Kami yang Menanti Keadilan

Oleh Mugiyanto* HAMPIR selama sebulan terakhir, wacana di media mengenai calon presiden untuk Pemilu Presiden 2014 sangat kental diwarnai isu pelanggaran HAM, khususnya terkait kasus penculikan dan penghilangan paksa aktivis pro demokrasi...

Kami yang Menanti Keadilan
Oleh Mugiyanto*

HAMPIR selama sebulan terakhir,
wacana di media mengenai calon presiden untuk Pemilu Presiden 2014 sangat
kental diwarnai isu pelanggaran HAM, khususnya terkait kasus penculikan dan
penghilangan paksa aktivis pro demokrasi tahun 1997-1998.

Ada tiga alasan yang
melatarbelakangi hal ini. Pertama, salah satu capres potensial, Prabowo
Subianto, diduga kuat terlibat dalam beberapa pelanggaran hak asasi manusia
pada masa Orde Baru, terutama kasus penculikan dan penghilangan paksa aktivis.
Kedua, saat ini adalah bulan Mei
yang 16 tahun lalu ditandai momentum-momentum sejarah kebangsaan: penembakan
mahasiswa di kampus Universitas Trisakti pada 12 Mei 1998 dan peristiwa
kerusuhan 13-15 Mei yang mengorbankan lebih dari 1.000 jiwa, disertai turunnya
Soeharto sebagai Presiden RI pada 21 Mei.
Ketiga, dan ini yang menjadi
pemicu utama, adalah pernyataan Mayjen (Purn) Kivlan Zen dalam acara ”Debat” TV
One pada 28 April 2014 mengenai penculikan aktivis 1997-1998. Pada acara yang
disaksikan jutaan pemirsa di seluruh Tanah Air itu, Kivlan Zen yang pada 1998
menjabat sebagai Kepala Staf Kostrad, dengan nada bangga dan berapi-api,
mengatakan, ”Yang menculik dan hilang, tempatnya saya tahu di mana, ditembak,
dibuang….”
Pengakuan yang otoritatif
Saya adalah salah satu dari
sembilan orang yang selamat dari penculikan dan usaha penghilangan paksa oleh
pasukan Tim Mawar Kopassus tahun 1998 yang sedang dibicarakan oleh Kivlan Zen.
Saya mendengar langsung ucapan Kivlan Zen karena—bersama istri—saya sedang
duduk di depan televisi. Ada hening di pikiran saya, dengan jantung berdetak
hebat.
Istri saya menatap saya dalam
diam. Yang muncul di pandangan saya kemudian adalah wajah kawan-kawan terdekat
saya yang sampai hari ini masih belum ketahuan kabarnya: Petrus Bimo Anugerah,
Wiji Thukul, Herman Hendrawan, dan Suyat. Juga wajah-wajah Yani Afri, Yadin
Muhidin, Ucok Siahaan, Noval Alkatiri, Deddy Hamdun, dan wajah-wajah lain yang
tiap hari saya lihat dalam poster yang ada di IKOHI, tempat saya beraktivitas.
Saya tidak habis pikir, mengapa
orang di TV itu, Kivlan Zen, berbicara tentang penderitaan manusia dengan
sedemikian enteng. Saya lebih menganggapnya sebagai perasaan keji. Tak tahukah
dia bahwa tiap hari selama lebih dari 16 tahun, segenap keluarga dari 13
aktivis yang masih hilang itu masih sabar menunggu kembalinya orang-orang yang
mereka cintai. Bahkan, empat orangtua dari mereka yang hilang meninggal dalam
penantian panjang.
Bagi saya, Kivlan tak hanya telah
melukai rasa kemanusiaan keluarga korban. Lebih dari itu, yang sedang ia
pertontonkan adalah mempermainkan penderitaan keluarga korban dengan menganggap
para korban hanya sebagai angka semata. Saya jadi ingat apa yang pernah
dikatakan diktator Uni Soviet, Joseph Stalin, ”Satu orang mati adalah sebuah
tragedi, satu juta orang mati adalah sebuah statistik.”
Apa yang disampaikan Kivlan Zen
adalah sesuatu yang penting. Sebab, saat peristiwa penculikan dan penghilangan
paksa terjadi, jabatannya adalah Kepala Staf Kostrad. Dengan jabatan yang
melekat pada dirinya, pernyataan Kivlan Zen adalah pengakuan yang otoritatif
dan memiliki konsekuensi hukum. Hal ini diatur dalam Pasal 165 KUHP yang
mengharuskan setiap orang yang mengetahui atau memiliki informasi tentang
tindak pidana kejahatan harus melaporkannya kepada aparat penegak hukum.
Pernyataan Kivlan Zen juga
merupakan sebuah pengakuan bahwa tindakan penghilangan paksa terhadap 13 orang
yang masih hilang adalah benar adanya. Sejauh mana Kivlan Zen sendiri terlibat,
siapa pelaku, korban, bagaimana peristiwa dan tempat kejadian adalah informasi penting
