Sawit Bukan Solusi: Mengapa Perluasan Perkebunan Mengancam Lingkungan

Oleh: Robiatul Adawiyah Mahasiswa Program Studi Agribisnis, Fakultas Sains dan Teknologi, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Pernyataan Presiden Republik Indonesia yang mendukung perluasan perkebunan kelapa sawit, meskipun harus mengorbankan hutan, mema...

Sawit Bukan Solusi: Mengapa Perluasan Perkebunan Mengancam Lingkungan

Oleh: Robiatul Adawiyah
Mahasiswa Program Studi Agribisnis, Fakultas Sains dan Teknologi, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Pernyataan Presiden Republik Indonesia yang mendukung perluasan perkebunan kelapa sawit, meskipun harus mengorbankan hutan, memang menimbulkan polemik tajam di tengah masyarakat. Di satu sisi, kelapa sawit telah menjadi komoditas ekspor utama yang menopang perekonomian nasional, menciptakan jutaan lapangan kerja, dan menyumbang devisa negara dalam jumlah besar. Data menunjukkan bahwa kelapa sawit merupakan ekspor pertanian terbesar Indonesia dengan nilai miliaran dolar setiap tahunnya dan menjadi sumber penghidupan bagi sekitar 16 juta orang yang terlibat secara langsung maupun tidak langsung dalam rantai pasokannya.

Industri sawit juga berperan besar dalam menyerap tenaga kerja di pedesaan dan memberikan kontribusi penting terhadap pertumbuhan ekonomi di wilayah terpencil. Namun, di balik kontribusi ekonomi yang besar, ekspansi perkebunan sawit menyimpan ancaman serius terhadap keberlanjutan lingkungan dan sosial di Indonesia. Perluasan perkebunan sawit telah menjadi salah satu penyebab utama deforestasi di Indonesia.

Antara tahun 2000 hingga 2019, Indonesia kehilangan sekitar 9,8 juta hektare hutan, di mana sebagian besar hilangnya tutupan hutan ini terkait dengan ekspansi perkebunan kelapa sawit. Deforestasi dalam skala besar ini tidak hanya mengurangi luas hutan alam yang menjadi paru-paru dunia, tetapi juga mengganggu siklus hidrologi, meningkatkan risiko banjir, dan memperparah kekeringan di berbagai wilayah. Salah satu contoh nyata dapat dilihat di Kalimantan dan Sumatera, di mana kawasan hutan hujan tropis yang dulunya lebat kini berubah menjadi hamparan kebun monokultur sawit.

Dampak lingkungan dari konversi hutan menjadi perkebunan sawit sangat merugikan. Pembukaan lahan, terutama di kawasan gambut, melepaskan emisi karbon dalam jumlah besar ke atmosfer.

Lahan gambut yang dikeringkan dan dibakar untuk pembukaan kebun sawit melepaskan karbon yang tersimpan selama ribuan tahun, sehingga Indonesia menjadi salah satu penyumbang emisi gas rumah kaca terbesar di dunia. Konversi lahan gambut ini juga memperparah krisis iklim global, mengingat gambut Indonesia menyimpan sekitar 57 gigaton karbon, dan pelepasannya berkontribusi signifikan terhadap pemanasan global.

Selain itu, perubahan tutupan lahan ini juga memperburuk kualitas udara dan meningkatkan potensi kebakaran hutan yang berdampak lintas batas negara.

Selain masalah emisi karbon, ekspansi sawit juga menyebabkan hilangnya habitat bagi satwa liar yang terancam punah. Orangutan, harimau Sumatra, dan gajah Sumatra adalah beberapa spesies yang populasinya terus menurun akibat kehilangan habitat alami mereka. Fragmentasi hutan dan berkurangnya sumber makanan memaksa satwa-satwa ini keluar dari habitat aslinya, sehingga meningkatkan konflik antara manusia dan satwa liar. Tidak jarang, satwa-satwa ini diburu atau dibunuh karena dianggap mengganggu perkebunan. Dalam jangka panjang, hal ini mempercepat kepunahan spesies endemik Indonesia yang memiliki nilai ekologis dan ilmiah sangat tinggi.

Dampak sosial dari perluasan sawit juga tidak bisa diabaikan. Konflik agraria kerap terjadi akibat tumpang tindih klaim lahan antara masyarakat adat, petani lokal, dan perusahaan perkebunan besar. Banyak kasus di mana masyarakat adat kehilangan akses terhadap tanah ulayat mereka tanpa kompensasi yang adil, sehingga memicu ketidakadilan sosial dan kemiskinan struktural. Selain itu, kebakaran hutan dan lahan yang sering terjadi akibat pembukaan lahan sawit menyebabkan polusi udara parah, seperti yang terjadi pada krisis kabut asap di tahun-tahun sebelumnya. Kabut asap ini tidak hanya menimbulkan kerugian ekonomi, tetapi juga berdampak buruk pada kesehatan jutaan penduduk di Indonesia dan negara tetangga. Anak-anak dan lansia menjadi kelompok yang paling rentan terhadap gangguan pernapasan akibat kabut asap ini.

