Kembalikan Daulat Rakyat ! * (3)

Oleh Happy SulistyadiDengan mengadopsi bentuk pemerintahan presidensial, yang berarti Presiden sebagai Kepala negara dan Kepala pemerintahan dipilih langsung oleh rakyat melalui pemilu, maka kepala pemerintahan di daerah otonom juga harus dipilih...

Kembalikan Daulat Rakyat ! * (3)
Oleh Happy Sulistyadi
Dengan mengadopsi
bentuk pemerintahan presidensial, yang berarti Presiden sebagai Kepala negara
dan Kepala pemerintahan dipilih langsung oleh rakyat melalui pemilu, maka
kepala pemerintahan di daerah otonom juga harus dipilih langsung oleh rakyat
melalui pemilu. Legitimasi kepala pemerintahan dalam pemerintahan presidensial
tidak pada DPR, namun pada rakyat. Baik DPR maupun Presiden mendapat mandat dan
legitimasi secara langsung dari rakyat. Sebab, bentuk pemerintahan presidensial
memisahkan pemegang kekuasaan eksekutif dari legislatif.
Namun, apa mau dikata,
ternyata pembahasan, perumusan, dan keputusan tentang pilpres putaran kedua
pada amandemen ketiga UUD 1945 tidak rampung, sesuai dengan jadwalnya. Bahkan
pembahasan tentang mekanisme pilpres berlanjut pada proses amandemen keempat
UUD 1945. Dan, setelah itu, jadwal berikut masa pembahasan amandemen UUD 1945
di MPR telah habis tenggat waktunya. Dus, agaknya, sudah tidak mungkin lagi
menyempurnakan rumusan Pasal 18 Ayat (4) UUD 1945.
 5. Tentang Pasal 1 Ayat (2) UUD 1945.
Pasal 1 Ayat (2) UUD
1945 : Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut
Undang-undang Dasar.
(Hasil Amandemen
ketiga UUD 1945 pada 9 November 2001).
Pasal ini merupakan
perubahan (amandemen) terhadap Pasal 1 Ayat (2) UUD 1945 lama (sebelum
amandemen), yang semula berbunyi: “Kedaulatan adalah di tangan rakyat, dan
dilaksanakan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat”.
Ketentuan Pasal 1 Ayat
(2) UUD 1945 hasil amandemen ketiga itu dapat dimaknai sebagai berikut :
1. “Kedaulatan berada
di tangan rakyat” berarti kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat.
Sesungguhnya, rakyat yang merupakan sumber kekuasaan negara.
2. Kekuasaan atau
kedaulatan rakyat diselenggarakan menurut UUD 1945 berarti demokrasi yang
dilaksanakan menurut UUD 1945, atau demokrasi konstitusional.
3. Kekuasaan atau
kedaulatan rakyat bukan saja dilaksanakan oleh satu lembaga negara, dalam hal
ini Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), sebagaimana rumusan lama pada UUD
1945 pra amandemen. Kekuasaan atau kedaulatan rakyat juga dilaksanakan oleh
beberapa lembaga atau organ negara lainnya. Dalam hal ini, lembaga Negara
berupa Presiden, yang menurut amandemen ketiga UUD 1945, dipilih secara
langsung oleh rakyat, atau tidak lagi dipilih oleh MPR, sebagaimana ketentuan
lama pada UUD 1945 sebelum amandemen. Demikian pula lembaga negara yang juga
menjadi pelaksana kedaulatan rakyat, yakni DPR, DPD, MA dan MK, serta BPK.
Dengan demikian, MPR
bukan lagi satu-satunya lembaga pelaksana kedaulatan rakyat, apalagi sampai
pernah disebut sebagai penjelmaan rakyat dan lembaga tertinggi negara, yang
memiliki kewenangan tidak terbatas. Lembaga-lembaga Negara, yakni MPR, DPR,
Presiden, MA dan MK, serta BPK menjadi setara atau sejajar dalam hubungan
fungsional yang horizontal.
5.a. Bila dirunut dari segi sejarah ke belakang, sejatinya, salah satu tujuan penting reformasi
pada tahun 1998 adalah mewujudkan kembali pelaksanaan demokrasi dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara. Kekuasaan dalam negara mesti bersumber dan tunduk pada
kehendak rakyat. Maka, pada tahun 1999 sampai dengan tahun 2002,
dilaksanakanlah empat kali amandemen UUD 1945 oleh MPR.
