Percaya Tetapi Tidak Takut

Oleh: Sudjarwo Guru Besar Ilmu-Ilmu Sosial Pascasarjana FKIP Unila Pada saat berkirim artikel yang terbit pada media ini ke salah seorang yunior dulu yang sekarang memangku jabatan tertinggi di suatu Fakultas, Doktor Ekonomi ini memberi komentar lebi...

Percaya Tetapi Tidak Takut

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Ilmu-Ilmu Sosial Pascasarjana FKIP Unila

Pada saat berkirim artikel yang terbit pada media ini ke salah seorang yunior dulu yang sekarang memangku jabatan tertinggi di suatu Fakultas, Doktor Ekonomi ini memberi komentar lebih kurang bunyinya: sekarang banyak orang yang percaya pada Tuhan tetapi Tidak takut pada Tuhan. Komentar ini membuat perenungan yang dalam, dan jadilah judul tulisan seperti komentar tadi, tentu saja melalui pendekatan filsafat manusia menjadi prioritas sebagai pisau bedah masalah.

Menurut Jogo Kata, “percaya” itu memiliki paling tidak empat arti, yaitu pertama, mengakui atau yakin bahwa sesuatu memang benar atau nyata. Contoh: ‘percaya kepada ceritanya percaya akan kabar itu’. Kedua, menganggap atau yakin bahwa sesuatu itu benar-benar ada contoh: ‘percaya kepada barang gaib’. Ketiga, menganggap atau yakin bahwa seseorang itu jujur (tidak jahat dan sebagainya), contoh: ‘beliau tidak percaya lagi kepada Amir’. Keempat, yakin benar atau memastikan akan kemampuan atau kelebihan seseorang atau sesuatu (bahwa akan dapat memenuhi harapannya dan sebagainya), contoh: ‘percaya kepada diri sendiri’.

Sedangkan kata “takut” itu juga memiliki empat arti, pertama merasa gentar (ngeri) menghadapi sesuatu yang dianggap akan mendatangkan bencana,contoh: ‘anjing ini jinak, engkau tidak perlu takut’, kedua, takwa; segan dan hormat, contoh: ‘hendaklah kita takut kepada Allah’. Ketiga, tidak berani (berbuat, menempuh, menderita, dan sebagainya), contoh: ‘hari sudah malam, aku takut pulang sendiri’, keempat, gelisah; khawatir (kalau …).

Selanjutnya untuk memaknai lebih jauh kita silahkan teman dari bahasa yang tentu lebih menguasai, pada tulisan ini ingin melihat bagaimana logica empirical kaitan antara Percaya dengan takut. Pola berpikir “karna, maka” yang dapat kita bangun dari keduanya dengan dasar pemikiran Al Ghazali adalah: Pertama, karena percaya, maka takut.

Pola hubungan seperti ini lebih kepada hubungan pada Tuhan. Karena percaya bahwa Tuhan adalah segalanya, maka apapun tindakan kita pasti diketahui dan berbalas. Jika berbuat baik, maka akan berbalas baik, demikian juga sebaliknya, jika berlaku tidak baik, maka akan mendapatkan balasan tidak baik. Percaya yang disertai takut seperti ini, jika dikaitkan dengan kepercayaan kepada Tuhan; maka semua perilaku akan terkontrol dan terukur dengan norma agama, atau keyakinannya.

Kedua, karena tidak percaya, maka takut. Pola hubungan seperti ini bisa terjadi pada mereka yang memiliki pengalaman psikologis yang tidak mengenakkan tentang sesuatu. Sekalipun sudah diberi pemahaman, tetap saja kesan yang telah terpendam dalam ingatan lebih dominan; oleh sebab itu rasa takut menjadi sangat berlebihan.

Ketiga, karena percaya, maka tidak takut. Pola hubungan seperti ini lebih kepada rasa percaya yang penuh terhadap sesuatu, maka dapat menghilangkan rasa kekhawatiran atau rasa takut. Contoh yang dapat kita ambil adalah, anak anak merasa nyaman dan tidak takut jika ada orang tua berada didekatnya.

Keempat, karena tidak percaya, maka tidak takut. Pola hubungan seperti ini sangat lumrah ada pada sekitar kita, contoh kecil, karena tidak percaya akan adanya hantu, maka merasa tidak takut sekalipun ada yang mengatakan ada hantu.

Dari keempat pola di atas, pola pertama adalah pola yang sangat realistis, pola karena percaya, maka takut, menunjukkan adanya hubungan esensial. Terutama yang berkaitan dengan keilahian, seperti telah disinggung di atas. Justru yang banyak terjadi adalah kehilangan kata “karena” dan kata “maka”, pada pola tiga dikaitkan dengan rasa berkeilahian. Hal ini yang menjadikan kerusakan di mana mana. Pola yang ditampilkan adalah menjelma menjadi percaya akan Tuhan, tetapi tidak takut Tuhan. Padahal, dengan rahmat dan kasih sayang-Nya uhan masih melindungi mahluknya dari rasa malu, dengan cara tidak membalas langsung semua perbuatannya di dunia, akan tetapi nanti di alam sana. Bisa dibayangkan jika setiap kesalahan dan kebaikan langsung di balas di dunia ini, tentu akan terjadi kekacauan yang luar biasa.

Namun sayangnya manusia tidak memahami esensi semua itu, sehingga jika di tanya akan ketakutannya pada Tuhan, akan menjawab “Ya”; namun perbuatannya mencerminkan kebalikannya. Contoh untuk ini tidak perlu dibentang pada halaman ini, tidak cukup waktu untuk membacanya, karena begitu banyaknya yang dapat ditampilkan. Semoga di bulan yang pernah berkah ini dapat menjadikan perenungan bagi kita semua akankah akan terus menerus melakukan perbuatan yang lisan kita mengatakan takut kepada Tuhan,tetapi perilaku kita justru sebaliknya.