Soal Pelantikan Kepala Daerah, Mendagri Tegaskan akan Ikuti Aturan

TERASLAMPUNG.COM — Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo menyatakan, usai hasil rekapitulasi suara resmi  KPUD disahkan pihaknya akan segera menggelar pelantikan kepala daerah dan wakil kepala daerah terpilih. Mendagri menegaskan, proses pelantika...

Soal Pelantikan Kepala Daerah, Mendagri Tegaskan akan Ikuti Aturan
Mendagri Tjahjo Kumolo

TERASLAMPUNG.COM — Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo menyatakan, usai hasil rekapitulasi suara resmi  KPUD disahkan pihaknya akan segera menggelar pelantikan kepala daerah dan wakil kepala daerah terpilih. Mendagri menegaskan, proses pelantikan kepala daerah terpilih harus sesuai aturan yang berlaku.

“Kami akan mempersiapkan proses pelantikan baik Bupati, Wali Kota maupun Gubernur sesuai dengan masa jabatan berakhir. Pelantikan Gernurnur oleh Presiden. Bupati, wali kota juga akan ada juga bertahap, SK-nya dari saya, yang melantik. Kalau ada gubernur yang tidak bisa melantik nanti akan kami lantik di Kemendagri (Kementerian Dalam Negeri),” kata Tjahjo usia menghadiri acara Pengukuhan Ketua Umum Asosiasi Pemerintah Propinsi Seluruh Indonesia (APPSI) di Jakarta, Senin (2/7).

Tjahjo menegaskan, pelantikan kepala daerah berpegang pada aturan yang berlaku. Tak boleh kemudian hanya karena situasi tertentu, lantas menyimpang dari aturan yang ada. Misal, kepala daerah terpilih yang kebetulan sudah berstatus tersangka tak dilantik. Sebab UU menyatakan, walau sudah berstatus tersangka atau terdakwa, selama belum ada kekuatan hukum tetap, yang bersangkutan akan dilantik.

” Saya hanya berpegang pada UU. Enggak boleh menyimpang dari UU, prinsip saya hanya menghimbau mudah-mudahan KPK dan kejaksaan bisa mempercepat proses persidangannya sehingga pada persidangan nanti bisa baik,” ujarnya.

Payung hukumnya, kata Tjahjo, adalah Pasal 163 ayat (6) UU Nomor 10 Tahun 2016 yang menyatakan dalam hal calon gubernur atau calon wakil gubernur terpilih ditetapkan menjadi tersangka pada saat pelantikan, yang bersangkutan tetap dilantik menjadi kepala daerah. Sementara, untuk pelantikan calon bupati atau walikota ada pada Pasal 164 ayat (6) UU Nomor 10 Tahun 2016. Namun bila kemudian sudah ada putusan dari pengadilan, maka akan diberhentikan.

” Ya langsung diganti, wakilnya (naik). Kayak kemarin di Buton dan Minahasa,” katanya.

Tjahjo mengharapkan kalau bisa meminta agar proses hukum calon kepala daerah ‘tersangka’ dipercepat.

“Saya berharap KPK misalnya mempercepat proses persidangan. Toh mereka ini kan tersangka KPK kan sudah cukup alat bukti tinggal proses persidangan dan saksi saksi, apapun asas praduga tidak berslaah harus kita kedepankan. Tetapi saya kira kalau bisa dipercepat proses persidangannya mudah-mudahan pada saat pelantikan sudah clear semua. Kan enggak enak kalau harus melantik di LP, tapi itu UU, dia belum diputuskan bersalah kan masih berhak walaupun dia ditahan,” katanya.

Tjahjo juga sempat menyinggung soal pemilihan wali kota di Makassar, dimana berdasarkan hasil hitung cepat, pasangan calon tunggal yang bertarung, perolehan suaranya lebih kecil daripada kotak kosong.

Menurut Tjahjo, istilah kotak kosong itu tidak ada. Yang benar adalah istilah kolom kosong. Jadi dalam UU, peserta Pilkada adalah pasangan calon yang sah. Dalam pilkada serentak tahun 2018 di 171 daerah, setidaknya ada 16 daerah yang pasangan calonnya tunggal. Khusus untuk kasus Makassar, ia tak mau mendahului keputusan KPU. Sebab hasil yang ada baru berdasarkan hitungan cepat lembaga survei. Dimana itu tak bisa jadi patokan resmi.

” Kami tidak mau mendahului menunggu keputusan KPU saja, ini kan quick count yang di Makassar. Kami menunggu resminya saja kan masih banyak yang belum diitung secara real. Kalau di dalam UU itu nanti bisa mengikuti Pilkada berikutnya, tapi kami akan menunggu hasil KPU dulu,” kata Tjahjo.