Alhasil, berdasarkan
amandemen ketiga UUD 1945 pada 9 November 2001, diputuskanlah ketentuan baru
Pasal 1 Ayat (2) UUD 1945. Dengan demikian, rumusan Pasal 1 Ayat (2) UUD 1945
mengembalikan kedaulatan kepada rakyat, tanpa menginstitusikannya hanya pada
MPR. Sebab, Pasal 1 Ayat (2) UUD 1945 sebelum amandemen justru telah mereduksi
paham kedaulatan rakyat menjadi kedaulatan negara, dalam hal ini kedaulatan
pada institusi (lembaga) negara MPR.
Rumusan Pasal 1 Ayat
(2)UUD 1945 hasil amandemen ketiga merupakan penjabaran langsung, sekaligus
meneguhkan, paham kedaulatan rakyat, serta cara melaksanakan dan mewujudkan
kedaulatan rakyat. Dus, rumusan Pasal 1 Ayat (2) UUD 1045 hasil amandemen
ketiga bukan lagi masalah lembaga negara, dalam hal ini MPR.
5.b. Jika ditelaah kembali, ketentuan Pasal 1 Ayat (2) UUD 1945 sebelum
amandemen, nampak ada tiga hal yang perlu dicermati. Pertama, esensi utama, yakni
paham kerakyatan (demokrasi). Kedua, institusi atau lembaga yang menjalankan
kedaulatan rakyat. Ketiga, kekuasaan dari institusi tersebut. Hal kedua dan
ketiga ini lantas menimbulkan pemahaman tentang kedaulatan lembaga negara,
dalam hal ini MPR.
Dulu, sebelum
amandemen UUD 1945, malah muncul sebutan bahwa MPR adalah pelaksana kedaulatan
rakyat sepenuhnya dan MPR merupakan penjelmaaan rakyat. Akibatnya, timbul kesan
adanya lembaga negara yang menjadi penubuhan atau personifikasi dari kedaulatan
rakyat.
Pasal 1 Ayat (2) UUD
1945 pra amandemen mengandung arti pula bahwa kedaulatan di tangan rakyat, dan
utk menjalankannya dibentuklah MPR. Inilah demokrasi perwakilan.
Demokrasi dapat
mengambil bentuk perwakilan (representative democracy) ataupun bersifat partisipatif (participatory
democracy
). Para pendiri
Indonesia merumuskan “konstitusi semasa perang” pada tahun 1945 dengan kerangka
institusi berdemokrasi, atau dengan memilih sistem perwakilan berbentuk
parlemen dan lembaga legislatif. Lembaga-lembaga inilah yang disebut sebagai
penyelenggara negara. Namun demikian, itu bukan berarti bahwa para pendiri
Indonesia bisa dianggap anti demokrasi partisipatorik.
Sesungguhnya, dasar
kerakyatan dan rumusan kelembagaannya tidaklah dapat diartikan senafas. Apalagi
bila diartikan bahwa yang prinsip adalah lembaga perwakilannya, yakni MPR,
bukan paham kerakyatannya.
Dan, pada UUD sebelum
amandemen, lembaga negara yang menjalankan kedaulatan rakyat, yakni MPR,
memiliki kekuasaan sepenuhnya, atau tidak terbatas. Maka, terjadilah
pereduksian kedaulatan rakyat menjadi hanya demokrasi perwakilan, atau
kedaulatan negara pada lembaga negara, dalam hal ini, MPR.
Jadi, Pasal 1 Ayat (2)
amandemen UUD 1945 mengembalikan kedaulatan pada rakyat, yang semula menjadi
kedaulatan lembaga MPR, atau demokrasi perwakilan.
5.c. Amandemen (perubahan) ketiga UUD 1945 telah mengakhiri
posisi MPR sebagai Parlemen atau lembaga perwakilan rakyat tertinggi,
 yang memonopoli dan menjalankan sepenuhnya
kedaulatan rakyat. Amandemen ini menandai tamatnya doktrin supremasi MPR. Dalam
Penjelasan UUD 1945, doktrin ini menyebutkan bahwa MPR adalah penyelenggara
negara tertinggi, dan dianggap sebagai penjelmaan rakyat yang memegang
kedaulatan Negara; karena MPR memegang kedaulatan negara sepenuhnya, maka
kekuasaannya tidak terbatas.
