‘Menang Biaso, Kalah Idak Apo-Apo’
Oleh: Sudjarwo Guru Besar Ilmu-Ilmu Sosial di Pascasarjana FKIP Unila Pada saat tahun politik seperti ini, orang digiring kepada hajatan politik negeri ini dengan label “pemilihan”, baik itu pemilihan bupati/walikota, gubernur, presiden. Bahkan ke pe...

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Ilmu-Ilmu Sosial di Pascasarjana FKIP Unila
Pada saat tahun politik seperti ini, orang digiring kepada hajatan politik negeri ini dengan label “pemilihan”, baik itu pemilihan bupati/walikota, gubernur, presiden. Bahkan ke pemilihan rektor. Berbicara soal pilih memilih, saya menjadi teringat kembali saat tinggal di Sumatera Selatan, yang saat itu melakukan pemilihan pasirah. Istilah pasirah ini tidak ditemukan di daerah lain di Indonesia, khusus untuk daerah Sumatera Selatan saat itu yang mencakup Sumatera Selatan, Bengkulu dan Lampung.
Pasirah/pesirah (Belanda: margahoofd) adalah kepala pemerintahan marga pada masa Hindia Belanda di wilayah Zuid Sumatra (Sumatra Selatan yang wilayahnya bukan seperti saat ini). Pesirah merupakan seorang tokoh masyarakat yang memiliki kewenangan memerintah beberapa desa. Istilah pesirah di Sumatra Selatan masih digunakan hingga tahun 1970-an, karena perundang-undangan di Sumatra Selatan masih dipengaruhi oleh peraturan-peraturan yang bersumber dari kebijakan Hindia Belanda.
Pesirah dipilih langsung oleh masyarakat yang waktu pemilihannya selama beberapa hari, karena pemilihannya dilangsungkan tidak serentak untuk tiap desa yang termasuk dalam satu marga. Orang yang telah mempertahankan status pesirah selama waktu yang telah dianggap masyarakat telah lama menjabat sebagai pesirah, biasanya pesirah tersebut diberi gelar “Pangeran”.
Pesirah membawahi beberapa desa yang setiap desanya dipimpin” Ginde” (kepala desa). Kepala desa di tempat kedudukan pesirah diberi gelar “Pembarab”. Di bawah Ginde ada “Kerio” (kepala dusun) dan “Penggawo” (kepala kampung). Para pembaca yang berasal dari Kabupaten Musi Rawas, masih ingat tokoh bernama “Pangeran Amin”. Ia adalah kakek dari Walikota Lubuk-Linggau sekarang. Keluarga inilah secara turun-temurun menorehkan sejarah kepasirahan di Musi Rawas pada masanya. Daerah lain pun memiliki sejarah lokal kepemerintahan seperti ini, termasuk Lampung, Bengkulu, yang dahulu berada pada satu wilayah kesatuan pemerintahan Sumatera Selatan.
Ada yang menarik dari sistem pemilihan Pasirah pada waktu itu; setiap calon berkampanye kedesa desa kewilayahan kepasirahan. Biasanya mereka menggunakan jalur keluarga, teman dekat, atau saudara mereka yang berpengaruh. Masing-masing calon akan “sowan” kepara tokoh masyarakat, orang orang tua kampung, untuk meminta restu; sekalipun mungkin tetua kampung tadi tidak memilihnya, karena ada keluarganya yang “mancang Pesirah” (bahasa setempat yang berarti mencalonkan diri sebagai Pasirah). Ini salah satu bentuk kearifan lokal (local wisdom) yang harus dilestarikan; bukan karena atas nama demokrasi, kemudian ditarik garis pemisah. Apalangi bermusuhan.
Hal yang menarik lainnya mereka sepakat untuk bersepakat untuk menghormati yang menang, oleh karena itu adagium mereka adalah “menang biaso, kalah dak apo apo” (menang sudah biasa, kalah tidak apa apa). Namun tentu hal serupa ini tidak disukai oleh penjajah Belanda saat itu. Melalui kaki tangannya Belanda menghasut yang kalah untuk meninggalkan kampung, karena kekalahan bagi laki laki adalah aib. Politik “memmecah belah” yang merupakan ciri penjajah itu, tampaknya menjadi semacam “penyakit sosial” yang tertinggal hingga saat ini. Penyakit ini sengaja dipelihara oleh para “Sengkuni” untuk memecah belah bangsa. Para Sengkuni ini bisa hidup makmur jika berhasil memecah belah. Keuntungan menjadi Sengkuni bisa menduduki jabatan tertinggi di suatu lembaga, membeli kendaraan mewah, membuat rumah ukir yang mahal; dan bahkan tidak sungkan kepada Tuhan, uang hasil nyengkuni untuk pergi ketanah suci.
Konflik sebagai dampak suatu proses pemilihan akan selalu ada jika jiwa sengkuni masih hidup ditengah masyarakat. Oleh karena itu pendidikan politik seyogianya bukan hanya menyentuh persoalan teknik demokrasi saja, akan tetapi juga mengajarkan kedewasaan untuk menerima kekalahan; karena pemenang dari suatu pertandingan itu hanya satu sebagai juara.
Kebiasaan menyisakan konflik dari suatu perhelatan kepemilihan, memang sampai hari ini masih mendunia. Bahkan negara yang katanya biangnya demokrasipun, setelah selesai pemilihan presiden beberapa waktu lampau, sampai hari ini masih meninggalkan konflik antarpemilihnya. Namun contoh yang tidak perlu dicontoh itu sudah seharusnya kita tinggalkan. Kita masih banyak memiliki kearifan lokal yang patut dicontoh dan dilestarikan dalam mensikapi suatu kontestasi politik kalah versus menang.
Masih segar dalam ingatan kita bagaimana “pertarungan” orang nomor satu di negeri ini, dengan pesaingnya yang mantan Jenderal. Namun begitu selesai hajatan pemilihan umum, dengan kebesaran jiwa; mereka kemudian bersatu guna membangun negeri ini, melepaskan ego masing masing, menyatu dalam satu cabinet guna bekerja bersama.
Contoh seperti ini jarang kita jumpai di negara mana pun, termasuk negara yang menyatakan paling demokratis di dunia. Oleh karena itu kedewasaan dan kesantunan untuk menghormati siapa pemenangnya dari suatu perhelatan kepemilihan, adalah kedewasaan bersikap yang perlu kita terus lestarikan di negeri ini.