yang harus ditindaklanjuti oleh penegak hukum, dalam hal ini Komnas HAM dan
Kejaksaan Agung.
Menanggapi perkembangan tersebut,
keputusan Rapat Paripurna Komnas HAM tanggal 7-8 Mei 2014 untuk membentuk tim
dan melakukan pemanggilan terhadap Kivlan Zen harus diapresiasi. Namun, untuk
mempercepat proses pengungkapan kasus dan memberikan kepastian hukum tidak
hanya kepada korban, tetapi juga pelaku harus ditindaklanjuti.
Pemanggilan Prabowo oleh Komnas
HAM sangat penting dilakukan. Terutama untuk mendalami pernyataannya selama ini
bahwa ia hanya bertanggung jawab atas ”pengamanan” terhadap sembilan aktivis,
yang semua sudah ”dibebaskan”, serta membantah bertanggung jawab atas 13
aktivis lain yang masih hilang. Bantahan ini sebenarnya telah dimentahkan oleh
kesaksian beberapa korban yang selamat, antara lain Faisol Riza dan Rahardja
Waluya Jati—bahkan Pius Lustrilanang dan Desmon J Mahesa—yang mengatakan, saat
berada di tempat penyekapan, mereka sempat berkomunikasi dengan Herman
Hendrawan, Yani Afri, Sony, Deddy Hamdun, dan lain-lain. Ini berarti, antara
mereka yang telah dilepaskan dan yang masih hilang pernah disekap di tempat
yang sama.
Perjuangan sepanjang usia
Dalam berbagai kesempatan, Fadli
Zon mengatakan bahwa usaha keluarga korban dan aktivis HAM untuk menuntut
penyelesaian kasus ini adalah kampanye lima tahunan yang ditujukan untuk
menjegal Prabowo Subianto menjadi capres. Fadli Zon tampaknya menutup mata,
tidak mau melihat, bahwa sejak hari pertama keluarga korban tahu anak dan suami
mereka hilang, mereka telah berjuang dengan melakukan berbagai pencarian.
Waktu 16 tahun bukanlah pendek.
Selama itu pula perjuangan keluarga korban telah melalui berbagai milestone,
misalnya penyelidikan oleh Komnas HAM (2005-2006), penyerahan hasil
penyelidikan kepada Jaksa Agung (2006), rekomendasi DPR kepada Presiden (2009),
pemberian Surat Keterangan Keluarga Korban Penghilangan Paksa dari Komnas HAM
(2011), serta rekomendasi Ombudsman kepada Presiden (2013).
Keluarga korban penghilangan
paksa tak berutang apa pun pada partai politik yang saat ini sedang
berkontestasi melalui pemilu. Sebaliknya, partai politik yang ada hari ini
memiliki utang sejarah kepada mereka yang telah jadi martir dalam perjuangan
menentang otoritarianisme Orde Baru. Perjuangan kami untuk kebenaran dan
keadilan melampaui politik elektoral yang menjemukan hari ini. Perjuangan kami
adalah perjuangan sepanjang usia, kecuali kebenaran dan keadilan bisa kami raih
lebih cepat sebelum ajal menjemput.
Satu hal yang sekarang masih kami
tunggu dan perjuangkan adalah tindakan presiden yang kami anggap sebagai
ultimum remedium untuk kasus ini (Djisman Samosir, 2011). Ultimum remedium
adalah upaya terakhir dalam penegakan hukum manakala sanksi-sanksi lain sudah
tidak berdaya. Presiden SBY kami anggap pihak yang turut bertanggung jawab atas
penundaan dan pengingkaran hak dan keadilan bagi korban sehingga kasus ini
menjadi kelihatan rumit dan penuh politisasi.
Karena itulah, Presiden SBY
pulalah yang harus memberikan ultimum remedium untuk kasus ini dengan cara
mengimplementasikan rekomendasi DPR yang meliputi: (1) pembentukan Pengadilan
HAM Ad Hoc; (2) pencarian 13 orang yang masih hilang; (3) pemberian kompensasi
dan rehabilitasi kepada keluarga korban; dan (4) ratifikasi Konvensi Anti
Penghilangan Paksa.
Kami sadar, waktu yang tersisa
bagi SBY tidak mungkin lagi cukup untuk memenuhi semua harapan korban. Tetapi,
setidaknya SBY bisa meletakkan landasan bagi ultimum remedium bagi pemerintah
selanjutnya untuk menyelesaikan kasus ini, dan pada saat yang sama Presiden SBY
bisa melakukan graceful exit yang akan dikenang generasi mendatang. ***
*Mugiyanto Sipin adalah penyintas
peristiwa penculikan aktivis tahun 1998; salah satu aktivis yang selamat dari
aksi penculikan; kini menjadi Ketua Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia
[IKOHI])
Sumber: KOMPAS, 24 Mei 2014