‘Njlomprongake’

Oleh: Sudjarwo Guru Besar Ilmu-Ilmu Sosial di Pascasarjana FKIP Unila Kata njlomprongake atau juga sering disebut njlomprongke adalah kausa kata Bahasa Jawa yang jika ditulis aslinya dari kata dasar (lingga) jlomprong. Dalam bahasa Indonesia terjemah...

‘Njlomprongake’

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Ilmu-Ilmu Sosial di Pascasarjana FKIP Unila

Kata njlomprongake atau juga sering disebut njlomprongke adalah kausa kata Bahasa Jawa yang jika ditulis aslinya dari kata dasar (lingga) jlomprong. Dalam bahasa Indonesia terjemahan bebasnya adalah menjerumuskan. Kausa kata ini baik dalam bahasa tingkatan kromo, maupun ngoko, diucapkan dan ditulis sama. Walaupun terjemahan ini tidak begitu tepat benar.

Diksi ini sering dipakai untuk mereka yang sudah kesal dengan situasi atau setengah frustrasi kemudian tidak mampu mengubah keadaan; sehingga memilih sikap atau mengambil posisi menjlomprongake, agar keadaan itu semakin menjadi jadi. Namun kondisi ini hanya untuk yang tidak baik atau keadaan kacau, atau juga tidak disukai baik secara personal maupun kolektif. Karena tidak mampu memperbaiki kekacauan yang ada, maka ya sudah dibiarkan sekalian agar semakin kacau. Hal ini dapat kita pahami dari sepenggal kalimat dalam dialog bahasa Jawa: Akeh-akehe wong iku seneng banget yen dialembana, kamangka pangelembana iku bisa njlomprongake ing kanisthan..njur biasane nuwuhake rasa pamer lan sombong ngendelake kaluwihane..kamangka kanyatan saktemene durung mesthi padha karo sing dikandhakake wong liya mau.(sumber: Mbah Kakung 2022).

Terjemahan bebasnya: “Kebanyakan orang itu senang sekali disanjung, padahal sanjungan itu bisa menjerumuskan kepada keburukan..kemudian biasanya menimbulkan rasa pamer dan sombong mengandalkan kelebihannya..padahal kenyataannya sebenarnya belum tentu sama apa yang dikatakan orang itu dengan keadaan yang sesungguhnya.”.

Tutur bahasa daerah yang sebangun dengan ini lanjakke, lantakkelah (bahasa Palembang), todos, tungguk haga na (bahasa Komering), laju ke (bahasa Sekayu); dan masih banyak lagi kalau kita mau menelisik di masing-masing daerah berkaitan dengan istilah ini.

Lalu apa hakikat dari ucapan ini? Jika kita tilik dari sudut pandang Filsafat Manusia khususnya Filsafat Jawa; ternyata njlomprongake lebih bermaksa “rasa” bukan “emosi”; maksudnya adalah bahasa rasa yang hanya dapat ditangkap oleh mereka yang mampu membaca “sasmito” (pertanda) akan gerak batin. Sedangkan bahasa emosi lebih bersifat infulsif sesaat, tidak memiliki dimensi jangka panjang seperti halnya bahasa rasa.

Oleh karena itu,  jika mereka menangkap sasmito yang pernah ditampilkan oleh orang nomor satu di negeri ini saat disudutkan untuk menambah periode kepemimpinan oleh kelompok tertentu dengan maksud tertentu, kemudian beliau menggunakan bahasa rasa dengan melantik segera panitia pemilihan umum. Ini adalah bahasa rasa yang dilambangkan, sehingga mereka yang paham akan gerak rasa akan menangkap pertanda ketidaksukaan ini.

Sama halnya jika ada pemilihan Kepala Daerah yang mendapatkan suara seratus persen padahal calonnya lebih dari satu, dan ini hakekatnya sama dengan menang mutlak melawan kotak kosong; karena calon lainnya pun tidak memilih dirinya sendiri; maka perlu diperhatikan ini adalah pertanda bahasa rasa sedang dimainkan oleh para pemilihnya. Bagi pemenang mutlak mampukah membaca bahasa sandi rasa ini sebagai bentuk protes dalam bentuk lain. Inilah bentuk njomprongake yang sangat halus dan tidak banyak orang yang memahami; karena yang penting tujuan tercapai untuk memenangkan kontestasi dari suatu pemilihan.

Ketajaman membaca sasmito ini tidak ada kaitannya dengan tingginya tingkat pendidikan, akan tetapi lebih kepada tingkat kematangan seseorang dalam olah rasa. Apakah olah rasa seperti ini bisa berlangsung kolektif ? Jawabannya sangat bisa; bahkan menjadi protes sosial kolektif karena akibat akumulasi dari rasa yang sama dalam menanggapi suatu respon yang tidak menyenangkan.

Dalam bahasa Psikologi Sosial ini disebut frustrasi sosial dari akibat ketidakberdayaan melawan arus besar. Hal ini bisa terjadi karena kalah jauh dalam hal social power, akibatnya jadilah adagium“daripada hanyut lebih baik nganyut saja sekalian”. Makna hakiki dari kalimat ini sangat dalam karena jika hanyut menjadi pilihan, maka risiko akan tenggelam itu besar karena melawan arus, sementara jika nganyut justru mengikuti arus sehingga berpeluang selamat itu besar. Tinggal pilihan mana, semua beresiko, jika pilihan pertama yang diambil maka yang bersangkutan akan dikenang sepanjang masa sebagai orang yang gigih dalam berpendirian, namun berisiko akan untuk dilupakan, serta harus menanggung semua akibat dari berpegangnya pada prinsip ini sebagai kesatria, termasuk resiko material dan non material.

Sementara jika pilihan kedua yang diambil maka hubungan antarmanusia akan terselamatkan, walaupun terkesan sepintas tidak memiliki pendirian karena ingin mencari selamat atau berorientasi pada diri dan kelompoknya saja, namun sebenarnya inilah pendirian hakiki dari njlomprongake yang dimaksud dalam tulisan ini.

Selanjutnya terserah pada pendirian masing masing, karena njlomprongake bisa jadi satu pilihan keterpaksaan karena tidak melihat pilihan lain, atau justru pilihan ini untuk mematangkan situasi agar segera terjadi. Adapun hasil akhir kelak dikemudian hari, biarkan waktu yang akan menuntunnya dan sejarah akan mencatatnya. Inilah hakekat perjalanan kodrat yang tidak dimiliki oleh manusia. Jika Tuhan menghendaki maka tak satu pun yang mampu menghalangi, hanya kepasrahan dan doa itu wilayah yang tersisa untuk manusia.

Selamat menyeruput kopi….