Pembubaran Beribadah, Apa yang Salah?
Oleh Syarief Makhya* Minggu yang lalu ketua RT 12 Kelurahan Rajabasa Jaya, Bandarlampung menghentikan dan membubarkan jemaat Gereja Kristen Kemah Daud (GKKD) saat jemaat melaksanakan ibadah di sebuah perumahan karena tidak ada izin resmi dari pihak a...

Oleh Syarief Makhya*
Minggu yang lalu ketua RT 12 Kelurahan Rajabasa Jaya, Bandarlampung menghentikan dan membubarkan jemaat Gereja Kristen Kemah Daud (GKKD) saat jemaat melaksanakan ibadah di sebuah perumahan karena tidak ada izin resmi dari pihak aparat.
Berita ini viral sampai mengundang berbagai pihak. Antara lain dari Menteri Agama yang menyayangkan penghentian sepihak atas peristiwa ini. Sejumlah aktivis yang tergabung di AKBBI (Aliansi Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan Lampung) kemudian mengadukan aparat yang melakukan penghentian ibadah tersebut di GKKD ke Polda Lampung.
Penghentian umat kristiani saat mereka melangsungkan ibadah tersebut menunjukkan bahwa ternyata di level masyarakat bawah masih belum bisa menerima perbedaan keyakinan beragama dan merasa terganggu dan tidak nyaman di tempat-tempat yang penduduknya mayoritas beragama Islam.
Apakah fenomena larangan ibadah bagi kelompok minoritas tersebut akan terus berlangsung? Apakah fenomena tersebut akibat keberadaan negara dan peranan negara tidak hadir? Apakah masyarakat merasa terganggu dan tidak nyaman kalau ada ibadah bagi masyarakat non Islam di tengah – tengah penduduknya mayoritas beragama Islam, ataukah ada faktor lain?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut akan sangat beragam jawabannya. Namun, argumen-argumen realitas objektif terhadap masalah hubungan antar umat beragama secara sosiologis, sistem keyakinan dan peran pemerintah bisa memberikan jawaban atas persoalan tersebut.
Legitimasi Sosiologis
Hubungan antarumat beragama dalam masyarakat Indonesia, sebenarnya tidak ada masalah yang berarti. Artinnya, di masyarakat sudah terbiasa hidup campur dan berinterakasi sosial dengan sesama antar umat beragama. Keberagaman dalam beragama adalah keniscayaan yang harus diterima bersama; kendati dalam kasus kasus tertentu pernah ada konflik antar umat beragama, tapi akar bersoalannya bukan pada persoalan isu keyakinan bergama, mungkin ada faktor lain semisal ketimpangan sosial atau ketidak mampuan pemerintah dalam menyelesaikan masalah tersebut, dst.
Konflik hubungan antarumat bergama pernah terjadi di Ambon, Papua, Kalimantan, Sulawesi, Lampung, dan daerah daerah lain. Konflik tersebut tidak berlangsung lama dan bisa hidup rukun kembali. Sekali lagi, bahwa hubungan antarumat beragama secara sosiologis sudah menjadi bagian dari realitas sosial dan sudah bagian dari budaya masyarakat Indonesia.
Persoalannya,hidup beragama tidak statis. Agama juga sesuatu yang dinamis, yaitu muncul interpretasi terhadap konteks perubahan yang sedang berlangsung, muncul komunitas-komunitas faham keagamaan yang baru, dan agama juga diinterpretasikan sebagai simbol kekuatan politik dan dijadikan alat untuk memobilisasi dukungan dalam persaingan politik.
Dalam perspektif demikian terkadang muncul gesekan-gesekan antar hubungan umat beragama; bahkan juga muncul gesekan di internal agama karena perbedaan dukungan politik. Tetapi, fenomena ini masih dipahami sebatas persaingan politik sesaat, biasanya usai pemilu atau pilpres masyarakat tidak lagi terkotak-kotak.
Faktor lain adalah masalah keyakinan beragama. Keyakinan terhadap agama adalah hal yang sifatnya mutlak, sangat individual dan tidak bisa diintervensi oleh agama lain atau negara. Namun karena Indonesia adalah multikutur, multi agama dan multi suku, maka perlu ada konsensus. Jadi, walaupun keyakinan beragama itu sifatnya mutlak dan personal, dalam konteks masyarakat multikultur, ada batas-nya. Tidak boleh memaksakan atas nama kepentingan agama tertentu kemudian mengabaikan kepentingan agama lain.
Beberapa ormas Islam menempatkan agama dalam perspektif muti-kultur, sehingga berijtihad untuk bersikap menerima toleransi, menerapkan sikap moderasi beragama atau Islam wasyathiah sebagai sikap akomodatif terhadap negara Pancasila.
Dalam tataran implementasinya, seharusnya diikuti dengan berdialog antar umat beragama secara terus-menerus, sehingga bisa saling dimengerti dan dipahami bersama tentang ajaran masing – masing agama yang dianutnya; tidak hanya dalam konteks memahami dari dimensi keyakinan tetapi juga bisa dimengerti dalam realitas beragama secara sosiologis dan kehidupan bersama dalam bingkai masyarakat Pancasila.
Dalam kasus pembubaran jemaat kristiani di Kecamatan Rajabasa, kendati sudah dilakukan dialog dengan berbagai pihak, tapi izin tidak tetap tidak ke luar. Artinya, izin yang dikeluarkan pemerintah atau syarat penerimaan dari dukungan masyarakat menjadi ukuran dan dasar hukum bagi jamaat umat kristiani untuk melaksanakan ibadah.
Dalam tataran implementasinya memperoleh izin dan dukungan dari masyarakat tidak akan mudah karena resiko penolakannya juga tinggi. Dalam kronologi awal sebuah rumah yang kemudian dijadikan gereja, mulai tahun 2019 sampai tahun 2022, dialog sudah dilakukan beberapa kali dengan berbagai pihak, namun tetap belum menyelesaikan masalah.
Masyarakat tetap keberatan atas didirikannya tempat ibadah umat kritiani di tempat yang penduduknya mayoritas beragama Islam. Jadi, persoalannya bukan masalah izin formal dari pemerintah, tetapi ada persoalan legitimasi sosiologis dalam menjalankan ibadah agama non Islam yang belum bisa diterima masyarakat Islam di wilayah yang penduduknya mayoritas umat Islam.
Jika yang jadi akar persoalan penolakan karena persoalan tersebut, maka harus ada opsi lain, sebagai jalan tengah, antara lain menawarkan alternatif tempat ibadah yang bisa diterima masyarakat Islam atau melakukan pembatasan-pembatasan ibadah yang tidak mengganggu kenyamanan dalam berinterkasi sosial.
Kata kuncinya adalah: harus dicari alternatif tempat beribadah bagi masyarakat non-muslim, yang tidak menggangu kenyamanan bagi yang beragama lain, menerapkan etika beragama dalam berinteraksi sosial, dan menjadikan agama sebagai alat untuk menyelesaikan masalah umat, serta tidak menjalankan agama dengan cara mengabaikan pada realitas kehidupan yang beragam dan mengalami perubahan makna yang sifat nya dinamis dan kontekstual.***
*Dr. Syarief Makhya adalah akademisi FISIP Universitas Lampung (Unila)