Dirjen dan Minyak Goreng
Oleh: Sudjarwo Guru Besar Ilmu-Ilmu Sosial Pascasarjana FKIP Unila Pada saat membaca komentar dari seorang guru besar senior yang penulis hormati tentang satu artikel di media ini, jadi ingat betapa beliau waktu menjadi pejabat sampai dijauhi oleh k...

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Ilmu-Ilmu Sosial Pascasarjana FKIP Unila
Pada saat membaca komentar dari seorang guru besar senior yang penulis hormati tentang satu artikel di media ini, jadi ingat betapa beliau waktu menjadi pejabat sampai dijauhi oleh keluarga hanya karena menegakkan prinsip “bersih”. Akibatnya, beliau selesai memangku jabatan tidak punya rumah pribadi. Untung menjelang masa purnabakti beliau bisa menikmati rumah pribadi yang asri di tengah pedesaan dengan pemandangan yang indah, berkat kegigihan di usia senja. Kini beliau menikmati nyanyian alam dalam kesendirian, walau sesekali turun gunung manakala keadaan memang mengharuskan.
Kontras dengan seorang Dirjen dari satu kementerian yang baru baru ini ditetapkan sebagai tersangka oleh Kejaksaan Agung; terlepas dari kebenarannya biarkan pengadilan yang membuktikan, dan itu bukan wilayah tulisan ini untuk mengadili; jika kita tilik gaji resminya saja belum ditambah pendapatan, sudah sangat cukup untuk hidup di negeri ini. Namun masih tega melakukan penyimpangan yang berkaitan dengan kebutuhan rakyat kecil, bernama minyak goreng. Padahal jika dilihat dari usia masih muda dan masih memiliki peluang berkarier masa depan yang gemilang.
Bisa di bayangkan minyak goreng sebagai kebutuhan hajat hidup orang banyak, untuk mendapatkannya harus mengantri berjam jam; kondisi ini belum pernah terjadi semenjak 1965 karena krisis politik pada waktu itu, yang mengharuskan rakyat mengantri untuk mendapatkan kebutuhan pokok; belum lagi “nyinyiran” para priyagung negeri ini yang mengatakan “ganti dengan rebus dan kukus”, bahkan tega orang nomor dua di negeri ini menyarankan rakyatnya makan pisang rebus sebagai makanan pengganti, alih alih mencari solusi. Batapa menyakitkan hati rakyat kecil yang harus selalu jadi korban kebijakan coba coba dari pejabatnya. Solusi yang ditawarkan bukan bersifat mengatasi persoalan, tetapi justru membuat persoalan baru. Atau dengan kata lain: mereka harus mengatasi masalah dengan masalah.
Jika sekelas menteri dan dirjen masih berpikir untuk memperkaya diri dan atau mendapatkan pendapatan dengan cara yang tidak seharusnya; maka akankah negeri ini menjadi “Gemah ripah loh jinawi” meminjam istilah Pedalangan. Gagasan Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Lampung yang mewajibkan Pendidikan Anti Korupsi di Sekolah Lanjutan Atas, tampaknya perlu didorong untuk digalakan dan didukung. Karena pintu ini secara formal yang harus dibuat, guna melakukan pencegahan semenjak dini. Hal ini bukan berarti menafikan pintu pintu lain sebagai instrumen yang sudah ada; karena dengan kelengkapan yang ada, masih saja kita memperoleh pejabat yang tidak pandai bersyukur, bahkan kecolongan menjadi kuruptor. Anehnya sekalipun sudah berbaju oranye, ada mantan pejabat yang masih bisa ketawa ketiwi bak tak merasa bersalah, apalagi berdosa.
Menurut orang bijak masa lalu mengatakan bahwa keserakahan hidup manusia di dunia ini, salah satu diantaranya adalah kurangnya kepekaan hati terhadap anugerah yang diberikan Tuhan kepadanya. Apapun bentuk anugerah itu pasti ada hikma yang terkadung didalamnya. Anugerah itu sendiri tidak selamanya berupa benda, uang atau penghormatan, akan tetapi bisa juga rasa sakit, rasa kecewa termasuk anugerah yang jarang dipahami sebagaimana hakekatnya. Oleh karena itu, jika ada manusia yang sudah mendapatkan kenikmatan duniawi, kemudian ingin mendapatkan lagi, dan terus selalu ingin mendapatkan, ini adalah salah satu bentuk keserakahan diri tingkat dewa.
Pujangga besar Indonesia almarhum Ngabehi Ronggowarsito pernah menukilkan dalam satu karyanya: “Dudu rupo dudu bondho lan dudu kuwoso sing ndadekake manungso iso urip mulyo, nanging teteg’e ati mlaku ning dalan sing diridhoi gusti pangeran….” Terjemahan bebasnya: bukan wajah bukan harta dan juga bukan kekuasaan yang menjadikan manusia bisa hidup mulya, akan tetapi keteguhan hati berjalan di jalan yang diridai Tuhan. Betapa tajamnya sindiran ini jika kita mau berpikir secara jernih dan benar.
Tampaknya nasihat-nasihat luhur jaman lampau itu kini semakin surut bahkan nyaris tak terdengar. Ditambah lagi pembelajaran Budi Pekerti telah diintegrasikan kepada matapelajaran lain, yang konsekuensinya kedalaman dan keberlanjutannya sangat tergantung pada komitmen guru yang mengajar. Hal ini tentu menjadi bahan renungan kita semua untuk melakukan koreksi, evaluasi bahkan reposisi akan keberlanjutan isi pendidikan moral kita.
Kasus Dirjen dan minyak goreng ini juga membawa dampak pada tingkat kepercayaan masyarakat kepada pemerintah; sebab ada kesan seolah olah “maling teriak maling”, karena secara kasat mata dagelan yang tidak lucu sedang dipertontonkan kepada rakyat bahkan dunia. Terlepas akan adanya pembelaan hukum, itu sah sah saja sebagai manusia normal akan mengatakan bahwa siapapun sama dihadapan hukum, dan tidak boleh mengadili sebelum keputusan pengadilan. Akan tetapi tidak satupun aturan yang dapat mengatur persepsi seseorang tentang sesuatu, karena persepsi adalah bagian hakiki dari pribadi. Namun, penegak hukum juga harus profesional dalam menegakkan hukum, jangan sampai kasus ini hanya sebagai bahan bakar untuk menaikkan citra institusi, atau dijadikan bantalan guna menaikkan citra pejabat tertingginya.
Akhirnya dirjen dan minyak goreng betul betul jadi bahan gorengan; sehingga semua hal yang bisa dikaitkan dengan peristiwa ini ikut dijadikan bahan “bumbu masak” untuk mendapatkan keuntungan bagi siapapun yang ingin menggoreng. Jangan sampai pula akibat dari minyak goreng di dunia ini, membangun kuwali penggorengan di alam akhir untuk menggoreng semua yang terlibat korupsi minyak goreng. Naudzubillah min dzaalik.
Selamat menikmati kopi dan gorengan sambil menunggu imsyak!