Kritik Terhadap Budaya Seremonial yang Berlebihan
Oleh Syarief Makhya Saya sering diundang menjadi pembicara atau narasumber dalam seminar atau menjadi pembahas di berbagai kegiatan lainnyaa. Dalam undangan biasanya tertera bahwa saya akan mendapat waktu sekitar 90 menit untuk presentasi. Namun, se...

Oleh Syarief Makhya
Saya sering diundang menjadi pembicara atau narasumber dalam seminar atau menjadi pembahas di berbagai kegiatan lainnyaa. Dalam undangan biasanya tertera bahwa saya akan mendapat waktu sekitar 90 menit untuk presentasi. Namun, sesampainya saya di lokasi acara, seperti biasa, rangkaian kegiatan biasanya dimulai dengan seremonial pembukaan. Acara pembukaan ini biasanya mencakup sambutan-sambutan, tarian persembahan, pembukaan resmi oleh gubernur atau perwakilannya, pembacaan doa, sesi foto bersama, dan terkadang juga rehat sejenak. Rangkaian seremoni ini sering memakan waktu hampir 60 menit.
Akibatnya, ketika acara inti dimulai, waktu saya untuk menyampaikan materi sudah sangat terbatas. Saya hanya diberi sekitar 10 menit untuk presentasi, disusul sesi diskusi selama kurang lebih 25 menit. Secara keseluruhan, acara terkesan lebih menonjolkan aspek seremonial ketimbang substansi. Materi seminar tidak tampak jelas arah, hasil, atau dampaknya. Yang justru terlihat, sebagian besar peserta tampaknya lebih fokus berburu sertifikat daripada benar-benar menyimak isi materi yang disampaikan.
Fenomena tersebut sudah umum dan berlangsung tidak hanya di perguruan tinggi, di instansi pemerintah, di lembaga pendidikan lainnya bahkan di acara-acara di tingkat masyarakat pun seperti itu dan cenderung dipelihara sebagai tradisi atau kebiasaan yang membosankan. Jika acara seremonial itu di tinggalkan akan dianggap tidak lazim dan akan ada kesan khawatir dianggap hal yang aneh.
Pengalaman di negara lain, misalnya yang pernah saya alami saat mengikuti konferensi di Korea Selatan, Vietnam, atau di Bangkok, menunjukkan bahwa kegiatan resmi seperti seminar atau acara akademik lainnya biasanya cukup diawali dengan sekadar kata sambutan singkat dari panitia yang memakan waktu tak lebih dari lima menit kemudian langsung dilanjutkan dengan seminar dan diskusi.
Dalam forum seminar tersebut, peserta dapat menikmati serta menyimak perdebatan teoritis, temuan riset terkini, dan bisa saling mengevaluasi perkembangan keilmuan dari masing-masing makalah yang dipresentasikan.
Usai seminar berlangsung, diperoleh perspektif baru dalam membahas perkembangan ilmu pengetahuan yang bisa dikembangkan untuk memperkaya wacana akademik , meningkatkan kualitas riset di lingkungan institusi masing-masing, serta mendorong kolaborasi lintas negara dalam menjawab tantangan global yang dihadapi dunia ilmu pengetahuan saat ini.
Harus bisa diubah ?
Kegiatan seremonial yang berlebihan, yang mengabaikan isi pokok atau substansi kegiatan, mungkin tampak sebagai persoalan sepele. Namun, hal ini memiliki implikasi yang cukup serius, yaitu bisa mengalihkan fokus dari tujuan utama kegiatan, mengurangi efektivitas penyampaian materi, serta menyebabkan peserta kehilangan minat atau antusiasme terhadap esensi acara tersebut.
Jika dibiarkan berlanjut, budaya semacam ini dapat membentuk kebiasaan yang kontraproduktif dalam dunia akademik maupun profesional, yaitu formalitas lebih diutamakan daripada isi dan kualitas. Padahal, dalam konteks pengembangan ilmu pengetahuan dan peningkatan kapasitas sumber daya manusia, yang seharusnya menjadi titik tekan adalah pertukaran gagasan, pemaparan temuan, dan diskusi yang konstruktif.
Budaya seremonialisme atau formalisme berlebihan, adalah sebuah pola budaya yang lebih menekankan pada tampilan luar, prosedur formal, dan simbolisme acara, dibandingkan dengan substansi atau isi kegiatan itu sendiri. Bagaimana mengubahnya ? Pertama, diperlukan pergeseran paradigma di tingkat kelembagaan, dari yang semula berorientasi pada bentuk dan prosedur, menjadi lebih menekankan pada efektivitas, isi, dan pencapaian tujuan substantif dari setiap kegiatan. Ini bisa dimulai dengan menyederhanakan tata acara, mengurangi porsi waktu untuk sambutan formal, dan memberikan ruang lebih luas untuk sesi diskusi, pertukaran ide, atau presentasi ilmiah.
Kedua, perlu ada kepemimpinan yang visioner dan berani memotong kebiasaan simbolik yang tidak produktif. Pemimpin institusi harus menjadi contoh dalam menunjukkan bahwa kualitas pemikiran lebih penting daripada formalitas acara. Ketiga, mendorong budaya evaluasi kritis dan reflektif terhadap setiap kegiatan—apakah tujuan kegiatan tercapai, siapa yang mendapat manfaat, dan bagaimana dampaknya terhadap peningkatan kualitas SDM atau ilmu pengetahuan. Evaluasi ini sebaiknya dilakukan secara terbuka dan digunakan sebagai dasar perbaikan di masa mendatang.
Keempat, reformasi budaya organisasi secara menyeluruh, termasuk dalam pendidikan dan pelatihan aparatur atau akademisi, agar lebih mengedepankan substansi, kolaborasi, dan hasil nyata, daripada sekadar seremonial dan pencitraan.
Kebiasaan dan tradisi budaya seremonial pada prinsipnya bisa diubah. Dalam kasus lain, misalnya kebiasaan seremonial di lingkungan instansi pemerintah, seperti di pemerintah daerah, kebiasaan budaya rapat yang bertele-tele, pemborosan anggaran, dan aktivitas seremonial pejabat dapat diubah melalui keteladanan gaya kepemimpinan seperti yang ditunjukkan oleh Dedi Mulyadi (Gubernur Jawa Barat) yang dikenal dengan pendekatan non-seremonial, tidak bergantung pada aturan formal yang kaku, dan lebih mengutamakan kerja langsung di lapangan serta interaksi nyata dengan masyarakat.
Pendekatan ini tidak hanya memotong birokrasi yang tidak perlu, tetapi juga membangun kepercayaan publik melalui kedekatan, ketulusan, dan efisiensi kerja. Kepemimpinan semacam ini menekankan bahwa pelayanan publik seharusnya berbasis pada kebutuhan riil masyarakat, bukan pada rutinitas simbolik yang hanya menghabiskan waktu dan sumber daya.
Dengan kata lain, perubahan budaya seremonial bukan hal yang mustahil, asalkan ada keberanian dari pemimpin untuk keluar dari zona nyaman, serta komitmen untuk menempatkan substansi, manfaat, dan keberdayaan masyarakat sebagai orientasi utama kebijakan dan tindakan institusional.***
*Dr. Syarief Makhya, M.Si, staf pengajar FISIP Universitas Lampung