‘Resep de Soto’ Gugur di Kampung Rawa? (2)

Oleh: R. Yando Zakaria* Selain itu, dilaporkan pula, tidak semua sertifikat yang akhirnya diperoleh dapat menjadi passport memperoleh dana tunai untuk permodalan. Termasuk juga tidak dari proyek-proyek penanggulangan kemiskinan yang juga disponsor...

‘Resep de Soto’ Gugur di Kampung Rawa? (2)
Oleh: R. Yando Zakaria*

Selain itu, dilaporkan pula, tidak semua sertifikat yang
akhirnya diperoleh dapat menjadi passport memperoleh dana tunai untuk permodalan. Termasuk
juga tidak dari proyek-proyek penanggulangan kemiskinan yang juga disponsori Bank
Dunia, semacam P2KP, yang kini telah menjadi program PNPM Perkotaan itu.

Belajar dari kasus Kampung Rawa, nyatalah bahwa
sertifikat memang bukan segala-galanya. Studi Soehendera justru menunjukkan bahwa status sebagai
‘orang miskin’ justru lebih kuat sebagai penghalang akses menuju modal. Ada distrust yang
begitu besar terhadap orang-orang yang dikategorikan miskin. Jadi, belajar dari kasus
Kampung Rawa, penghalang bagi kemajuan (ekonomi) orang miskin bukanlah soal penguasaan asset
yang masih bersifat extralegal itu saja. Melainkan jauh lebih kompleks dari
itu.
***
Jika kemudian kenyataan sebaliknya yang terjadi,
sebagaimana ditunjukkan oleh Soehendera, lalu kita dapat mempertanyakan’resep de Soto’ itu secara
lebih jauh. Apa sebenarnya yang terjadi? Apakah tesis de Soto yang keliru total, atau
‘resep de Soto’ itu, sebenarnya, membutuhkan sejumlah syarat cukup, di samping sejumlah
syarat penting lainnya? Apa syarat cukup dan syarat penting 
itu? Apakah syarat cukup dan syarat penting itu  justru telah ‘gagal’ dipenuhi oleh proyek ayudikasi yang diselenggarakan oleh
WB di Indonesia? Apakah gagalnya resep de Soto di Indonesia terjadi secara by design
(nature of its concept) atau by accident (Indonesia case specific)?
Merujuk pada temuan Soehendera, dalam Kata Pengantar,
Prof. Dr. Sulistyowati Irianto, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia  mengatakan bahwa standar kemiskinan dalam hitungan sekedar ”dua dolar sehari” (baca: sekedar masalah
permodalan dan atau masalah ekonomi) memang harus dipermasalahkan. Masalah kemiskinan
jauh lebih kompleks karena juga mencakup soal kebudayaan kemiskinan.
Konsep kebudayaan kemiskinan sendiri muncul pertama kali
dalam studi etnografi karya antropolog Oscar Lewis. (lihat Oscar Lewis, Five
Families: Mexican Case Studies in the Culture of Poverty,1959). Teori kebudayaan kemiskinan menjelaskan
bahwa masyarakat miskin memiliki sistem nilai yang unik, dan percaya bahwa
masyarakat miskin tetap miskin karena adaptasi mereka terhadap beban kemiskinan itu sendiri.
Sejak 1960-an, sebagaimana tercatat dalam Wikipedia, 
teori budaya kemiskinan mendapat kritik dari sejumlah pihak. Meskipun begitu, para akademisi, termasuk para pengkritik itu
sendiri, berpendapat bahwa deskripsi masyarakat miskin sebagai budaya yang unik memiliki
kekuatan penjelas yang kuat.
 
