Lupa Judulnya
Oleh: Sudjarwo Guru Besar Ilmu-Ilmu Sosial di FKIP Unila Minggu minggu ada rasa kejenuhan dalam menapaki acara sisa sisa kehidupan yang seolah mulai membelenggu diri. Acara rutin yang telah dilakoni lebih dari empatpuluh tahun ini mulai menunjukkan g...

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Ilmu-Ilmu Sosial di FKIP Unila
Minggu minggu ada rasa kejenuhan dalam menapaki acara sisa sisa kehidupan yang seolah mulai membelenggu diri. Acara rutin yang telah dilakoni lebih dari empatpuluh tahun ini mulai menunjukkan gejala membosankan; namun entah apa yang mendorong seorang sohib tiba tiba muncul, yang beliau ini sudah cukup lama tidak kelihatan batang hidungnya. Konon menurut sumber yang dapat dipercaya beliau menjauh dari penulis, karena takut dibaca oleh penguasa kampus kalau nanti dimasukkan sebagai kelompok yang tidak disukai; dan itu berarti terancam karier dan periuk nasinya. Berita ini wallahualamwisawab, mudah mudahan tidak benar, karena pemilik rezki itu bukan manusia, dan alamatnyapun tidak pernah tertukar. Jika ada ketidaksukaan itu adalah hukum alam yang sudah diatur oleh Sang Maha Pencipta untuk menjaga keseimbangan dan keberlanjutan kehidupan; meminjam guyonan Gus Dur….”Begitu aja kok repot”…
Mulai dari basa basi bertanya kabar sebagai etika ketimuran jika berjumpa dengan teman lama; sekaligus menyinggung apakah dirinya sudah berhitung masak masak untuk dapat jumpa, karena menurut kabar burung yang sulit dipercaya mengenai sikapnya. Ternyata dengan kejujuran yang lugu beliau mengiyakan; tentu jawaban begini perlu diapresiasi, karena kejujuran itu sekarang barang mahal. Begitu didesak apa gerangan yang membuat beliau melanggar aturan dirinya. Dengan juga jujur menjawab ingin diskusi dan mimpi bersama penulis. Tentu ajakan aneh ini akan kita layani apa hakekat yang esensial dari kemauan seperti ini, dan ini sangat menarik.
Berawal dari berita pergantian kabinet, kemudian masuknya seorang tokoh asal Lampung kejajaran dalam istana; beliau mengatakan untuk saat ini ada dua orang Lampung yang masuh jajaran petinggi negara; tentu sangat menggembirakan bagi daerah ini, untuk memperoleh banyak akses ke perintah pusat; guna mengadakan loby politik demi kemakmuran Lampung. Sampai disini diskusi masih datar datar saja, karena tidak ada yang menarik untuk difikirkan. Namun begitu, beliau mengajukan pertanyaan apa saja pekerjaan menteri setelah dilantik. Tentu saja pertanyaan ini tidak bisa di jawab karena tidak sekalipun kami berdua pernah menduduki jabatan itu, mimpipun tidak; namun tamu aneh ini ingin berdiskusi di seputar itu.
Pertanyaan balik diajukan; mengapa pertanyaan itu muncul, apa yang ada dibenak selama ini. Ternyata beliau risau karena negeri ini berkali kali berganti pimpinan, dari tingkat Rukun Tetangga sampai Pimpinan Tertinggi di negeri ini, dan pada lembaga apapun, termasuk peerguruan tinggi yang katanya gudangnya idealisme; semua tampak hebat di awal, ternyata ditengah jalan mulai muncul kepentingan pribadi, dan akhirnya mencari selamat sendiri, jika bisa diikutkan cari keuntungan sendiri.
Menjadi menarik pada batas ini, karena yang bersangkutan selama ini dikenal berpaham pragmatis yang profan, mendadak menjadi idealis. Hasil pengembangan diskusi, ternyata pada titik tertentu manusia dihadapkan kepada nilai nilai idealisme transidental. Semua akan dimintai pertangungjawaban akan semua perbuatan yang dilakukan di dunia.
Panjangnya usia bisa jadi adalah rasa sayang Tuhan kepada manusia untuk memperbaiki diri sebelum kembali, atau bisa jadi pembiaran agar nantinya tidak perlu ada hisab karena terlalu banyaknya dosa yang disandang, tinggal mendorong ketempat yang disediakan untuk para pendosa , bahasa jawanya “Njlomprongke”. Namun demikian bukan pula berarti pendeknya usia merupakan bentuk sayang Tuhan agar tidak berlumuran dosa untuk segera kembali; bisa jadi bentuk lain kemarahan Tuhan guna mensegerakan untuk dimasukkan ke dalam tempat para pendusta. Semua itu adalah otoritas mutlah Tuhan mengatur umatnya. Kita sebagai umat hanya dan harus menjalaninya dengan ihlas apa yang menjadi ketentuan-Nya.
Diskusi sampai di sini, sang sohib menjadi terhenyak, ada perubahan raut muka ketidaksukaan namun tidak terlahirkan. Membaca situasi yang demikian secara perlahan diskusi dialihkan untuk tidak bicara hal yang transidental. Menariknya apapun diskusi dibangun, muaranya tetap pada ketentuan keilahian, termasuk alasan mengapa Si A yang jadi menteri bukan Si B, walaupun itu dibungkus hak prerogratif presiden, namun tetap saja hak menetapkan person yang terpilih adalah …”Kun Fayakun”…. NYA sang Khalik.
Dengan sedikit gontai beliau mohon diri dengan sedikit muka tertekuk berucap salam, serta mengatakan kata maaf atas kehilafan dan kesalahpahaman yang terbangun olehnya selama ini. Tentu jawaban keilahianlah yang layak untuk menjawabnya….”tidak ada manusia yang lepas dari kesalahan….”yang penting cepat sadar dan memohon maaf”…. Semulya mulya perilaku adalah memaafkan sebelum yang bersangkutan memohonnya; karena hanya pintu maaf Tuhanlah yang menyelamatkan kita di dunia dan akherat kelak dari segala macam malapetaka termasuk fitnah.
Selamat ngopi pagi di hari Jumat…