Lupa (untuk) Melupakan

Oleh: Sudjarwo Guru Besar Ilmu-Ilmu Sosial di Pascasarjana FKIP Unila Angin dingin menusuk tulang yang sudah mulai renta. Karena tugas akademik yang sudah lebih dari empatpuluh tahun dijalani, dan sebentar lagi akan berakhir, ternyata menyisakan kena...

Lupa (untuk) Melupakan

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Ilmu-Ilmu Sosial di Pascasarjana FKIP Unila

Angin dingin menusuk tulang yang sudah mulai renta. Karena tugas akademik yang sudah lebih dari empatpuluh tahun dijalani, dan sebentar lagi akan berakhir, ternyata menyisakan kenangan saat turun dari lantai dua Gedung Kuliah Pascasarjana setelah menyelesaikan menyimak hasil mahasiswa program doktor melaporkan perolehannya di lapangan.

Saat seperti itu menjadi momen tersendiri manakala ingatan jauh kebelakang beberapa puluh tahun lalu yang tidak mungkin rasanya ada program doktor di perguruan tinggi tercinta ini. Akan tetapi,  seiring perjalanan waktu, semua berproses menapaki takdir, ternyata angkatan satu program itu telah terwujud, dan salah satu mahasiswanya adalah yang sedang berproses “menjadi”, dan beberapa saat lalu menggelar laporan hasil lapangannya. Calon doktor ini yang tidak mau mencantumkan “Can” pada namanya karena itu tidak lazim di dunia perguruan tinggi. Dengan begitu, semangat membeberkan hasil hasul temuannya yang begitu brillian dan dapat dijadikan contoh adik-adik kelasnya di kemudian hari.

Ada satu temuan menarik yang bersifat normatif akademik dan menjadi renungan kontemplasi diri bahwa ada temuan penelitian, yaitu ada sikap dari responden yang tidak mau mengisi asal daerah lokasi. Adapun alasannya mereka trauma jika ketahuan oleh pejabat setempat memberikan informasi yang benar menurut mereka, tidak benar menurut pejabat, maka berakibat akan dijatuhkannya sanksi. Tentu saja sanksi itu terkadang sangat menyakitkan karena berkaitan dengan nasib dan karier, atau bahasa vulgarnya berkaitan dengan “periuk nasi” mereka.

Kesan ini begitu mendalam pada responden, sehingga jika ingin menjawab secara jujur harus mengorbankan untuk tidak menyebutkan lokasi keberadaan responden, atau instansi responden berada. Mereka memiliki pengalaman yang tidak menyenangkan tentang hubungan dengan pelaporan yang harus menyenangkan atasan, traumatic ini terus menghantui mereka, sehinga sampai pada suatu kondisi lupa bagaimana cara untuk melupakan.

Hal ini juga mengingatkan suatu peristiwa sosial yang dihadapi oleh seorang mahasiswa yang mendeskripsikan pengalaman pribadi, saat konsultasi proposal disertasi; pada suatu saat seorang sahabatnya yang menjabat pimpinan unit pendidikan meminta bantuan untuk menghubungkan kepada pimpinan dinas yang bersangkutan. Sebagai seorang sahabat walau dengan berat hati mahasiswa tadi menjumpai pimpinan dinas guna memediasi hal dimaksud dari sang sahabat. Ternyata pimpinan dinas memiliki memori yang sampai pada kondisi lupa menemukan cara untuk melupakan; beliau menjelaskan secara rinci bagaimana arogansi kepala unit yang tidak tau diri ini, bahkan selama ini cenderung keras kepala. Sang mahasiswa terperangah dan berguman dalam hati..”untung dia masih jadi kepala unit, walau diudik, andaikata kepala dinas tadi dirinya, sudah tentu berbeda cerita akhirnya…”. Betapa mulianya kepala dinas ini yang mampu memisahkan antara emosi dengan ketentuan peraturan yang harus dia taati; yang untuk kebanyakan orang hal itu sulit untuk dilakukan.

