|
| Karya Alex TMT :”Feat Setsu”. (foto: dokumentasi panitia “Dolan-Dolan Merapi”) |
Arahmaiani*
Perupa menggambar atau melukis adalah hal biasa namun ketika gambar atau lukisan itu dibuat di tembok-tembok jalan atau bangunan ini tidak terlalu biasa. Street art ataupun kadang disebut “mural”, “grafitti”, “stensil” atau “wheatpaste” yang menghiasi tembok-tembok jalanan atau bangunan ini bukanlah hal baru di Yogyakarta. Masyarakat pun bisa menerima dan mengapresiasi. Selain memberikan sentuhan estetik dan menjadi semacam “hiburan” bagi publik dalam bentuk “hiasan” di ruang publik.
Karya-karya ini bisa membawa pesan baik bersifat politik, sosial, kultural, keagamaan dan spiritual. Sebagai sebuah medium jenis ini bisa dipastikan paling mudah dan cepat menjangkau publik. Karena tidak butuh galleri atau ruang khusus – juga tak perlu cetak undangan untuk pameran. Karena langsung tampil di ruang publik jadi bisa langsung dilihat oleh penonton dan langsung mengkomunikasikan apapun yang ingin disampaikan. Sekalipun ruang tersebut tampak bebas, dan sampai sebatas tertentu memang demikian adanya. Ruang publik juga biasanya ada tata aturanya. Dan untuk kota Yogyakarta ruang publik tampaknya masih cukup leluasa digunakan seniman jalanan ini.
Kelompok Ruang Kelas SD sebuah wadah kolektif digagas pada tahun 2011 memulai kegiatan “street art project” mereka sejak tahun silam. Awalnya mereka mengorganisir perhelatan ini di Dusun Geneng, Bantul, Yogyakarta. Mereka memanfaatkan tembok-tembok bangunan rumah penduduk untuk digarap secara visual menjadi karya. Bukan hanya seniman lokal saja yang terlibat dalam acara ini namun juga seniman mancanegara ikut meramaikan. Organisasi Ruang Kelas SD sendiri diinisisasi oleh beberapa mahasiswa dan alumni ISI.
Adapun maksud dan tujuanya adalah untuk menemukan metoda riset dan untuk melihat kemungkinan-kemungkinan baru dalam hubungan seni dan masyarakat. Dengan prinsip menjunjung tinggi semangat keterbukaan dan sifat egaliter yang tak terpisahkan dengan masyarakatnya. Dimaksudkan sebagai wadah ruang kolektif seniman muda dengan platform kontribusi seni pada masyarakat luas dan upaya pendekatan emansipatoris melalui karya-karya mutakhir. Sedangkan metoda pewacanaan terhadap kerja kreatif dilaksanakan secara ilmiah yaitu dengan menerbitkan buku katalog serta penulisan on-line dan pengarsipan.
Proyek seni “Dolan-Dolan Merapi” adalah bagian dari kegiatan Street Art Tour yang direncanakan untuk diadakan secara rutin setiap 2 bulan sekali. Dan untuk kegiatan pertama dilangsungkan di hunian tetap Dusun Besalen, Rt 01 dan 02, Kali Gendol, Kelurahan Glagaharjo, Cangkringan, Sleman, DIY. Dimana tembok/rumah penduduk warga hunian akan menjadi ruang penciptaan. Adapun alasan pemilihan dusun ini adalah dikarenakan kedekatan dan keakraban salah satu pengurus Ruang Kelas SD yang telah terjalin bersama warga Dusun Besalen semenjak terjadi erupsi Merapi (dan mereka menjadi korban) pada tahun 2010.
Gunung Merapi yang menjulang setinggi 2.978 di tengah jantung pulau Jawa merupakan gunung berapi yang paling aktif. Jarak antara erupsi satu dan lainya adalah sekitar setiap 2-5 tahun. Letusan Merapi pada tahun 2010 lalu dibanding ratusan kali letusan sebelumnya dianggap sebagai catatan sejarah baru. Sebab kali ini pada abad 21 ini Merapi meletus dengan dahsyat dan meleset dari ramalan ataupun prediksi para ahli. Juga membawa korban yang tak sedikit, ada 273 orang tewas termasuk Mbah Maridjan kuncen Merapi yang disegani.
Dengan total sekitar 50 juta kubik meter material vulkanik yang dilontarkan tentu saja membuat wilayah sekitar Merapi dihujani pasir dan bebatuan. Yang lalu dihantarkan air sungai menjadi banjir lahar yang menghanyutkan dan menghancurkan ratusan rumah penduduk. Selain awan panas yang bisa mencapai tingkat panas sekitar 1.000 derajat Celcius yang dengan tanpa ampun menyapu dan lalu menghanguskan ratusan rumah berserta isi dan penghuninya. Sungguh tak terduga dan sangat mengejutkan, sebuah tragedi yang tak mudah untuk dilupakan! Dan semua orang mengerti ini bukan letusan yang terahir kali. Ya Merapi masih akan meletus lagi suatu hari dan karena itu masyarakat pun sadar bahwa mereka harus menambah serta melengkapi pengetahuan tehnik untuk bisa terhindar dari kemungkinan bencana letusan yang akan datang.
Ada beberapa dusun yang hancur total sehingga penghuninya harus dire-lokasi. Sebagian dari mereka bersedia untuk di re-lokasi (dan sebagian lain tidak mau) pindah ke hunian tetap yang disediakan pemerintah. Salah satu hunian tetap itu adalah Dusun Besalen yang berjarak sekitar 12 km dari Gunung Merapi. Kini dihuni oleh 64 kepala keluarga korban erupsi Merapi.
