Kopi Sore: Senyap
Oleh Tomi Lebang Indonesia kini adalah negeri yang berubah, negeri yang terbuka. Segala yang gelap dibikin terang, segala yang sepi dibuat ramai. Dalam gelap dan sepi, kelicikan dan niat busuk bersemayam. Dalam terang dan ramai, persekongkolan suli...
Oleh Tomi Lebang
Indonesia kini adalah negeri yang berubah, negeri yang terbuka. Segala yang gelap dibikin terang, segala yang sepi dibuat ramai. Dalam gelap dan sepi, kelicikan dan niat busuk bersemayam. Dalam terang dan ramai, persekongkolan sulit terjadi.
Dan itulah yang dipegang Sudirman Said, pendiri dan bekas pemimpin Masyarakat Transparansi Internasional (MTI) Indonesia. MTI ini sebuah gerakan antikorupsi dengan jaringan yang mendunia.
Kepada bos Freeport di Amerika, James R. Moffet,yang ia temui satu hari di bulan November 2014, ia berpesan untuk tidak menempuh jalur-jalur politik terkait perpanjangan kontrak.
Indonesia kini, kata Sudirman, bukan negara dengan tata kelola ala 30-40 tahun silam saat Freeport pertama kali hadir di Papua. “Anda berhadapan dengan pemerintah yang berbeda. Dulu kita tidak punya ahli tambang dan lain-lain. Saya tidak ingin dengar Anda berkelilling ke stakeholder politik dan menggunakan pengaruh politik untuk tekan saya. It’s not going to work. Saya ingin independen ambil kajian data profesional,” kata Sudirman kepada Moffet, seperti yang ia kisahkan di depan DPR, Selasa 1 Desember kemarin.
Tapi di Jakarta, Ketua DPR Setya Novanto memanggil Presiden Direktur Freeport Indonesia, Maroef Sjamsoeddin. Panggilan yang membingungkan, karena dari pejabat yang terlalu tinggi. Seharusnya yang berhubungan dengan pimpinan Freeport hanyalah Komisi VII.
Agar tampak elegan, Freeport mengirim surat untuk bertemu pimpinan lembaga tinggi negara sekaligus: MPR, DPR, dan DPD.
Dan itulah yang terjadi. Maroef dan pimpinan Freeport Indonesia diterima secara terbuka oleh Ketua MPR Zulkifli Hasan dan jajarannya, juga oleh Ketua DPD Irman Gusman dan wakil-wakilnya. Pembicaraan berlangsung terbuka dan elegan. Isinya lebih ke bual-bualan perkenalan.
Lalu, Maroef bertemu Ketua DPR Setya Novanto. Dan inilah masalahnya: Novanto hanya ingin bertemu empat mata, berdua sahaja, tidak di kantor tapi di sebuah tempat di luar Senayan. Bukan sekali pertemuan saja, tapi tiga kali.
Pertemuan pertama pada 27 April 2015 sekadar ngopi-ngopi dan buat janji untuk pertemuan kedua.
Anda tahu, bilamana dua orang yang bukan muhrim bertemu di tempat sepi? Akan ada setan yang menjadi orang ketiga. Ops…. tentu saja ini perumpamaan yang keliru. Bukan untuk mereka hehe….
Singkat cerita, pertemuan kedua digelar pada 13 Mei 2015. Lokasinya ruangan mewah lantai 21 Hotel Ritz Carlton, Pacific Place, Jakarta Selatan. Kali ini, Setya Novanto didampingi kawan baiknya — baik sekali — seorang pria tinggi berkumis, pandangan mata mencorong, dan berwibawa, dengan nama yang sungguh menggiriskan: Muhammad Riza Chalid. Ruang yang dingin, senyap, kalimat-kalimat bersayap dan Maroef mulai curiga. Arahnya ke persekongkolan: tawaran dari dua sekawan untuk membantu memuluskan perpanjangan kontrak Freeport Indonesia.
Pertemuan ditutup dengan janji untuk bertemu kembali.
Pada siang yang terik, 8 Juni 2014, di hotel yang sama ketiganya kembali duduk bersama. Maroef — seorang purnawirawan marsekal TNI Angkatan Udara, pilot tempur dan bekas komandan skadron pasukan elit, pernah jadi wakil kepala badan intelijen — kini datang dengan persiapan alat perekam, berjaga-jaga kalau-kalau kelak pertemuan ini menjadi skandal.
Cerita selanjutnya, kita tahu bersama …..
Saat pembicaraan di tempat gelap dan senyap terbuka ke khalayak, kita mendengar pembicaraan tingkat tinggi, niat yang bengkok, yang dalam bahasa pentolan Partai Golkar Bambang Soesatyo: “Rekaman yang utuh itu lebih mengerikan”. Ada pencatutan nama Presiden, Wakil Presiden, Menkopolhukam.
Begitulah awalnya, sodara-sodara. Setya Novanto tak senang bertemu di kantor, rame-rame dan terbuka. Ia memilih tempat yang senyap, empat mata — plus dua mata Riza Chalid — di satu tempat di luar Senayan.
Dalam gelap dan sepi, kelicikan dan niat busuk bersemayam. Dalam terang dan ramai, persekongkolan sulit terjadi.
Sekali lagi, Tuhan melindungi Indonesia dari marabahaya. Dari keserakahan tiada tara.
Selamat sore, Indonesia….