 Dalam versi temuan Soehendera, sebagaimana
disarikan Irianto, dan saya tambahkan, kebudayaan kemiskinan tergambarkan dalam ciri-ciri,
pertama, tidak efektifnya partisipasi dan integrasi orang miskin dalam pranata utama masyarakat
luas, karena kelangkaan sumber daya ekonomi menyebabkan segregasi dan diskiriminasi,
ketakutan, kecurigaan dan apatisme. Kedua, berkembangnya pranata hutang-menghutang, gadai dan tidak
adanya kesetiaan kerja terhadap
jenis pekerjaan yang ditekuni karena yang mereka butuhkan
adalah ”asal menguntungkan”.
Ketiga, adanya pemberontakan terhadap diri mereka
sendiri, pasrah/penurut terhadap nasib maupun mereka yang memiliki kekuasaan sosial ekonomi.
Keempat, perempuan dan anak diperlakukan sebagai penghasil nafkah dalam rumah tangga
orang miskin. Kelima  sikap tidak percaya dari pihak luar terhadap orang-orang yang
dikategorikan miskin itu. Hal-hal ini semualah yang menjelaskan mengapa program pengentasan
kemiskinan yang semula diperkirakan ”membahagiakan” orang miskin, semacam
program sertifikasi tanah itu, belum maksimal capaiannya.
Syarat  cukup  yang 
lain,  jika  dapat 
dikatakan  begitu,    adalah 
soal  keterlibatan  para 
birokrat
tingkat 
paling  bawah  (street 
level  bureaucrat)  yang 
menjalankan  proyek  di 
tingkat  lapangan.
Studi Soehendera menunjukkan bahwa posisi dan peranan
mereka di tingkat pelaksanaan proyek
tidaklah  
netral,   sehingga   sulit  
memberi   bantuan   kepada  
warga   secara   signifikan  
dan
berkelanjutan. 
Sebabnya  adalah  karena 
mereka  harus  berpihak 
pada  pembangunan  itu 
sendiri. 
Belum  lagi,  motivasi 
staf  birokrasi  di 
tingkat  lapangan  itu 
sangat  beragam  dan 
cenderung
melakukan kegiatan yang menguntungkan diri sendiri,
melalui pemungutan ’biaya administrasi’
yang merugikan warga.
Dari  sisi  kajian 
sosiolegal,  menurut  Irianto, 
kajian  Soehendera  ini 
“…  tidak  hanya 
menarik, tetapi  juga  sangat 
penting  bagi  para legal 
reformist,  pengambil  keputusan, 
dan  para  akademisi
sosiolegal, dalam rangka memahami bagaimana implikasi
pemberlakuan hukum dan kebijakan di kalangan masyarakat miskin, apakah menguntungkan atau
merugikan mereka.”
Irianto  pun  menyebut 
koleganya  itu  sebagai 
salah  seorang  pendahulu 
kajian  hukum  tentang
masalah-msalah kemiskinan di perkotaan,
***
Soehendera sendiri sebenarnya tidak mempertanyakan tesis
de Soto ini. Juga tidak mempertentangkannya dengan tesis yang dikembangkan di
akhir kajiannya. Tesis de Soto hanya
dirujuk dalam beberapa kesempatan, dan juga disinggung
secara sambil lalu saja. Tesis de Soto
digunakan Soehendera untuk menjelaskan fenomena yang ada
di tengah tenurial sistem Orang Miskin di Perkotaan.
Saya tidak dapat mengerti pilihan Soehendera yang
demikian itu. Mengapa ‘resep de Soto’ ini tidak digunakan Soehendera dalam ‘menguji’ keandalan
program PAP yang menjadi objek utama kajiannya? Padahal, jelas bahwa program PAP berakar
kuat pada tesis yang dikembangkan de Soto dan sejalan dengan ranah kajian
sosiolegal yang dilakukan Soehendera. Sayangnya Soehendera telah berpulang ke
pangkuan-NYA lebih setahun lalu. Jika tidak, saya percaya Soehendera akan menjawab pertanyaan-pertanyaan
itu dengan karya tulis yang lain. Soehendera memang termasuk seorang dosen yang rajin
menulis.
Demikian pula, Soehendera tidak akan pernah bisa menjawab
serangkaian pertanyaan lain yang muncul belakangan. 
Misalnya, yang terpokok, jika sertifikasi (individual) tanah orang
miskin di
perkotaan tidak bisa digunakan sebagai strategi
pengentasan kemiskinan, lalu jalan apa yang
harus ditempuh?
Maka, untuk konteks Indonesia, sebuah analisis ‘pasca
disertasi Soehendera’, yang  menggunakan data dan juga analisis yang telah
dikembangkan Soehendera dan lainnya, saya kira akan bermanfaat untuk dilakukan. Toh, buku ini menghimpun
data diteil yang amat kaya. Dihasilkan melalui penelitian yang teruji secara
metodologi.
Mengapa tidak?

*Tulisan ini pernah dipublikasikan di http://ikhtisarstudiagraria.blogspot.com.
R. Yando Zakaria adalah praktisi Antropologi, menetap di Yogyakarta.