Namaku Budi
Oleh: Sudjarwo Guru Besar Ilmu Ilmu Sosial di Pascasarjana FKIP Unila Pada suatu acara kegiatan ilmiah seorang mahasiswa tampil dengan memperkenalkan diri: “Nama saya Budi”. Sesaat, saya jadi ingat judul pembelajaran di Sekolah Dasar seki...

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Ilmu Ilmu Sosial di Pascasarjana FKIP Unila
Pada suatu acara kegiatan ilmiah seorang mahasiswa tampil dengan memperkenalkan diri: “Nama saya Budi”. Sesaat, saya jadi ingat judul pembelajaran di Sekolah Dasar sekitar tahun tujuh puluhan dengan juga menggunakan judul Budi, berikut menjadi… “Ini Budi”, “Ini bapak Budi”, “Ini Adik Budi….” Seorang kemenakan pada waktu itu meminta diajari membaca. Mengenalkan huruf kepadanya cukup kesulitan, dan harus memerlukan kesabaran.
Kata “Budi” sendiri jika melambangkan status sebagai nama benda atau yang dibendakan, termasuk orang), tidak menimbulkan persoalan; sekalipun diberi tambahan awalan maupun akhiran. Akan tetapi menjadi seru jika kata ini berposisi menjelaskan; sebab persoalan menjelaskan akan memberikan makna esensi bagi yang dijelaskan.
Kata inilah yang pada akhir akhir ini menjelma melalui proses alihmakna; sehingga menjadi begitu leluasa masuk kerelung kehidupan. Oleh karena itu, untuk mendalami teknik penggunan, kita persilahkan teman teman penggiat bahasa untuk melanjutkannya; bahasan kali ini kita melihat bagaimana gerak sosial kata “budi” dengan tambahan awalan maupun akhiran; mampu memberikan ilustrasi atau gambaran dari suatu peristiwa sosial.
Jika kita melihat gerak masyarakat yang ada pada akhir akhir ini banyak yang kehilangan akal budi; sehinga menampilkan perilaku yang tidak berbudi. Perilaku ini justru ditampilkan oleh banyak kalangan di banyak kanal media sosial, maupun pada dunia nyata. Berlindung atas nama kebebasan berpendapat atau berekspresi, maka seolah olah kita kehilangan akal budi, dan budi pekerti sebagai aturan tata pergaulan serta rasa tanggungjawab.
Secara filsafat sebenarnya parameter manusia yang membedakan dengan mahluk lain salah satu diantaranya adalah manusia memiliki akal budi; oleh karena itu martabat manusia juga sangat ditentukan akan keluhuran akal budinya. Itu semua ada pada tataran ideal; adapun kenyatannya banyak yang berbanding terbalik. Keberlakuan hukum sosial ini menyangkut pada semua jenis pekerjaan, profesi, jenis kelamin dan pembeda lainnya.
Tampilan dari ketidakluhuran budi ini dapat kita simak pada adap, etika, dan hal hal yang berkaian dengan etika. Bisa dibayangkan jika seorang anak meminta sesuatu dengan orang tuanya dengan betolak pinggang. Bagaimana murid atau mahasiswa yang telah dibesarkan kemudian berlaku dholim dengan guru atau dosennya. Bagaimana murid/mahasiswa membenci guru/dosen nya hanya karena beda keyakinan politik, membuat mereka tidak bisa menampilkan orang yang berbudi luhur. Contoh contoh ini akan menjadi lebih panjang manakala dikaitkan dengan bidang kehidupan lainnya.
Pada masyarakat Palembang bahkan ada semacam humor sarkastik dengan judul “Budak dak Bebudi” terjemahan bebasnya anak tidak pandai membalas budi; menceritakan bagaimana anak yang tidak pandai membalas budi kepada orang tuanya, walaupun ada versi lain yang dibuat “kelakar Plembang” (humor orang Palembang) yang agak berbau kurang sedap.
Pada masyarakat melayu justru orang yang baik budi mendapat sanjungan melalui pantun, salah satu contohnya sebagai berikut :
Hari petang sudah berkemas,
Malam hitam bagaikan arang.
Budi baik laksana emas,
Selalu dicari semua orang.
Sedangkan contoh Gurindam tentang budi adalah sebagai berikut:
Apabila kelakuan baik berbudi
Hidup menjadi indah tak akan merugi
Begitulah masyarakat melayu meninggikan orang yang berbudi baik di tengah tengah masyarakatnya. Penghargaan itu melekat kepada orang yang terpandang menurut ukuran masyarakat tempatan. Bahkan pada masyarakat Minang menghargai orang yang berbudi baik itu dikenal dengan pepatah “meninggikan sarantieng, mandulukan salangkah” terjemahan bebasnya meninggikan satu ranting mendahulukan satulangkah; begitu mereka menghargai perilaku dan keperibadian seseorang.
Demikian halnya manakala mereka mendapati orang yang tidak bisa berbalas budi; terutama pada orang yang dianggap guru; maka pantunpun akan mengingatkannya:
Berburu ke padang datar
Mendapat Rusa belang kaki
Berguru kepalang ajar
Bagai bunga kembang tak jadi
Betapa akal budi menjadi ukuran pada masyarakat melayu pada khususnya, Indonesia pada umumnya; seperti pepatah Jawa mengatakan “Desa mawa cara, negara mawa tata” (Setiap desa punya cara, setiap kota punya aturan”. Ini berarti bahwa kita harus memahami bahwa setiap daerah memiliki tata aturan beretika dan bersopan santun, tidak perduli siapa anda aturan ini berlaku umum.
Pada masyarakat Sumatera Selatan bahkan menghidangkan makanan pada saat perhelatan dapat mencerminkan keluhuran budi tuan rumah, cukup dengan melihat bagaimana susunan hidangan makan dibentangkan. Bahasa tempatan disebut dengan “ngobeng” yaitu petugas khusus yang menyusun hidangan, tidak sertamerta semua orang bisa melakukannya; ada adab, tatacara, dan etika untuk melakukannya. Apalagi jika acara “Pantauan” khusus pada masyarakat Batanghari Sembilan; ada sejumlah hal yang harus diperhatikan, karena itu menunjukkan ketinggian budi tuan rumah dalam menghormati kerabatnya.
Jika kita telisik dan bentangkan; maka seluruh masyarakat yang berpuak puak dan bernama Indonesia dari Sabang sampai Marauke memiliki tata cara dalam meninggikan budi dengan menghormati orang lain. hal itu tidak mungkin kita tulis pada media yang terbatas ini.
Layar sudah mengembang, laut sudah membentang, tinggal perahu akan menyeberang, apakah nakhoda sudah membilang. Semua tergantung kepada manusia sebagai pelaku. Akal budi ada di hati, sebagai pemandu anak negeri menemukenali persoalan diri. Menghormati bukan berarti merugi, justru akan diperoleh rezki yang tak pernah dinanti. Hidup selamat dunia akherat, jika dapat memberi manfaat.
Selamat menjalankan ibadah puasa Ramadan bagi yang menjalankannya.