Impor Kedelai dan Kebutuhan Protein Nabati Domestik

Oleh: Rita Fidella PNS Badan Pusat Statistik Kabupaten Tanggamus Kenaikan harga bahan pangan saat ini membuat masyarakat panik karena harga yang melambung tinggi dan diiringi terjadinya kelangkaan. Salah satu bahan pangan yang mengalami kenaikan ters...

Impor Kedelai dan Kebutuhan Protein Nabati Domestik
Kedelai

Oleh: Rita Fidella
PNS Badan Pusat Statistik Kabupaten Tanggamus

Kenaikan harga bahan pangan saat ini membuat masyarakat panik karena harga yang melambung tinggi dan diiringi terjadinya kelangkaan. Salah satu bahan pangan yang mengalami kenaikan tersebut yaitu kedelai. Sebagai bahan baku olahan pangan tempe dan tahu, kenaikan kedelai menyebabkan beberapa produsen olahan pangan tersebut mogok berproduksi.

Tingginya harga kedelai memberatkan produsen dalam biaya produksi, begitu juga konsumen tentunya akan berdampak pada kenaikan pengeluaran makanan tersebut. Tempe dan tahu sudah menjadi makanan yang sangat diminati oleh sebagian besar penduduk Indonesia karena harganya yang murah, rasanya yang lezat serta kaya akan protein. Tempe dan tahu juga dikenal sebagai makanan rakyat, dari kalangan ekonomi bawah sampai menengah menyukai makanan ini.

Tingginya harga kedelai disebabkan oleh badai La Nina yang terjadi di negara produsen kedelai dunia, sehingga produksi menurun. Selain itu, meningkatnya biaya input produksi karena inflasi yang mencapai 3%-7% di negara penyuplai kedelai (Muhammad Lutfi).

Ketersediaan pangan yang cukup sangat penting untuk menciptakan stabilitas ekonomi dan untuk menghindari adanya dampak negatif pada kehidupan sosial dan politik. Tingginya permintaan kedelai didalam negeri tidak dapat terpenuhi oleh produksi kedelai lokal. Sehingga dilakukan impor untuk memenuhi kebutuhan tersebut.

BPS mencatat produksi kedelai tahun 2015 sebesar 963.183 ton, sedangkan kebutuhan kedelai secara nasional mencapai 2,8 juta ton. Akibatnya Indonesia impor kedelai dari beberapa negara seperti: Amerika Serikat, Kanada, Argentina, Brasil, Malaysia, Prancis, dan India.

Negara utama pemasok kedelai di Indonesia yaitu Amerika Serikat sebesar 2.152.633,3 ton dan total impor di tahun 2021 sebesar 2.489.690,5 ton artinya sekitar 86,5% impor kedelai Indonesia tahun 2021 berasal dari Amerika Serikat. Impor kedelai mengalami peningkatan dari tahun sebelumnya sebesar 2.475.286,8 ton (BPS).

Kebijakan impor merupakan hal yang wajar, negara maju juga melakukan hal yang sama. Ketika suatu kebutuhan masyarakat tidak bisa terpenuhi karna produksi di dalam negeri yang rendah atau sumberdaya tidak tersedia dan langka serta dari segi biaya produksi tidak efisien maka kebijakan impor bisa diambil sebagai solusi. Namun, di sisi lain  impor yang dilakukan secara berkelanjutan akan berdampak negatif terhadap perekonomian. Ketika penawaran kedelai mengalami penurunan, sedangkan permintaan akan komoditas tersebut tinggi maka industri pengolahan akan gulung tikar bahkan bisa berhenti berproduksi akibat terjadinya kenaikan bahan baku tersebut. Dampak selanjutnya yakni adanya peningkatan pengangguran.

Tingginya impor kedelai juga mengakibatkan pemerintah mengeluarkan devisa yang cukup besar. Semestinya devisa tersebut dapat dialokasikan untuk program pertanian yang dapat meningkatkan produksi kedelai lokal.

Rata-rata konsumsi per kapita seminggu tahun 2020 tempe sebesar 0,14 kg dan meningkat di tahun 2021 menjadi sebesar 0,15 kg. Hal ini sejalan dengan konsumsi tahu tahun 2020 sebesar 0,15 kg dan meningkat tahun 2021 menjadi sebesar 0,16 kg (BPS).

Kenaikan konsumsi protein nabati seperti tempe dan tahu karena daya beli masyarakat yang rendah. Harga sumber protein hewani yang mahal membuat masyarakat memilih substitusi pada sumber protein nabati yang harganya dapat terjangkau. Industri pengolahan bahan pangan kedelai yang jumlahnya cukup banyak dan ditambah dengan jumlah penduduk yang semakin meningkat menjadi faktor yang menyebabkan kebutuhan kedelai semakin tinggi. Disamping itu kedelai juga digunakan untuk sumber minyak nabati (biofuel).

