannya: “Kalian jangan main-main sama polisi! Kalau polisi mogok maka negara bisa kacau!” Tapi terterorkah rakyat?
Kalau membaca respon publik medsos, saya mwemang melihat deretan kata itu berhasil meneror. Tapi mereka tidak takut. Aliah-alih takut, kebanyakan mereka marah. Sebagian lain malah bersorak-hore dan mempersilakan polisi mogok.Ada juga yang secara emosional mempersilakan polisi bubar atau dibubarkan saja dengan berbagai alasan. Utamanya rata-rata karena insitusi ini dianggap korup. Bukan hanya oknumnya. melainkan bahkan institusinya, meskipun bagi saya ini penyamarataan. Tapi hampir semua survei yang mengukur kinerja Polri baik untuk tingkat persepsi maupun empiris, menunjukkan “dosa” mereka memang bagai tak terampunkan. Sampai-sampai Prof. Mochtar Pabottinggi berkomentar: “Dari saya tetap ini Bung: Di negara mana pun, kepolisian yang dilanda kanker korupsi akan menjadi “negara” di dalam negara yang memangsa negara dan bangsa sekaligus.”
Bagi saya ungkapan pemngacara itu juga terasa sebagai hal gegabah. Pertama, kalau ia ditujukan untuk mengancam, mengintimidasi bahkan meneror rakyat secara luas, sepertinya rakyat tak takut. Mengapa? Karena selama ini rakyat sudah terbiasa ditinggal oleh negara dalam mengahdapi persoalan yang seharusnya dilindungi dan dilayani negara, termasuk dlaam berurusan dengan keamanan. “Negara dan “negara dalam negara” sudah terlalu terbiasa mangkir. Tak hadir. Karena itu rakyat tak takut lagi. Tentu juga karena masih ada aparatus negara lainnya yang bisa dikerahkan kalau polisi mogok. Tapi terutama rakyat telah terbiasa menjaga diri sendiri meski bida dikhawatirkan akan muncul vigilante.
Kedua, Yunadi lupa bahwa tak semua polisi masih militeristis dan tak profesional. Banyak polisi yang sudah sangat sipil sekaligus profesional. Masih bisa dijumpai polisi yang jujur dan selalu tulus mengabdi. Masih banyak yang paham makna terdalam esprit de corps dan cara menerapkannya. Jadi di sini ungkapan Yunadi justru mudah berbalik meneror insitusi polisi sendiri.
Ah sudahlah. Ini kesalahan saya. Mengapa saya menasibkan diri menjadi penyuka kata-kata, penggemar bahasa. Tapi nanti dulu. Bukankah manusia itu makhluk pendongeng dan bercerita. Dengan demikian adalah makhluk berbahasa dan makhluk berbicara. Bukankah manusia hanya bisa membangun hubungan yang baik dengan lian hanya lewat bahasa? Bukankah mengembangkan diri menjadi apapun, termasuk menjadi pengacara juga melalui bahasa? Tak percaya? Sila abaikan bahasa dalam hidup. Nah, bahasa meminta kita berhati-hati dalam hidup.
Uff, saya jadi teringat kata-kata bijak Dalai Lama saat berdialog dengan teolog pembebasan terkenal asal Brazil, Leonardo Boff. “Akhirnya dia (Dalai Lama) berkata: ‘Berhati-hatilah terhadap pikiranmu karena ia akan menjadi perkataan. Berhati-hatilah dengan kata-katamu karena ia akan menjadi tindakan. Berhati-hatilah dengan tindakanmu karena ia akan menjadi kebiasaan dan cermin hidupmu'”.
Dan jangan lupa Tuan Pengacara: rakyat “tak jelas” tak mempan diteror dengan kata-kata!