Menebar Tawa, Menuai Rasa

Oleh: Sudjarwo Guru Besar Ilmu Ilmu Sosial di Pascasarjana FKIP Unila Selesai melaksanakan salat tarawih malam pertama Ramadan dan selesai membaca kitab suci, piranti sosial berdenting menunjukkan ada berita masuk. Ternyata dari sahabat lama sekali y...

Menebar Tawa, Menuai Rasa

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Ilmu Ilmu Sosial di Pascasarjana FKIP Unila

Selesai melaksanakan salat tarawih malam pertama Ramadan dan selesai membaca kitab suci, piranti sosial berdenting menunjukkan ada berita masuk. Ternyata dari sahabat lama sekali yang empat puluh tahun berpisah baru ketemu kembali pada reuni di awal tahun kemarin.

Ada foto kami berdua sedang memegang pengeras suara karena gembira bernyanyi. “Padahal  bukan penyanyi apalagi artis”. Demikian komentar sahabat. Saat itu juga jadi ingat tulisan sastrawan terkenal di media ini seperti separo judul di atas. Agar mewakili bagaimana sebenarnya kedua diksi itu berkelindan; maka kata “rasa” adalah wakil yang tepat untuknya.

Kebersamaan masa lalu yang pasti saat itu banyak onak dan durinya. Namun setelah semua menjadi masa lalu, yang tertinggal dalam sanubari hanya rasa; yaitu rasa bahagia dan gembira. Itulah hebatnya waktu diciptakan oleh Sang Pemilik Waktu: dia akan membekas begitu menghujam sebagai rasa; berbahagialah mereka yang hanya menyisakan rasa gembira dan bahagia, bukan sebaliknya.

Ketika kita dibawa oleh sang waktu, maka kita akan hidup pada tiga dimensi, yaitu: masal lalu, kini, dan yang akan datang. Semua yang kita jumpai dan lakukan hari ini, besok dia akan menjadi kemaren. Sebaliknya sesuau yang akan kita lalui esok, pada waktunya akan menjadi hari ini, dan kemudian juga akan menjadi yang dulu.

Pada kehidupan tiga dimensi inilah manusia dituntut untuk arief bijaksana dalam pengelolaannya, mengingat sekat waktu itu tidak ada, justru yang ada keberlanjutan waktu. Demikian juga dengan peristiwa sosial. Dia tidak berhenti akan tetapi berproses lanjut. Apa pun bentuk keberlanjutannya itu soal yang berbeda.

Kesadaran akan semua itu tidak lebih dari bagaimana kita membangun atau merekonstruksi berpikir positif akan semua tahapan proses kehidupan. Kesadaran bahwa perjalanan hidup itu melalui proses yang dijalankan, dan ada yang menjalankan; adalah sikap tawaduk sebagai umat. Bukan sebaliknya: menepuk dada, bahkan menafikan orang lain, termaasuk orang yang pernah langsung atau tidak langsung menjadi bagian dari proses diri tatkala berproses “menjadi”.

Kealpaan demikian ini menjadikan tersesat di jalan yang memang sesat, sehingga apa pun akan dilakukan, tanpa memandang norma dan etika; karena tidak paham akan jalan yang benar. Lebih miris lagi ukuran yang dipakai adalah ukuran personal subjektif, bukan impersonal objektif. Maka,  sempurnalah kesesatan itu jadinya. Maksud hati ingin tampil beda untuk memberikan kesan bahwa dirinya mampu, ternyata tidak sadar bahwa diri sebenarnya masuk pada taman sesat yang sama, seperti pendahulu yang dinafikan untuk tidak dicontoh; ternyata persis diperbuat tanpa beda sedikit pun.

Menyadari diri bahwa kita sesat, ternyata tidak mudah; karena ada rasa ego yang menutup mata hati untuk melihat segala sesuatu secara jernih. Akibatnya apa pun dilibas, direkayasa, diredefinisi agar menguntungkan diri atau kelompok. Yang mengharukan semua itu dicapai hanya ingin memuaskan libido untuk berkuasa; apakah kekuasaan itu dipandang sebagai amanah atau musibah, hal itu tidak akan terlintas dalam mata batinnya. Akibatnya, tidak paham apakah kekuasaan itu untuk mengubah sesuatu, memperbaharui sesuatu, meningkatkan sesuatu; semua dipikir nanti.

Hasrat hati ingin menebar tawa, ternyata menangguk duka, karena tidak memahami tingkat rasa yang di ajak tertawa. Bisa dibayangkan betapa tidak etisnya seseorang yang tertawa terbahak bahak, ditengah saudaranya yang sedang berduka; walau tidak ada peraturan tertulis yang dilanggar dengan bunyi “dilarang tertawa ditempat berduka”; tetapi semua orang di dunia ini paham bahwa itu adalah ketidakpatutan tingkat dewa.

Lebih kejam lagi manakala merasa berhasil “menghabisi” lawan lawannya, apakah itu dalam politik, dalam persaingan, atau apapun namanya; kemudian dengan jumawa tertawa bahwa dirinya berhasil mengukir dunia. Waham seperti ini pada skala besar pernah dan selalu terjadi pada periode abad manusia. sementara skala kecil, hampir setiap hari kita menemukan contoh kongkrit pada kehidupan sosial; bahkan itu ada disekitar kita. Melalui doa kita berharap untuk tidak termasuk golongan orang yang begini.

Mari dengan datangnya bulan suci ramadan kita mampu mentertawai diri sendiri atas kekonyolan dan kehilafan masa lalu kita; kemudian memperbaikinya. Jika harus meminta maaf maka lakukanlah, jika perlu mengembalikan utangnya kembalikanlah. Jika perlu bertobat, lakukanlah. Karena tidak ada jaminan dari siapa pun di bumi ini kita akan berjumpa dengan ramadan yang akan datang. Apakah kita juga bisa sukses melaksanakan ibadah ramadan saat ini pun sampai akhir, tidak ada seorang pun yang mampu memastikannya.

Selamat ngopi menunggu imsyak….