Tidak terpenuhinya kebutuhan protein akan berdampak pada gizi buruk pada balita dan stunting pada anak. Tahun 2021 stunting sebesar 24,4% (Riskesdas), angka ini cukup tinggi sehingga pemerintah menetapkan target penurunan stunting 14% pada 2024.

Kenapa Produksi Kedelai Domestik Rendah?

Kedelai hanya sebagai tanaman sisipan ketika tanah diistirahatkan dari tanaman utama seperti: padi, dan jagung. Rendahnya insentif yang diterima petani kedelai dengan mendapatkan keuntungan per musim tanam per hektar sebesar Rp.1,2 juta dalam waktu budidaya 100 hari lebih. Sedangkan tanaman padi dan jagung dapat mencapai keuntungan masing-masing sebesar Rp.4,9 juta dan Rp. 4,1 juta (BPS). Sehingga petani lebih memilih untuk menanam komoditas lain seperti padi dan jagung.

Sejak 1998 Indonesia menandatangani LOI (Letter of Intent) IMF yang menyatakan importir swasta bebas mendatangkan kedelai dari luar negeri. Di samping itu adanya kebijakan pemerintah Amerika Serikat yang memberikan fasilitas kredit tanpa bunga selama enam bulan kepada negara yang mengimpor kedelai Amerika. Ditambah lagi ditetapkannya tarif impor kedelai sebesar nol persen, sehingga kedelai impor semakin menguasai pasar domestik. Hal ini menyebabkan minat petani untuk menanam kedelai semakin menurun.

Kualitas kedelai impor yang lebih baik dan harga yang lebih murah dibandingkan kedelai lokal, menjadikan industri pengolahan bahan pangan kedelai lebih memilih kedelai impor. Ukuran kedelai impor yang seragam dengan ukuran biji besar dan kadar airnya rendah sangat cocok untuk bahan baku pembuatan tempe.

Berdasarkan Permendag RI no. 7 tahun 2020 menetapkan harga kedelai lokal sebesar Rp.8.500/kg, sedangkan kedelai impor harganya Rp.7.500/kg. Namun ironisnya harga ditingkat petani lebih murah.
Tingginya biaya produksi kedelai mengakibatkan kedelai lokal sulit bersaing dengan kedelai impor. Berdasarkan data BPS nilai produksi kedelai tahun 2017 permusim tanam per hektar sebesar Rp. 10.274.310 dan biaya produksinya sebesar Rp. 9.045.850.

Negara produsen utama kedelai dunia (Amerika Serikat, Brazil, Argentina) dapat memberikan harga yang lebih murah, karena biaya produksi kedelai yang rendah, menggunakan teknologi yang modern dan luas lahan untuk budidaya kedelai dalam skala luas. Sementara petani lokal mengusahakan pada lahan sempit yang kurang dari 1 hektar dengan budidaya secara tradisional.

Untuk mengurangi tingginya impor kedelai, beberapa hal perlu dilakukan. Pertama, diperlukan adanya peningkatan produksi kedelai lokal dengan melakukan perluasan lahan yang diusahakan untuk tanaman kedelai. Hal ini dapat dilakukan dengan memanfaatkan lahan non sawah. Sempitnya luas lahan untuk budidaya kedelai akan menyebabkan biaya produksi yang lebih besar dibandingkan biaya produksi kedelai di lahan yang luas, sehingga akan menciptakan efisiensi biaya produksi.

Kedua, Melakukan pengembangan untuk mendapatkan jenis bibit unggul kedelai, sehingga kualitas kedelai lokal dapat bersaing dengan kedelai impor. Dalam jangka pendek melakukan alternatif diversifikasi negara asal impor kedelai. Ketergantungan impor hanya pada beberapa negara akan beresiko tinggi ketika hasil produksi negara tersebut mengalami penurunan. Harga akan melonjak tinggi dan akan terjadi fluktuasi harga kedelai internasional karena tergantung pada penawaran dan permintaan di pasar global.

Ketiga, memberikan pemahaman kepada masyarakat untuk mengganti konsumsi kepada sumber pangan protein nabati yang tersedia pada produksi lokal dan tinggi sumber proteinnya tidak kalah dengan kedelai impor seperti kacang koro, dll.

Keempat, memberlakukan penetapan tarif impor untuk melindungi harga kedelai lokal. Pemerintah juga perlu memberikan subsidi pada input produksi seperti pupuk subsidi. Harga input yang rendah akan menekan biaya produksi sehingga pendapatan petani kedelai akan meningkat dan berdampak pada kesejahtraan petani.

Kelima, pemerintah juga harus dapat melindungi konsumen dengan menjaga stabilitas harga di pasar. Harga yang berlaku dipasar semestinya tidak memberatkan konsumen, sehingga kebutuhan akan protein masyarakat dapat terpenuhi.