Penurunan Harga BBM VS Pungutan Dana Ketahanan Energi

Baru-baru  ini pemerintah Cq Menteri ESDM mengumumkan penurunan harga premium dan solar yg akan mulai berlaku pada5 Januari 2016. Diharapkan pengumuman tersebut adalah kado tahun baru untuk rakyat pengguna premium dan solar. Namun, ada sedikit...

Penurunan Harga BBM VS Pungutan Dana Ketahanan Energi

Baru-baru  ini pemerintah Cq Menteri ESDM mengumumkan penurunan harga premium dan solar yg akan mulai berlaku pada5 Januari 2016. Diharapkan pengumuman tersebut adalah kado tahun baru untuk rakyat pengguna premium dan solar. Namun, ada sedikit ganjalan terhadap kebijakan penurunan BBM tsb dimana pemerintah juga mengumumkan sekaligus pungutan dana ketahanan energi sebesar Rp. 200,- untuk premium dan Rp. 300,- untuk solar per liternya.

Dengan begitum secara faktual penurunan harga BBM tersebut tidak signifikan karena konsumen membayar harga BBM ditambah pungutan tersebut. Walaupun maksud tujuan dari pungutan tsersebut adalah baik karena akan digunakan untuk peningkatan kapasitas produksi BBM serta untuk biaya pengembangam riset energi terbarukan namun memiliki beberapa ketidaktepatan dalam pengambilan kebijakan tersebut, seperti :

1. Dasar legalitas dari kebijakan tsb apakah sudah ada landasan hukumnya misal dalam UU atau PP atau Perpres ?

2. Pungutan tsb adalah pemaksaan seperti cukai yang dipungut oleh konsumen tapi dalam kasus ini cukai/retribusi tersebut  belum diatur landasan hukumnya atau apakah dikategorikan sebagai PPN atau PPnBM ? Namun besarannya apakah berdasarkan perssentase atau lumpsum ? Karena penentuan Rp200 dan Rp300 tersebut berdasarkan apa ? Dan apabila BBM naik atau turun apakah besaran pungutan tersebut juga berubah proporsional ?

3. Bagaimana pengelolaan administrasi dan keuangan pungutan tsb ? Karena dana pungutan tsb akan masuk pertama kali ke kas pertamina dan bagaimana sistim pengawasan dan akuntabilitasnya ? Karena kalau tidak salah dana pungutan tsb akan dikelola oleh kementerian keuangan sementara pungutan tsb disetor terlebih dahulu kepada Pertamina.

4. Apakah sudah tepat kebijakan pungutan tersebut diberlakukan dengan dalih ketahanan energy dan dibebankan kepada konsumen/rakyat, padahal ketahanan energy dan pengembangan energi terbarukan adalah kewajiban pemerintah bukan kewajiban rakyat. Pemerintah seharusnya mengelola anggaran dengan sebaiknya dengan program-program dengan skala prioritas yang menjadi kebijakan pemerintah untuk setiap sektor.

Alangkah lebih eloknya apabila pungutan tsb dengan landasan hukum serta kajian yg mendalam terhadap dampak ekonomi, hukum, sosial dan juga politik karena terkesan terburu buru. Apabila pemerintah ingin mendapatkan alokasi pendapatan yang lebih untuk program-programnya maka sepatutnya tidak dengan skema pungutan tersebut, tetapi dimasukkan dalam cost of production atau PPN atau PPH atau skema lainnya tanpa harus memungut langsung dari konsumen (jadi ingat kasus BPPC atau cukai minuman keras yang pernah diterapkan dulu, atau seperti jalanan perbatasan kabupaten yang memungut setiap kendaraan yg lewat dengan dalih kebijakan otonomi daerah).

5. Apakah dana tersebut akan dimasukkan dalam pendapatan resmi negara dan dikategorikan sebagai jenis pendapatan apa ? Karena apabila dana tsb dikelola oleh negara harus jelas masuk dalam pos pendapatan apa dan BPK juga berhak utk memeriksa dan juga artinya DPR juga memiliki kewenangan untuk dimintakan persetujuannya karena fungsi budgetingnya atau sudah dialokasikan di dalam APBN 2016 yang sudah disahkan DPR ?

Semoga Bapak Presiden dapat meninjau kembali kebijakan Menteri ESDM tersebut dan untuk sementara membatalkannya dan agar dikaji ulang dan dicarikan solusi lain skema pungutan tersebut untuk meningkatkan pendapatan negara serta untuk ketahanan energi serta riset energi terbarukan.

Andi Desfiandi, Bandarlampung