Kembalikan Daulat Rakyat ! * (4)
Oleh Happy Sulistyadi Fakta-fakta tersebut, secara konstitusional, tidak salah. Sebab, berdasarkan konstitusi (UUD 1945), memang seperti itulah cara memilih Presiden dan Wakil Presiden. Akan tetapi, dari segi demokrasi, hal itu dianggap tidak t...
secara konstitusional, tidak salah. Sebab, berdasarkan konstitusi (UUD 1945),
memang seperti itulah cara memilih Presiden dan Wakil Presiden. Akan tetapi,
dari segi demokrasi, hal itu dianggap tidak tepat. Sebab, seharusnya
perbandingan suara di tingkat rakyat bisa paralel denga perbandingan suara di
tingkat lembaga perwakilan, atau lembaga yang mewakili rakyat. Itu berarti,
kehendak rakyat terbanyak mestinya juga menjadi keputusan para wakil rakyat di
MPR.
pemilihan Presiden secara langsung, tentu saja untuk menjaga stabilitas
pemerintahan agar tidak mudah dijatuhkan di tengah jalan oleh parlemen. Hal ini
sesuai dg prinsip yang berlaku pada sistem presidensial.
secara langsung bertentangan dengan sila keempat Pancasila, yang menentukan
“kerakyatan” dilakukan “dalam permusyawaratan/perwakilan”?
bertentangan. Sebab, sila kempat Pancasila yang menyebut “permusyawaratan/
perwakilan” tidak bisa dikaitkan atau diartikan dengan MPR saja.
keempat Pancasila adalah keputusan-keputusan negara harus dilakukan melalui
pembicaraan yang hikmat dan bijaksana di lembaga perwakilan yang harus
dibentuk. Jadi, lebih bersifat bagaimana cara mengambil keputusan negara.
keempat Pancasila sesungguhnya berisi perintah agar dibentuk lembaga perwakilan
rakyat, seperti MPR, DPR, DPD, dan DPRD.
kemerdekaan Republik Indonesia dan adanya UUD 1945, lantas dibentuklah lembaga
perwakilan, yakni MPR, DPR, serta DPRD. Bahkan, setelah reformasi tahun 1998,
amandemen UUD 1945 membentuk lembaga perwakilan rakyat yang baru, yaitu DPD.
Pancasila tidak mengandung makna berisi perintah agar Presiden dipilih oleh
lembaga perwakilan.
pula diterapkan pada pemilihan kepala daerah secara langsung oleh rakyat.
sebelum diamandemen telah mereduksi kedaulatan rakyat menjadi kedaulatan
lembaga negara, dalam hal ini MPR, bahkan menjadi lembaga negara suprematif dan
memiliki kewenangan tidak terbatas. Alhasil, kedaulatan rakyat yang diwujudkan
dalam demokrasi langsung atau demokrasi partisipasi melalui pemilihan secara
langsung oleh rakyat direduksi pula menjadi demokrasi perwakilan atau demokrasi
tidak langsung melalui pemilihan secara tidak langsung ataupun pemilihan oleh
lembaga perwakilan rakyat.
politik pada lembaga perwakilan rakyat terbukti sangat tidak selaras dengan
aspirasi ataupun kehendak rakyat.
kesenjangan antara aspirasi rakyat dan konfigurasi plus keputusan politik di
lembaga perwakilan rakyat melalui demokrasi perwakilan bisa pula terjadi bila
“Pilkada dilakukan oleh atau melalui DPRD”.
mustahil orang-orang seperti Joko Widodo (yang menjadi Wali Kota Solo dan
kemudian menjadi Gubernur Jakarta, bahkan kini menjadi Presiden terpilih), Tri
Rismaharani (Wali Kota Surabaya), Nurdin Abdullah (Bupati Bantaeng), Abdullah
Azwar Anas (Bupati Banyuwangi), Tri Rismaharani (Walikota Surabaya), serta Ridwan
Kamil (Walikota Bandung) tak bakal terpilih sebagai kepala daerah, bila
pemilihan dilakukan secara tidak langsung atau dipilih oleh DPRD.
