Tengil

Oleh: Sudjarwo Guru Besar Ilmu Ilmu Sosial pada FKIP Unila Pagi menjelang siang ada dua orang tamu mahasiswa program doktor yang sengaja mengajak diskusi calon disertasinya sekaligus membahas isu nasional masa kini. Dalam debat terucaplah kata sepert...

Tengil

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Ilmu Ilmu Sosial pada FKIP Unila

Pagi menjelang siang ada dua orang tamu mahasiswa program doktor yang sengaja mengajak diskusi calon disertasinya sekaligus membahas isu nasional masa kini. Dalam debat terucaplah kata seperti judul di atas. Lalu terbersitlah ingin mendalami maknanya agar diksi itu tidak hilang ditelan ombaknya zaman.

Tengil ternyata banyak arti yang melekat, di antaranya: ngeselin, sifatnya seperti bocah, nakal, bawel, bisa juga keras kepala. Contohnya: “Tengil amat sih lo dibilangin, anak baru aja udah tengil amat”. Berikutnya arti Tengil adalah belagu atau sombong yang mengarah pada belagu, atau keras kepala.

Untuk pemaknaan lebih esensi kebahasaan, kita serahkan kepada ahlinya untuk membahas lebih jauh; sementara pada tulisan ini lebih dimaknai sebagai belagu atau keras kepala. Walaupun bisa jadi kedua wakil itu tidak mampu mewakili secara total dari sesuatu yang diwakilinya. Hal ini terjadi karena cakupan dari esensi lebih luas dan dalam dibandingkan dengan lambang yang mewakili.

Kerangka pikir di atas jika kita gunakan untuk mendedah peristiwa-peristiwa sosial yang berkelebat di hadapan kita, baik yang kita simak langsung, maupun tidak langsung karena menggunakan media; maka akan tampak sekali bagaimana setiap episode dari peristiwa itu ada tokoh yang muncul berperilaku “tengil”. Ketengilan ini ada yang memang merupakan bagian dari skenario yang harus diperankan, atau mencuri waktu dan kesempatan untuk mentengilkan diri. Dua hal yang berbeda dan perlu kita cermati dengan sungguh sungguh, karena dampak yang diakibatkannya sungguh luar biasa.

Jika itu adalah bagian dari skenario, maka ketengilan itu adalah by design. Artinya direncanakan. Oleh karena itu, kita tidak perlu marah, gundah, membenci, atau apapun sifat kurang baik lainnya. Karena itu bagian dari pentas dunia, justru sebaiknya kita nikmati dan tertawalah pada adegan itu. Bisa dibayangkan hanya dalam tempo sesingkat-singkatnya semua bisa diubah karena kekuasaan. Pada posisi ini maka kekuasaan sedang diperankan sebagai ketengilan; saking tengilnya sampai mahasiswa program doktorpun tidak bisa menerka tingkat ketengilan ini.

Jika itu merupakan pencurian atau pemanfaatan waktu untuk mentengilkan diri, tentu ini memiliki resiko tinggi, meminjam istilah Presiden Pertama kita dulu, kondisi ini adalah “Vivere pericoloso” (sebuah frasa bahasa Italia dari kata vivere, “hidup”, dan pericoloso, “berbahaya” yang berarti “hidup penuh bahaya” atau “hidup menyerempet bahaya”). Ini dapat kita ambil contoh ada seorang yang mengaku diri ilmuwan tetapi menjadi korban keganasan demonstran saat dirinya ingin berperilaku tengil , dan tidak pelak lagi yang bersangkutan menjadi bulanbulanan, untung nyawanya diselamatkan oleh aparat, yang selama ini aparat penyelamat itu menjadi sasaran olok olok dirinya pada acara acara yang digelar oleh yang bersangkutan. Bahkan,ketengilan pun bisa terjadi di dunia ilmiah. Ambil contoh, pimpinan lembaga ilmiah, yang seharusnya bisa memberi ruang untuk kritik kepada siapapun; karena sifat ketengilannya, maka ruang kritik itu hanya untuk orang lain dan atau kepada orang lain, sementara untuk dirinya atau kelompoknya, tidak berlaku. Inilah ketengilan tingkat dewa yang sering tidak kita sadari bahwa ketengilan ternyata bisa menjadi waham.

Dengan demikian ketengilan itu berpotensi ada pada setiap manusia, tidak melihat tingkat pendidikan, jabatan, jenis kelamin, dan pembeda lainnya. Persoalannya adalah jika kita sudah mengetahui keberadaan potensi itu ada pada diri kita, apakah potensi negative itu akan kita salurkan. Tentu jawabannya sangat relative dan subyektif sekali; dan ini sekaligus menunjukkan bahwa manusia memiliki kelengkapan hidup yang bisa berlaku tengil. Menariknya, ketengilan ini bisa menghinggapi juga pada organisasi atau sistem keorganisasian; yang dibangun oleh oknum penggerak yang ada didalamnya. Tentu saja dengan tujuan tertentu, dibangun serapi mungkin, dan dibuat proteksi sekuat mungkin. Sehingga jika ada yang complain, mereka akan seolah masuk ketaman sesat atau taman labirin; bisa masuk sulit keluar, minimal dibuat bingung.

Sekarang bagaimana kita meminimalkan efek negatif ketengilan? Tentu ini bukan perkara mudah,  karena memerlukan tingkat kesadaran yang tinggi. Sama halnya kita mengawali dari Bismillah untuk menuju mengakhiri menjadi Alhamdullilah. Ini memerlukan proses panjang, dan tidak jarang melelahkan. Namun tidak ada hidup tanpa masalah, dan tidak ada perjuangan tanpa rasa lelah. Namun, dengan rahmat dan karunia-Nya semua menjadi indah.

Belajar dari itu semua mari kita berangsur menghindarkan diri dari ketengilan diri, karena tidak ada masalah yang tidak ada jalan keluarnya. Pembuat gembok pasti juga membuat kunci untuk membukanya. Demikian juga Tuhan tidak pernah memberikan masalah tanpa solusi. Hanya tetap ikhtiar, usaha, sabar, dan doa merupakan jalan yang harus ditempuh untuk mencapainya. Jangan tanyakan tempat dan waktu, karena itu bukan milik kita.

Selamat ngopi menunggu imsyak.