Kopi Sore: “Saiki”, “Kene”, “Ngene”

Dahta Gautama SAIKI, Kene, Ngene, falsafah hidup Jawa yang ditulis Ki Ageng Suryomentraman (1892–1962). Seorang Pangeran Kesultanan Yogyakarta, yang mengasingkan hidupnya di Desa Bringin, Salatiga, Jawa Tengah. Ki Ageng Suryomentraman menang...

Kopi Sore: “Saiki”, “Kene”, “Ngene”
Dahta Gautama

SAIKI, Kene, Ngene, falsafah hidup Jawa yang ditulis Ki Ageng Suryomentraman (1892–1962).
Seorang Pangeran Kesultanan Yogyakarta, yang mengasingkan hidupnya di Desa
Bringin, Salatiga, Jawa Tengah.
Ki Ageng Suryomentraman menanggalkan status kebangsawanan dan kemewahan
dunia, demi jumpa hidup yang tenang, bermartabat dan manusiawi. Menurut Ki
Ageng, untuk mengenali diri, upaya yang dilakukan hendaknya memulai dari
sekarang (saiki), di sini (kene) dan seperti yang ada (ngene).
Betapa tak mudah mengejewantahkan prinsif ini, apalagi jika dipadupadankan
dengan logika berpikir terkini. Jika yang dimaksud saiki, kene: “sekarang” kayanya, “disini” enaknya, pasti itu
“maunya” semua orang (kita), di jaman “berbelanja” ini. Betapa kita, adalah
“manusia-manusia” yang berada di “perbatasan tempat” yang menyulitkan, antara
ikhlas dengan keadaan hidup atau marah dengan kondisi yang ada.
Jaman sulit begini, siapa yang tak ingin: saiki, kene; “sekarang”
dan “di sini”. Namun pasti menolak ngene; hidup
seperti apa adanya.
Kebutuhan kita bukan lagi beras yang ditanak untuk di makan pagi, siang
sore. Hari-hari ini, kita juga sudah tak mendengar sandiwara radio lagi,
kelakuan yang paling menyenangankan pada tahun 80-an.
Hari-hari ini, kita butuh informasi di internet dan itu hanya bisa di akses
dengan kuota pulsa. Dan itu pakai uang. Informasi yang diterima belum tentu
penting untuk kelangsungan hidup kita, karena tidak bikin perut kenyang, tapi
berguna untuk berkumpul di Pos Ronda atau Warung Kopi, sebagai bahan obrolan.
Hari-hari ini, kita suka berada di ruang berpendingin udara, makanya
belanja mie instan dan sabun colet saja mesti ke Supermarket. Kalau sudah beli
mie dan sabun, anak-anak yang ngikuti pantat
kita dari belakang, pasti minta makan ayam krispy. Sebab itu, kita jadi sangat
akrab dengan ayam goreng pakai sambal botol. Ya, ayam goreng tepung, sambal
botol dan nasi segenggam, tanpa kobokan dan kuah. Untuk meneruskannya masuk ke
lambung melalui tenggorokan agar terdorong ke usus, kita mesti menambah soda
manis. Barangkali kita “merasa” sudah jadi “orang sukses” dengan makanan aneh
itu. Lagi-lagi uang.
Kolesterol, ya, jangan
lupa mampir ke apotik, untuk beli obat peluruh lemak, agar darah yang ngalir ke batang otak dan selang jantung
lancar, agar tak kena strok dan jantung mandek mendadak. Lagi-lagi uang.
Nah, satu lagi, mobil? Kalau mau dianggap sukses, maka harus memiliki
mobil. Terserah, mobil yang bagaimana? Sedan tua atau minibus dan SUV terbaru
dari dealer. Yang penting mobil. Maka kreditlah, jika tak sanggup beli kontan.
Kredit atau kontan, sama-sama pakai uang; padahal belum tentu ada uang. Maka di
ada-adakan saja uangnya.
Kloplah, ke Supermarket, makan goreng ayam tepung dan mobil di parkir di
muka gedung. Wah.. wah.. superr..
Ya, super. Penyakit ini sudah jadi kelakuan kita. Pingin dianggap pintar,
hebat, kaya, sukses. Pokoknya, segalanya, pokoknya super. Harus lebih bermutu
dari orang lain, atau minimal “sama”.
Kalau saja, kita bisa mengejewantahkan Saiki
(sekarang) bekerja dan berperilaku seimbang. Kene
(Di sini), kita berumah dengan hati yang tak nyimpan hawa nafsu berlebih,
antara keinginan dan kebutuhan, serta Kene
(seperti apa adanya) saja, tidak neko-neko
dan nrimo atau ikhlas. Jika prinsif
itu yang kita jalani, entah bagaimana dunia ini? Pasti tak ada miskin dan
kejahatan. Tak ada manifulatif dan kebohongan. ***