Perubahan ketiga UUD
1945 telah mengubah doktrin tersebut, sekaligus mengalihkan kedaulatan dari
tangan MPR dan menegaskan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan
dilaksanakan menurut UUD 1945. Perubahan sangat mendasar ini menandai pula
keputusan untuk mengubah Indonesia dari sebuah negara yang memiliki sebuah
lembaga negara tertinggi yang serba-kuasa, yakni MPR, menjadi sebuah negara
yang memiliki check and balance konstitusional. MPR kini memiliki kekuasaan
yang dibatasi oleh UUD 1945.
6. Tentang Pasal 6A Ayat (1) UUD 1945.
Pasal 6A Ayat (1) UUD
1945 : Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung
oleh rakyat.
(Hasil Amandemen
ketiga UUD 1945 pada 9 November 2001).
Akan halnya Pasal 6
Ayat (2) UUD 1945 lama (sebelum diamandemen) berbunyi : Presiden dan Wakil
Presiden dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat dengan suara yang
terbanyak.
Kini, dengan amandemen
UUD 1945, maka MPR sebagai majelis yang mencerminkan kedaulatan rakyat di
bidang legislatif hanya melantik Presiden dan Wakil Presiden (Pasal 3 Ayat 2
UUD 1945). “Melantik” bukan berarti MPR seperti atasan yang mengambil sumpah
jabatan Presiden sebagi bawahan, sebagaimana dikenal pada urusan kepegawaian.
Kata-kata “melantik” hanya melingkupi arti teknis administratif kenegaraan
saja. Dan, semenjak menandatangani berita acara pelantikan oleh MPR, maka Calon
Presiden dan Calon Wakil Presiden terpilih telah sah secara hukum utk menjabat
sebagai Presiden dan Wakil Presiden.
6.a. Perlu pula diingatkan kembali latar belakang dan alasan
lahirnya 
ketentuan konstitusi
tentang pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara langsung oleh rakyat,
diantaranya sebagai berikut :
Pertama-tama, tentu
perlu digarisbawahi bahwa pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara langsung
bersifat lebih demokratis, ketimbang pemilihan Presiden dan Wakil Presiden
secara tidak langsung atau melalui dan dilakukan oleh lembaga perwakilan rakyat,
dalam hal ini MPR. Untuk pengalaman Indonesia, pemilihan secara langsung
ternyata lebih membuka pintu bagi tampilnya Presiden dan Wakil Presiden sesuai
dengan kehendak mayoritas rakyat.
Tilik saja, hasil
pemilihan Presiden pada tahun 1999. Konfigurasi dukungan politik rakyat
terhadap calon Presiden (capres) yang diajukan oleh partai politik (parpol),
ternyata berbeda dengan konfigurasi kehendak wakil-wakilnya di MPR, yang ketika
itu, berdasarkan UUD 1945 sebelum diamandemen, memiliki wewenang konstitusional
utk memilih Presiden, atas nama rakyat.
Capres dari PDI
Perjuangan, yang memiliki suara mayoritas, ternyata dikalahkan oleh calon dari
gabungan parpol yang suaranya kalah banyak pada pemilihan umum (pemilu).
Kenyataan itu dianggap mengecewakan. Sebab, konfigurasi kehendak MPR, ternyata
tidak berbanding lurus dengan konfigurasi aspirasi rakyat yang diwakilinya.
Contoh lainnya, kalah
atau tersingkirnya Susilo Bambang Yudhoyono dalam perebutan kursi Wakil
Presiden (wapres) di MPR, untuk menggantikan posisi Megawati, yang naik menjadi
Presiden, setelah jatuhnya Presiden Abdurrahman Wahid. Padahal, di tingkat
masyarakat (paling tidak berdasarkan hasil jajak pendapat dan kelayakan 
menurut media massa) Susilo Bambang Yudhoyono lebih diunggulkan dan mendapat
dukungan terbesar.

Ternyata, dia kalah
dalam pemungutan suara di tingkat MPR. Itu mengesankan bahwa kehendak MPR
sebagai miniatur seluruh rakyat, ternyata tidak mencerminkan potret kehendak
rakyat yang diwakilinya.
Kajian ini belum dilengkapi dengan uraian tentang aspek legal standing dan kerugian konstitusional pemohon judicial review