Menaikkan Pajak di Tengah Krisis Kepercayaan Publik

Oleh Syarief Makhya Baru-baru ini, Bupati Pati menaikkan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) sebesar 250%. Kebijakan ini langsung memicu kemarahan warga Pati sehingga akhirnya kenaikan PBB tersebut dibatalkan. Sementara itu, beberapa kepala daerah lain jug...

Menaikkan Pajak di Tengah Krisis Kepercayaan Publik
Dr. Syarief Makhya (Foto: Istimewa)

Oleh Syarief Makhya

Baru-baru ini, Bupati Pati menaikkan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) sebesar 250%. Kebijakan ini langsung memicu kemarahan warga Pati sehingga akhirnya kenaikan PBB tersebut dibatalkan. Sementara itu, beberapa kepala daerah lain juga dikabarkan menaikkan PBB, antara lain Cirebon naik 1.000 persen, Jakarta naik 5-10 persen, Bone naik 65 persen, dan Jombang naik 400 persen.

Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian telah memberikan arahan agar penyesuaian tarif PBB dilakukan berdasarkan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP). Kebijakan tersebut harus dikomunikasikan secara terbuka dan disesuaikan dengan kemampuan masyarakat serta kondisi sosial ekonomi setempat. Jika kenaikan tarif PBB dinilai membebani masyarakat, kebijakan tersebut sebaiknya ditunda atau bahkan dibatalkan.

Meskipun arahan Mendagri cukup jelas, penolakan masyarakat terhadap kenaikan PBB tetap terjadi. Lalu, mengapa masyarakat menolak kenaikan PBB atau bahkan kenaikan pajak lainnya?

Kewenangan menaikkan PBB berada di tangan pemerintah daera. Namun, setiap daerah memiliki kondisi sosial, politik, dan ekonomi yang berbeda, sehingga respons terhadap kebijakan ini pun beragam. Ada daerah yang bisa menerima kenaikan karena tarif yang diberlakukan tidak terlalu tinggi dan komunikasi kepada masyarakat dilakukan dengan baik. Namun, ada juga daerah yang menolak, seperti yang terjadi di Kabupaten Pati.

Persoalannya adalah, di balik kebijakan menaikkan PBB terdapat masalah yang secara tidak langsung membentuk persepsi buruk terhadap pemerintah daerah. Ketidakpercayaan masyarakat muncul karena citra pemerintah saat ini kerap diasosiasikan dengan isu-isu negatif seperti korupsi, ketidakmampuan dalam membangun atau memperbaiki infrastruktur, dominasi swastanisasi yang memarjinalkan masyarakat kecil, pemborosan anggaran untuk kegiatan seremonial, serta rendahnya integritas sejumlah pejabat publik.

Selain itu, penyesuaian NJOP yang dijadikan dasar kenaikan tarif PBB sering kali tidak mencerminkan kondisi riil di lapangan. Di beberapa daerah, NJOP melonjak tajam tanpa mempertimbangkan daya beli masyarakat atau kondisi sosial ekonomi setempat. Hal ini menimbulkan keresahan dan memicu penolakan.

Bagaimana Seharusnya?

Dukungan anggaran merupakan keniscayaan dalam pemerintahan modern saat ini. Kewenangan dan fungsi pemerintahan hanya dapat berjalan secara optimal apabila didukung oleh alokasi anggaran yang memadai. Sumber anggaran tersebut berasal dari berbagai sektor, salah satunya adalah pajak. Selain itu, penerimaan negara juga bersumber dari ekspor, pinjaman luar negeri, sektor jasa, perdagangan, dan lainnya.

Di tingkat daerah, kondisi keuangan umumnya sangat terbatas. Hal ini disebabkan karena sebagian besar penerimaan dari sektor pajak masih didominasi dan dikelola oleh pemerintah pusat. Akibatnya, ruang fiskal daerah menjadi sempit dan ketergantungan terhadap dana transfer pusat cukup tinggi.

Jadi, ada dua strategi yang harus ditempuh oleh pemerintah daerah untuk mengatasi keterbatasan anggaran, yaitu: pertama, mengoptimalkan pengelolaan sumber-sumber pajak strategis daerah yang sudah menjadi kewenangan, seperti Pajak Bumi dan Bangunan sektor Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2), Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), pajak restoran, pajak hotel, pajak hiburan, serta retribusi daerah yang memiliki potensi besar. Selain itu, pemerintah daerah juga dapat mendorong evaluasi dan advokasi terhadap kebijakan fiskal nasional agar pembagian penerimaan negara yang dikelola pusat menjadi lebih adil dan berpihak pada daerah.

Kedua, meningkatkan kepercayaan masyarakat. Hal ini dapat dilakukan dengan menghentikan praktik korupsi yang hingga kini masih menjadi persoalan struktural, melakukan penghematan anggaran secara nyata, serta membuka akses seluas-luasnya bagi masyarakat untuk melakukan kontrol terhadap kebijakan dan pelaksanaan program pemerintah.

Selain itu, pemerintah daerah juga perlu meningkatkan kapasitas pemungutan pajak melalui digitalisasi sistem, penerapan prinsip transparansi, serta penguatan pengawasan untuk mencegah kebocoran penerimaan daerah. Upaya ini penting untuk membangun legitimasi dan kepercayaan publik terhadap sistem perpajakan dan tata kelola pemerintahan secara keseluruhan.

Akhirnya, secara hipotesis, pemerintah daerah akan mengalami kesulitan dalam meningkatkan pendapatan daerah jika problem-problem struktural masih membayangi proses penyelenggaraan pemerintahan. Hal ini diperparah oleh dugaan bahwa kebijakan fiskal kerap dipengaruhi oleh agenda politik jangka pendek kepala daerah, tidak terpenuhinya kebutuhan dasar masyarakat, hilangnya pengawasan dan transparansi dalam pengelolaan serta distribusi anggaran, serta rendahnya daya tawar pemerintah daerah dalam memperjuangkan kebijakan fiskal dari pemerintah pusat.***

*Dr.Syarief Makhya, M.Si, staf pengajar FISIP Universitas Lampung