Ketergantungan ekonomi pada kelapa sawit sebagai komoditas tunggal juga sangat rentan terhadap fluktuasi harga pasar global. Ketika harga minyak sawit dunia turun, pendapatan petani dan pekerja sawit juga ikut terpuruk, sehingga menimbulkan kerentanan ekonomi di tingkat rumah tangga. Model ekonomi monokultur seperti ini tidak memberikan ketahanan yang cukup bagi masyarakat pedesaan, dan justru memperbesar risiko kemiskinan saat terjadi guncangan harga.

Diversifikasi ekonomi menjadi krusial agar masyarakat tidak hanya bergantung pada satu jenis komoditas yang rawan terhadap dinamika geopolitik dan perdagangan internasional.

Berbagai solusi telah diusulkan untuk mengurangi dampak negatif dari ekspansi sawit. Salah satunya adalah penerapan sertifikasi sawit berkelanjutan, seperti Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO), yang mewajibkan perusahaan untuk mematuhi standar lingkungan dan sosial dalam operasionalnya. Namun, implementasi di lapangan masih menghadapi tantangan, seperti lemahnya pengawasan, praktik korupsi, dan kurangnya transparansi rantai pasok. Selain itu, pemerintah telah menerapkan moratorium izin baru perkebunan sawit, terutama di kawasan hutan primer dan lahan gambut, untuk menahan laju deforestasi lebih lanjut. Namun, efektivitas kebijakan ini sangat bergantung pada penegakan hukum dan tata kelola lahan yang baik.

Alternatif lain yang dapat dikembangkan adalah sistem pertanian agroforestri, di mana tanaman sawit dibudidayakan bersama dengan tanaman lokal dan pohon hutan, sehingga menjaga keanekaragaman hayati dan meningkatkan ketahanan ekosistem.

Diversifikasi ekonomi pedesaan juga penting untuk mengurangi ketergantungan pada sawit, misalnya melalui pengembangan komoditas lokal lain yang lebih ramah lingkungan dan memiliki nilai tambah tinggi. Peningkatan produktivitas lahan sawit yang sudah ada melalui program replanting, pelatihan petani, dan adopsi teknologi tepat guna dapat mengurangi tekanan terhadap pembukaan hutan baru. Selain itu, pendekatan restorasi ekosistem di wilayah bekas perkebunan yang rusak juga penting untuk mengembalikan fungsi ekologis lahan.

Pemberdayaan masyarakat lokal dan penguatan hak-hak masyarakat adat dalam pengelolaan lahan menjadi kunci untuk mengurangi konflik agraria dan memastikan manfaat ekonomi dari industri sawit dapat dirasakan secara adil oleh seluruh lapisan masyarakat. Penggunaan teknologi, seperti sistem pemantauan deforestasi berbasis satelit dan pemetaan partisipatif, dapat membantu pemerintah dan masyarakat dalam mengidentifikasi serta mencegah praktik pembalakan liar dan konversi hutan ilegal.

Pendidikan dan peningkatan kesadaran lingkungan di tingkat akar rumput juga berperan penting untuk menciptakan perubahan jangka panjang yang berkelanjutan.

Peran konsumen juga sangat penting dalam mendorong perubahan industri sawit ke arah yang lebih berkelanjutan. Konsumen dapat memilih produk-produk yang bersertifikat ramah lingkungan dan menuntut transparansi rantai pasok dari perusahaan-perusahaan besar.

Tekanan dari pasar global terhadap praktik berkelanjutan telah memaksa banyak perusahaan untuk memperbaiki tata kelola dan mengadopsi standar lingkungan yang lebih ketat. Dalam era digital saat ini, kekuatan konsumen semakin besar melalui media sosial dan kampanye publik yang mampu memengaruhi reputasi perusahaan di mata dunia.

Melihat berbagai dampak dan tantangan yang ada, perluasan perkebunan kelapa sawit bukanlah solusi tunggal untuk pembangunan ekonomi Indonesia. Model pembangunan yang hanya mengejar pertumbuhan ekonomi jangka pendek dengan mengorbankan lingkungan dan keadilan sosial akan membawa risiko besar di masa depan.

Indonesia membutuhkan pendekatan yang lebih bijaksana, adil, dan berkelanjutan, yang menyeimbangkan antara kebutuhan ekonomi, pelestarian lingkungan, dan perlindungan hak-hak masyarakat lokal. Hanya dengan cara inilah, pembangunan dapat berlangsung secara inklusif dan berkelanjutan, serta memastikan warisan alam Indonesia tetap terjaga untuk generasi mendatang.***