pemilihan pejabat negara selama ini di DPR pun acap kali bukan orang-orang
terbaik yang dipilih. Namun, orang-orang yang “terpilih” menurut transaksi
politik, ataupun konfigurasi politik, di DPR. Itu di DPR, lembaga perwakilan
rakyat di tingkat pusat. Apalagi bila di tingkat DPRD.
yang akan menyatakan bahwa pemilihan Presiden tidak bisa disandingankan dengan
pemilihan kepala daerah. Atau, kedudukan dan wewenang lembaga perwakilan rakyat
di pusat, dalam hal ini MPR dan DPR, tak dapat pula dibandingkan dengan
eksistensi DPRD.
masalahnya bukan sekadar itu. Masalahnya, menyangkut esensi utama dari
kedaulatan rakyat, yakni dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat, dan sesuai
dengan kehendak rakyat. Selain itu, sebagaimana dijabarkan di atas, tentu saja
hal ini sebagai konsekwensi dari dipilihnya sistem presidensial untuk negara
kesatuan Republik Indonesia.
reformasi tahun 1998, maka paham “kedaulatan rakyat” dan prinsip demokrasi
langsung pada norma “presiden dipilih secara langsung oleh rakyat” akhirnya
diterapkan pula pada UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah.
Berdasarkan UU Nomor 32 Tahun 2004, kepala daerah dan wakil kepala daerah
dipilih melalui pemilihan secara langsung oleh rakyat (pemilu). Kini, penerapan
demokrasi langsung pada pemilihan kepala daerah ini telah berlangsung hampir 10
tahun.
oleh DPRD”, maka disain sistem
pemerintahan daerah bisa menjadi kacau. Sebab, UU Pemerintah Daerah yang baru,
yakni UU Nomor 32 Tahun 2004 juncto UU Nomor 12 Tahun 2008, menentukan pemilihan secara langsung
oleh rakyat. Pada Penjelasan UU Pemerintah Daerah disebutkan karena DPRD tidak
memiliki tugas dan wewenang untuk memilih Kepala Daerah dan Wakil Kepala
Daerah, maka pemilihan secara demokratis dilakukan oleh rakyat secara
langsung.
Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA) juga menyebutkan
“Gubernur/Wakil Gubernur, bupati/wakil bupati, dan wali kota/wakil wali kota
dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat setiap 5 (lima) tahun
sekali melalui pemilihan yang demokratis, bebas, rahasia serta dilaksanakan
secara jujur dan adil.”
Nomor 35 tahun 2008 juga menyebutkan bahwa gubernur dipilih melalui pemilihan
langsung.
Gubernur dijabat oleh Sultan Hamengku Buwono dan Wakil Gubernur dijabat oleh
Adipati Paku Alam.
Khusus Jakarta, DKI Jakarta dipimpin oleh satu orang gubernur dibantu oleh satu
orang wakil gubernur yang dipilih secara langsung melalui pemilihan umum kepala
daerah dan wakil kepala daerah.
lama ini lahir, yakni UU Nomor 17 tahun 2014 tentang Susunan dan Kedudukan MPR,
DPR, DPD, dan DPRD (MD3) juga tidak menyebutkan adanya wewenang DPRD provinsi
dan kabupaten/kota untuk memilih kepala dan wakil kepala daerah.
demokrasi yang tepat adalah dengan menerapkan pilkada secara langsung oleh
rakyat, bukan pilkada oleh atau melalui DPRD.
ketentuan “pemilihan
kepala daerah oleh DPRD” pada UU Pilkada bertentangan dengan konstitusi (UUD
1945), khususnya terhadap ketentuan Pasal 1 Ayat (2) UUD 1945. Konsekwensinya,
ketentuan itu menjadi inkonstitusional, sehingga tidak mengikat secara hukum,
tidak berlaku, dan harus dibatalkan.***
* Kajian ini belum dilengkapi dengan uraian tentang aspek legal standing dan kerugian konstitusional pemohon judicial review