Peristiwa lain di tempat lain terjadi; seorang Guru Besar bertungkuslumus bahu membahu bersama teamnya mendirikan Program Doktor untuk satu bidang ilmu. Atas kegigihannya program itu berdiri, dan yang bersangkutan diminta untuk menjadi salah satu tenaga pengajarnya. Seiring perjalanan waktu, ternyata ada mahasiswanya yang kebetulan pejabat di lembaga tempat beliau bertugas dan sedang memiliki kekuasaan penuh untuk mengatur dunia. Karena perbedaan sudut pandang akan politik local, Sang Guru Besar tadi diminta mundur untuk tidak mengajar, karena sang mahasiswa yang nota bone pejabat local tadi, ketakutan untuk berhadapan dengan beliau. Padahal Sang Guru Besar paham betul perbedaan dalam sudut pandang bukan berarti harus beda pandang akademik. Dengan legawa Sang Guru Besar melepaskan bidang studi yang diampu demi memenuhi selera libido penguasa kampusnya yang tidak lain juga muridnya. Bagitu ditanyakan apa yang dirasakan,  Sang Guru Besar menjawab biasa biasa saja. Hanya saja beliau risau karena sudah lupa bagaimana cara untuk melupakan peristiwa itu.

Penggalan kehidupan seperti ini ternyata hampir setiap hari dijumpai dalam perjalanan anak manusia. Persoalannya adalah pada kedalaman memori itu menghujam pada kalbu, sehingga menggetarkan dawai rasa. Ini tidak berkaitan dengan tingkat pendidikan, status sosial, apapun kita, selagi manusia normal dan waras, tentu pernah mengalami kondisi yang seperti ini. Dia merupakan ripertoar kehidupan yang berjalan bersama waktu, namun ada yang merasakan sebagai beban hidup, dan ada yang menerimanya sebagai pengalaman hidup.
Kesan yang menghunjam ini bisa berupa personal maupun sosial, atas dasar itu kehatihatian sangat dituntut kepada kita dalam rangka mengembangkan tatapergaulan sosial. Apalagi pada saat sekarang media sosial sudah bukan hal yang asing; untuk itu bijaknya kita akan terlihat pada penggunaan dan pimilihan diksi saat menggunakannya.

Ternyata filsafat manusia menjadi tumpul pisau analisisnya manakala berhadapan dengan pengalaman subyektifitas masa lampau pelaku sosial. Karena tampilan luar sering berbanding terbalik dengan hakekat yang ada di dalam kalbu bahkan “rasa” seseorang. Dan ini diaminkan oleh teori tabularasanya Jhon Locke: manakala peristiwa sosial atau individual telah menggores “bidang lilin” rasa, maka goresan itu akan menghunjam untuk selamanya.

Jika yang digoreskan adalah perilaku positif melalyu pembelajaran yang terencana, maka tentu saja hasilnya akan positif, sebagai contoh karena menghafal perkalian saat sekolah rakyat telah menggores lempeng lilin ini, maka sekalipun sudah usia lanjut, saat bangun tidur ditanya perkalian itu jawabannya akan benar. Celakanya jika yang tergores di sana adalah rekonstruksi pendidikan atau pengaruh yang bersifat destruktif, maka sampai kapan pun hal itu akan terus berlanjut sepanjang hayat. Tidak salah jika Sutan Ali Haji menulis Gurindam Dua Belas, yang salah satu kompletnya bertulis:

Berburu ke padang datar
Mendapat rusa belang kaki
Berguru kepalang ajar
Bagaikan bunga kembang tak jadi

Semoga tamsil itu menjadi perenungan kita bersama bagaimana pengaruh proses interaksi antarmanusia dalam bentuk apapun, akan meninggalkan sesuatu dan sesuatu itu bisa berupa pengalaman hasil belajar yang positif, atau negatif.

Selamat menghirup kopi hangat!