Upacara 17 Agustusan di Kawasan Lumpur dan Lomba Foto Jalan Rusak
Oleh Syarief Makhya*) Memperingati perayaan kemerdekaan Indonesia yang ke 77 ternyata tidak hanya melaksanakan upacara bendera, perlombaan 17 Agustusan, memasang bendera atau simbol merah-putih atau pentas baju adat/daerah, tetapi juga dijadikan mome...

Oleh Syarief Makhya*)
Memperingati perayaan kemerdekaan Indonesia yang ke 77 ternyata tidak hanya melaksanakan upacara bendera, perlombaan 17 Agustusan, memasang bendera atau simbol merah-putih atau pentas baju adat/daerah, tetapi juga dijadikan momentum untuk melakukan protes terhadap pemerintah. Salah satu yang viral di media sosial yaitu upaca kemerdekaan di area lumpur di beberapa desa, Kecamatan Bengkunat, Kabupaten Pesisir Barat, Lampung.
Mereka sengaja melakukan upacara di area lumpur sebagai bentuk protes atas ketertinggalan, tidak hanya buruknya jalan desa, tetapi juga mereka menuntut perbaikan di sektor pelayanan kesehatan dan pendidikan. Bentuk kegiatan peringatan 17 Agustusan yang lain terjadi di Kabupaten Pandeglang, Banten yaitu lomba foto jalan rusak. Lomba foto jalan rusak adalah ungkapan sebagai wujud untuk memperoleh perhatian pemerintah dan masyarakat luas, juga untuk mempertontonkan tidak adanya perhatian pemerintah pada persoalan pembangunan terutama di desa atau daerah-daerah pelosok.
77 tahun Indonesia merdeka harus dinikmati oleh seluruh masyarakat, tidak terkecuali masyarakat yang ada di daerah terpencil, masyarakat di desa-desa juga punya hak dan akses yang sama untuk memperoleh pelayanan di bidang kesehatan, pendidikan, keamanan dan pembangunan infrastruktur. Tetapi, fakta nya aspek pemerataan pembangunan belum sepenuhnya bisa direalisasikan.
Alasan pemerintah untuk menjawab ketertinggalan pembangunan di desa selalu dibenturkan dengan keterbatasan anggaran atau bukan menjadi kewenangan pemerintah daerah. Pada hal, setiap menyusun APBD diawali dengan musrenbang dari mulai desa sampai ke tingkat provinsi, tetapi aspirasi sekedar aspirasi, tidak menjadi agenda kebijakan dan tidak prioritas untuk diimplementasikan.
Logika keterbatasan anggaran, bukan skala prioritas atau bukan kewenangan pemerintah daerah dijadikan dasar untuk meminggirkan kepentingan masyarakat desa. Tidak peduli dengan hak masyarakat desa untuk menikmati fasilitas pelayanan dasar yang diberikan pemerintah, karena pemerintah sudah terjebak pada mainstream pembangunan pada logika yuridis-formal yang rigid, pengalokasian anggaran yang masih sarat dengan kepentingan politik atau dalam logika ekonomi-politik pembangunan jalan desa untuk kepentingan siapa?
Jalan Desa untuk Siapa?
Prinsipnya pembangunan jalan yang dikategorikan sebagai public goods adalah tanggungjawab Negara. Tetapi, dalam realitasnya terjadi perebutan kepentingan, siapa yang memiliki akses kekuasaan dan dominan dalam mempengaruhi proses pengambilan keputusan merekalah yang akan memperoleh keuntungan atau manfaat, termasuk dalam pengalokasian anggran untuk pembangunan jalan desa.
Pemerintah Desa, tidak akan mampu untuk membangun jalan desa karena tidak memiliki anggaran, kalaupun dilakukan dengan menggunakan dana alokasi desa juga tidak akan optimal. Oleh karena itu, butuh intervensi dari pemerintah kabupaten untuk mengatasi persoalan perbaikan jalan desa.
Persoalan jalan desa rusak berat adalah persoalan kebijakan distribusi alokasi anggaran yang disimpangkan karena kepentingan politik. Kategorisasi jalan rusak sudah ada kriterianya, mana yang perlu diprioritaskan, mana yang tidak, tetapi karena ada dominasi kepentingan dari partai politik atau dari pejababat publik maka kriteria jalan rusak tidak lagi menjadi dasar dalam memperbaiki jalan yang rusak. Misalnya, adanya Dapil (daerah pemilihan), anggota Dewan yang memperoleh dukungan suara di dapil tertentu maka dia akan berusaha memperjuangkan dapilnya termasuk kerusakan jalan untuk dianggarkan dalam APBD.
Tidak hanya persoalan jalan rusak, tapi di bidang pelayanan kesehatan dan pendidikan di desa belum semaju seperti di daerah perkotaan atau daerah yang memiliki akses ke pusat pemerintahan di kabupaten. Ada persepsi yang tidak tepat dikalangan para pembuat kebijakan yang mengasumsikan kalau membangun fasilitas pendidikan atau kesehatan harus disesuaikan lingkungan sosial dan ekonominya.
Misalnya, kalau di desa profil sumber daya manusianya dan daya beli masyarakatnya rendah tidak perlu membangun sekolah dan puskesmas yang berkualitas; selalu mengasumsikan masyarakat desa itu terbelakang, bodoh, dan tidak bisa bersaing.
Dalam perspektif demikian, desa menjadi terbelakang dan tidak berkembang dalam pembangunan infrastruktur, pendidikan dan kesehatan. Oleh karena itu, sangat terbuka akan muncul lagi protes-protes warga desa terhadap ketidakadilan dan ketidakpuasan pembangunan selama ini.
Jalan Keluar ?
Untuk menjawab ketertinggalan desa, di bidang pembangunan infrastruktur, pendidikan dan kesehatan perspektif dan model pembangunanya harus dirubah, juga termasuk kewenangan pemerintah desanya harus direvisi. Kebijakan pembangunan yang selama ini menempatkan desa sebagai ruang kehidupan yang rendah dibandingkan kota atau bias urban , harus digantikan dalam cara pembangunan desa yang mandiri.
Implikasinya, bukan hanya intervensi kebijakan pembangunan yang harus dilakukan pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten, tetapi juga kewenangan desa harus direvisi, yang selama ini Desa hanya mengurusi masalah administrasi pemerintahan, tetapi diberikan penyerahan urusan, sehingga Desa bisa memiliki penghasilan, terutama di sektor parawisata, pertanian dan sumber daya alam. Dalam cara pandang ini, Desa bisa mengatasi persoalannya sendiri, semisal dalam mengatasi masalah kerusakan jalan desa.***
*) Dosen FISIP Universitas Lampung