Kemungkaran Struktural
Oleh Dr. Syarief Makhya Akademisi FISIP Universitas Lampung Istilah kemungkaran struktural dalam tulisan ini merujuk pendapat Prof. Din Syamsyudin, Ketua Muhammadiyah tahun 2005–2015 bahwa masalah kemungkaran tidak cukup dilakukan dengan cara pendeka...

Oleh Dr. Syarief Makhya
Akademisi FISIP Universitas Lampung
Istilah kemungkaran struktural dalam tulisan ini merujuk pendapat Prof. Din Syamsyudin, Ketua Muhammadiyah tahun 2005–2015 bahwa masalah kemungkaran tidak cukup dilakukan dengan cara pendekatan kultural dengan cara merubah sikap mentalitas, kultur atau aspek lainnya, yang sifatnya mikro atau individual tetapi juga dilakukan dengan pendekatan struktural yaitu dengan melakukan perlawanan terhadap kekuasaan yang zholim dan kebijakan-kebijakan pemerintah yang tidak berpihak kepada masyarakat lemah atau melakukan kebijakan-kebijakan yang eksploitatif yang menguntungkan pemilik modal. Misalnya, yang pernah dilakukan Muhammadiyah yaitu melakukan jihad konstitusi ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Jadi, kemungkaran struktural di sini diartikan segala segala bentuk kebijakan yang tidak sejalan dengan kepentingan masyarakat luas, dan kebijakan-kebijakan yang tidak adil yang diproduksi oleh Negara yang berdampak terjadinya ketimpangan pembangunan, ketidak berdayaan masyarakat lapisan bawah, kehilangan akses untuk memperoleh pelayanan publik, kemiskinan yang semakin meluas karena ada praktek monopoli, dst .
Alasan kenapa perlunya melakukan perlawanan terhadap kemungkaran struktural karena sejak era orde baru sampai sekarang kemungkaran struktural semisal masalah praktek penyalah gunaan kekuasaan, eksploitasi terhadap sumberdaya alam, penguasaan lahan yang melampaui batas kewajaran oleh pengusaha, kebijakan yang tidak memihak pada rakyat lapisan bawah, nepotisme yang menguntungkan keluarga penguasa masih tetap berlangsung, akuntabilitas keuangan yang masih formalitas, kegagalan kebijakan yang merugikan keuangan negara, kemiskinan struktural yang terus berlanjut, dst.
Persoalan-persoalan tersebut akar persoalannya bersumber akibat kekuasaan yang tidak bisa dikontrol secara efektif, pengelolaan keuangan negara yang masih serba formalitas, kebijakan kebijakan yang sarat dengan kepentingan pengusaha, dan lemahnya penegakkan hukum serta sistem politik yang mendisain adanya hubungan-hubungan yang kompromistik, semisal antara DPR dengan Pemerintah.
Apakah akar persoalan tersebut akan terus berlangsung atau bisa diatasi secara efektif? hipotesisnya, sepanjang kekuasaan itu masih tidak bisa dikontrol secara efektif dan relasi kekuasaan masih dominatif dan tergantung pada pemilik modal, maka tidak ada jaminan untuk melakukan perubahan politik secara mendasar. Rezim karakteristiknya akan sama saja yang yang dikendalikan dengan sistem oligarkhi.
Perlawanan Struktural
Keruntuhan rezim bisa dibebabkan karena ada gelombang aksi masa atau gerakan people power, intervensi dari negara luar, kudeta, atau karena krisis ekonomi yang berkepanjangan yang berakibat kehilangan kepercayaan. Jatuhnya rezim Orde Oaru karena akibat adanya krisis ekonomi yang tidak terkendali dan munculnya akumulasi gerakan rakyat yang sudah berproses sejak lama.
Akankah Indonesia akan mengalami hal yang sama pada beberapa tahun ke depan? Harapannya tidak perlu lagi terjadi aksi people power, karena resikonya terlalu besar untuk menjaga dan memelihara keutuhan Indonesia yang relatif sudah terjaga selama ini. Namun, realitas objektif, pada akhirnya yang akan menentukan masa depan Indonesia, apakah masyarakat akan condong melakukan perubahan politik dengan cara – cara yang konstitutional ataukah lebih condong melalui bentuk cara lain yang seperti yang pernah terjadi seperti tahun 1998.
Belakangan ini misalnya, muncul usulan dari beberapa partai politik untuk menunda pemilu 2024 dan memperpanjang masa jabatan presiden tiga periode. Jika diukur dari konstitusi jelas usulan tersebut dikategorikan inkonstitutional karena tidak sesuai dengan UUD 1945. Argumen untuk menunda pemilu atau masa jabatan presiden bisa tiga periode, tidak cukup alasan karea situasi nya tidak mendesak dan realitas politiknya juga tidak mendukung ke arah tersebut.
Jadi, dalam situasi politik yang arahnya hanya dikendalikan oleh kepentingan rezim oligharki maka harus ada kekuatan masyarakat yang bisa mengontrolnya. Di sinilah peran strategis kelompok–kelompok kritis, civil society, akademisi, pers, kelompok pemrotes, tokoh-tokoh agama, dst harus punya keberanian untuk melakukan perlawanan terhadap kebijakan pemerintah yang merugikan masyarakat luas, melakukan yudicial review, menawarkan alternatif kebijakan, ikut mengontrol terhadap jalannya pemerintahan, melakukan gerakan anti-korupsi, mendorong lembaga peradilan untuk tetap independen, dst.
Untuk melakukan perlawanan terhadap kemungkaran struktural, intinya harus ada perlawanan terhadap rezim yang berkuasa baik di pusat dan di daerah. Perlawanan di sini diartikan sebagai bentuk kontrol yang konstruktif, sehingga kebijakan negara sesuai dengan prinsip kesetujuan rakyat dan berkeadilan. Kelompok masyarakat milineal yang jumlahnya cukup besar sekarang harus didorong untuk selalu bersikap kritis dalam mengontrol penyimpangan kekuasaan dan memiliki keberanian untuk melakukan gugatan terhadap kebijakan – kebijakan publik yang dinilai tidak promasyarakat luas dan hanya menguntungkan pemilik modal.
Kondisi saat ini memang sangat memprihatikankan, ada kecenderungan masyarakat menjadi tidak peduli dan pasif terhadap persoalan-persoalan akibat dampak dari kebijakan negara, intervensi negara bisa dikalahkan oleh mekanisme pasar, muncul rasa takut mengkritik terhadap pemerintah, dan ada kecenderungan mereka yang sudah merasa nyaman dengan posisi jabatan yang dimiliknya lebih bersikap pragmatis, tidak peduli dengan kondisi lingkungan sosial-politik, serta berupaya untuk mendekatkan dengan kekuasaan, karena akan menguntungkan bagi dirinya. Sekali lagi, inilah yang akan melanggengkan kemungkaran struktural terus berlanjut di negeri ini.***