Sebetulnya selain sisi gelap tragedi dan bencana yang diakibatkan letusan ini—di sisi lain letusan ini juga membawa semacam berkah bagi kalangan tertentu. Material vulkanik seperti pasir dan batu yang melimpah tentu saja bisa dimanfaatkan untuk tujuan komersial. Material vulkanik bisa dimanfaatkan sebagai material bangunan dan tentu saja bisa memberi keuntungan yang juga melimpah bagi mereka yang memiliki modal. Mungkin kita langsung membayangkan penduduk sekitar Merapi lalu bisa memulai bisnis dan memiliki lahan penghasilan baru.
Ya, sayang dalam kenyataan mereka tak punya daya karena tak punya cukup modal untuk menggarapnya. Dan kemudian mereka hanya menjadi penonton dari truk-truk yang beramai-ramai berdatangan mengeruk pasir dan bebatuan itu. Begitulah tragedi yang menimpa mereka seakan tak ada ahirnya seperti pepatah mengatakan: sudah jatuh tertimpa tangga. Kesialan datang bertubi-tubi. Namun sekalipun demikian warga penghuni hunian tetap yang harus memulai hidup baru ini tak putus harapan. Mereka mencari berbagai kemungkinan untuk bisa melanjutkan kehidupan, berusaha untuk bertahan hidup dan menyongsong masa depan.
Projek Street Art Tour melibatkan beberapa seniman muda yang bekerja baik secara sendirian maupun kelompok—mencoba untuk menjadikan seni sebagai “katalis” atau sebagai “penghubung” untuk mempertemukan berbagai hal. Dengan tujuan memunculkan kesadaran maupun harapan baru, selain dialog dengan dan diantara anggota komunitas. Di sini seni bisa mengambil fungsi aktif dan bisa mengungkapkan berbagai isue mulai dari yang bersifat spiritual seperti terlihat dalam karya: “Dolan Merapi Eling Marang Gusti” karya Alex TMT Feat Setsu. Ad juga karya Maria Slovakova dengan kru Anagard Feat Dery: “Dangel” yang menggambarkan kekuatan baik dan buruk dalam diri manusia, serta kemampuanya untuk mengubah yang buruk menjadi baik. Atau isu pentingya budaya lokal seperti prinsip gotong royong karya Threetwofive & Syke dengan judul: “Gotong Royong dan Tetap Semangat”.
Juga karya tentang seni Jathilan yang masih dipraktekan oleh komunitas ini yang dibuat oleh kelompok Ruang Kelas SD dan diberi judul: “Penari Jathilan”. Selain itu ada karya Wormfomb dengan judul: “Come In Please” yang mengambil gagasan figur penjaga candi yang digandengkan dengan budaya keramahan pada tamu atau pengunjung.
Topik lain juga muncul dalam karya-karya yang mengangkat isue sosial seperti yang dibuat oleh Methodos: “Rasan Rasan And Tepo Seliro Is Our Best Friend” – tentang pemikiran dan gagasan jalan keluar dari masalah kekerasan. Yaitu dengan semangat “tepo seliro” atau tenggang rasa—atau dalam bahasa populernya: toleransi, dan bergosip. Ya, seniman ini percaya bahwa bergosip akan mengurangi agresi (walau saya tak begitu yakin dengan hal ini). Budaya kekerasan yang semakin hari semakin menghawatirkan memang patut untuk direnungkan dan dicari solusinya.
Karya lain yang sejalur tapi berbeda dan amat kritis adalah: “Bancakan Barang Ala” oleh Wahyu Eko Prasetyo. Tampaknya ia gelisah dengan kondisi umum budaya modern masyarakat kita yang memprihatinkan. Yang tampak serba permisif dan tanpa aturan. Menurut hematnya menimbulkan pergerseran nilai-nilai budaya dan bahkan penyimpangan moral. Begitu pula karya dengan judul: “Can You Tell A Greenfield” oleh Cluksick & Emen yang menyiratkan kepedihan hilangnya tanah yang “hijau” yang kini berubah menjadi lahan pasir dan batu. Dan menjadi sasaran pemburu marterial bangunan yang mengirim banyak truk untuk menjarahnya!
Dua karya lainya adalah karya yang membawa pesan dan semangat menghibur mereka yang dilanda kesusahan. Dalam konteks ini tentu sangat penting mengingat mereka penghuni tempat ini adalah para korban bencana yang telah kehilangan rumah dan segala isinya. Yang tentunya perlu dibesarkan hatinya dan diberi gambaran masa depan yang cerah. Karya Pack One dengan judul; “Joyful Land” sekalipun agak abstrak namun mengesankan keceriaan dalam warna-warna cerah. Karya lainya adalah “Sweet Army, To Share Happiness” oleh ASTC YK3 yang merupakan karya interaktif dengan pemilik rumah.
Di sini seniman memberi kesempatan pada pemilik rumah untuk ikut berkarya dalam arti boleh buat permintaan. Bapak Supri meminta dibuatkan motif loreng tentara yang ceria. Sekalipun tidak dijelaskan alasanya apa tapi yang punya rumah pasti senang hatinya karena diberi kesempatan menyumbang ide. Demikian seniman dan karyanya seninya bisa menjadi “jembatan” untuk bukan saja menghibur namun lebih jauh juga memberi “makanan rohani” serta pengetahuan. Seni tidak harus bersifat elitis dan hanya meladeni permintaan pasar tapi ia bisa menjadi bagian dari kehidupan. Seni tidak hanya boleh dimiliki seniman dan kolektor tetapi juga bisa menjadi milik orang banyak untuk memberi inspirasi, motivasi dan kekuatan bagi siapapun yang membutuhkanya. ***
Passau, Juni 2014
*) Perupa.
Sumber: http://indonesiaartnews.or.id