Roman Berlatar Lampung: Gan San Hok dan “Ratoe dari Gedong Ratoe” (2)
Arman AZ* Malam sebelum acara pernikahan, warga yang kumpul bersenda gurau mendadak gempar karena Pangeran Tiang ditemukan mati ditikam. Pelakunya tidak diketahui karena keburu kabur. Bisik-bisik warga menerka pelakunya adalah Mansoer. Di lain tem...

Malam sebelum acara
pernikahan, warga yang kumpul bersenda gurau mendadak gempar karena Pangeran
Tiang ditemukan mati ditikam. Pelakunya tidak diketahui karena keburu kabur. Bisik-bisik
warga menerka pelakunya adalah Mansoer. Di lain tempat, Abdoelkadi jatuh sakit hingga
berminggu-minggu, lebih karena putus asa ditinggal Soenantri.
kabar dari ibunya bahwa Soenantri urung menikah karena calon suaminya mati,
Abdoelkadi berusaha menemui Soenantri. Mereka bertemu di hutan, tempat biasa
melakukan pertemuan-pertemuan rahasia. Saat bersamaan, Mansoer juga berada di
hutan setelah bertengkar dengan ibunya yang lelah menasehati Mansoer yang keras
kepala.
dan Soenantri memadu kasih, Mansoer jadi gelap mata. Dihampirinya sejoli itu
dan langsung ditikamnya Abdoelkadi dari belakang. Jeritan Soenantri sebelum
pingsan, membangunkan warga kampung yang langsung mengejar dan meringkus
Mansoer.
ini berakhir bahagia. Abdulkadi yang nyawanya bisa diselamatkan, bisa bersama dengan
Soenantri, si ratoe dari Gedong Ratoe.
Soenantri, Mansoer, Pangeran Tiang sebagai tokoh-tokoh primer dalam roman ini,
ada juga sejumlah tokoh sekunder. Roebiah yang pandai melantun segata dan menaklukkan
beberapa jejaka saat beradu segata, Moesa, Bibah dan Medinah (teman Soenantri),
Pak Penghoeloe, Batin Loenik yang sedang berkelakar saat warga geger karena Pangeran
Tiang ditikam, dan Fatima budak yang ditugasi menemani Soenantri saat dipingit.
Bagian pembuka roman Ratoe dari Gedong Ratoe |
Ratoe dari Gedong Ratoe terdiri
dari 4 bab (97 halaman). Lazimnya roman masa itu tidak lebih dari 100 halaman
dan dihiasi iklan. Dalam Ratoe dari
Gedong Ratoe, iklan memenuhi halaman awal, di akhir bab I dan II juga ada iklan
baris.
Tionghoa mendekatkan atau mengenalkan adat budaya setempat kepada khalayak luas,
adalah memasukkan anasir-anasir lokal. Dalam Ratoe dari Gedong Ratoe, Gan San Hok menggunakan pantun-pantun berbahasa
Lampung disertai terjemahan Melayu, misalnya: Terang boelan terang di doenia/redik tjemara sikam mijak/lamoen toean
demon djama saja/geloek ratoeng miet didja; atau pantun lainnya: Tjambai oerai dibah djati/aboek sikin
ngaretis djedjamoe/Rasani makkoeng poeas di ati/Adik saorang makkoeng ketemoe.”
menerangkan istilah djaga dapoer,
yaitu: “satoe adat koeno jang loear biasa
di Lampoeng. Kapan satoe pemoeda menjinta satoe gadis dan ditjinta, marika
telah bertemoe di dapoer dan di sitoe oetaraken pengrasaan marika. Si pemoeda
boleh menginep satoe malem di dapoer dengen itoe gadis. Ini semoea dengen
idzinnja orang toea si gadis. Ini adat koeno sekarang dilarang kaloe tida
dengen permisinja dari jang berwadjib”
Melayu Tionghoa Ratoe dari Gedong Ratoe, setidaknya
menambah dokumentasi pustaka fiksi bertema-berlatar Lampung, ditulis orang beretnis
Tionghoa, sebelum Indonesia merdeka.
* Penulis