Uang Rakyat = Uang Kita

Oyos Saroso H.N. MAT Nduletak dan Mat Nduletik bingung sebingung-bingungnya. Bukan karena PT Asu Putra Putu Lan Buyute milik Raden Mas Segawon makin moncer. Bukan pula lantaran Karto Celeng ujug-ujug nangkring di kursi Dewan. Juga bukan lantaran bany...

Uang Rakyat = Uang Kita

Oyos Saroso H.N.

MAT Nduletak dan Mat Nduletik bingung sebingung-bingungnya. Bukan karena PT Asu Putra Putu Lan Buyute milik Raden Mas Segawon makin moncer. Bukan pula lantaran Karto Celeng ujug-ujug nangkring di kursi Dewan. Juga bukan lantaran banyak aset daerah tiba-tiba lenyap setelah Gubernur Truwelu berhenti jadi
gubernur.

Kedua lelaki kembar itu benar-benar bingung karena setiap hari di setiap pojok Negeri Rai Munyuk selalu digelar sandiwara dan pertunjukan mirip lawak Srimulat. Judulnya selalu sama: “Balada Ogah Bingung”. Isi sandiwara itu semua justru bercerita tentang keanehan perilaku para punggawa dan wakil rakyat Negeri Rai Munyuk yang membuat seluruh rakyat bingung.

“Aku sudah bosan Kang, nonton sandiwara yang nggak mutu kayak gitu. Mosok sandiwara kok selalu bercerita tentang perilaku pejabat negeri yang membingungkan itu. Kalau nggak dagelan partai iclik kliwir, paling banter rebutan kursi, atau fulitik taik ngasu!” ujar Mat Nduletik, lelaki 40 tahun, juragan geribik, yang lahir lebih lambat lima menit ketimbang Mat Nduletak.

“Hust! Jangan kurang ajar!” semprot Mat Nduletak. “Politik kau sebut tahi anjing. Politik itu seperti eskalator atau lift. Alat paling gampang mengantarkan manusia menuju atas. Cara paling gampang untuk mengubah status. Preman bisa tiba-tiba berubah wujud menjadi wakil rakyat yang dihormati, tukang tadah bisa disulap menjadi pejabat penting asal duaitnya sak hohah dan dipilih rakyat! Kamu ini kalau ngomong jangan sembarangan! Ketahuan para dewa politik atau orang-orang Pak Brengose Ijo bisa-bisa nyawa melayang!”

“Hahahaha…saya sekadar meniru Puakhi Zulqornain yang suka teriak ‘taik kucing!’….”

Tak berapa lama kemudian datanglah Mat Katrok bersama Minak Cenggo dan Caca Marica Hehe.

“Wah, negara bisa benjut-benjut ya Ndul, kalau semua pejabat dan wakil rakyat hatinya berubah jadi batu? Bayangkan, Pak Lurah hatinya sudah jadi batu. Pak Camat, Pak Bupati, dan Pak Gubernur juga. Parahnya lagi, wakil kita di parlemen juga ikut-ikutan jadi batu hatinya!” ujar Mat Katrok.

“Kalo jadi batu giok Aceh, batu bungur Tanjungbintang, dan batu Bacan sih mendingan. Harganya mahal! Hehehehehehe…..” Minak Cenggo terkekeh-kekeh.

“Meskipun berhati batu mereka tetap menjadi orang terhormat dan mengaku bekerja demi rakyat dan bangsa! Mereka tetap jadi orang berpengaruh di kampung kita…,” timpal Nduletak.

“Maksudmu, orang berpengaruh yang bisa mengatasi masalah tanpa masalah?” sela Caca Marica Hehe.

“Wah, itu sih semboyan Kantor Pegadaian!” kata Mat Katrok.“Saya enggak menuduh begitu,” kata Nduletak, berusaha kembali ke tema semula. “Tapi apa ya enggak lucu kalau sementara rakyat banyak yang menganggur dan terkena busung lapar tetapi pejabat pemerintah dan wakil rakyat kerjanya ngurusi perutnya sendiri?! Rakyat tidak pernah dipikirin. Perut mereka sendiri saja yang digendutin terus!”

“Hust! Jangan kasar begitu. Mereka pasti memikirkan kita-kita juga. Tapi, sebelum memikirkan kita, mereka memikirkan keluarga sendiri dan saudara-saudaranya dulu. Dalam situasi gaswat, mereka harus memikirkan partainya dulu. Juga para tuannya..” ceplos Mat Katrok, diiringi ledakan tawa bersama.

***

TEPAT pukul 05.00, dering jam beker membangunkan Karto Celeng dari tidur pulasnya. Begitu menggosok mata beberapa kali, mata Karto Celeng langsung tertumbuk kertas putih yang tergeletak di samping jam.

Perlahan, pria yang perutnya makin gendut karena kebanyakan gaji itu, bangun. Lalu diraihnya kertas putih yang penuh dengan tulisan “cakar ayam”.

Dibacanya tulisan cakar ayam itu dalam hati. Kalimat pertama ditulis dengan huruf yang sangat mencolok: “ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA KELUARGA (APBK) TAHUN 2015.

Di bawahnya, berisi daftar anggaran selama satu tahun:

-beli mobil baru= Rp 1, 6 miliar;
-stok beras satu tahun= Rp 50 juta;
-beli rumah baru= Rp 5 miliar;
-bikin vila= Rp 2,1 miliar;
-beli baju dan sepatu = Rp 115 juta;
– sedekah = Rp 5 juta;
– biaya sekolah anak = Rp600 juta;
-keperluan dapur = Rp 60 juta;
-biaya pemeliharaan mobil Toni= Rp30 juta;
-biaya pemeliharaan mobil Papa= Rp 35 juta;
-biaya pemeliharaan mobil Mama = Rp 20 juta;
-arisan = Rp 100 juta;
-beli perhiasan= Rp 110 juta;
-dana tak terduga= Rp500 juta

****

“Edan!” pekik Karto Celeng. “Ma! Siapa yang menulis ini?!”

Uni Sarbo’ah, istri Karto Celeng, tergopoh-gopoh menyongsong suaminya.

“Ada apa, Pa teriak-teriak kayak orang kesurupan?”
“Siapa yang menulis ini?!”

“O, itu…? He…he…ya saya…tadi malam…Kan gaji Papa sekarang naik 400 persen. Jadi enggak salah kan….kalau saya juga ikut berpartisipasi membengkakkan anggaran belanja rumah tangga?” ujar Uni Sarbo’ah, tanpa rasa bersalah.

“Wah, bahaya ini Ma! Nanti kita ketahuan tidak hemat anggaran dan suka foya-foya pakai uang negara!”

“Kan Papa tahun depan gajinya akan naik lagi?! Tenang saja Pa….”

“Apa hubungannya dengan anggaran tahunan yang Mama bikin?!”

“Jelas ada!” tukas Mariam. “Dengan naiknya gaji Papa, kita bisa makin sejahtera. Dan itu artinya kita boleh foya-foya! Ingat pepatah Pa: Uang negara=uang rakyat. Uang rakyat=uang kita!”

***

Ocehan istrinya membuat mulut Karto Celeng ternganga.

Pada detik ke-123 Karto Celeng pingsan.

….