Puisi-Puisi Tengsoe Tjahjono ‘Edisi Korea’
KRONIK PAGI SEPANJANG SUBWAY /1/ Dari mana jejak tiba. Bergegas. Jaket-jaket bergelembung oleh dengus, juga mata tanpa cahaya. Siapa bercakap-cakap. Tak ada. Beriringan diusung elevator ke pintu-pintu bawah tanah, ditimbun kerja dilesak...

KRONIK
PAGI SEPANJANG SUBWAY
/1/
mana jejak tiba. Bergegas. Jaket-jaket bergelembung oleh dengus, juga mata
cahaya. Siapa bercakap-cakap. Tak ada.
diusung elevator ke pintu-pintu bawah tanah, ditimbun kerja
ke dalam kereta yang melaju perkasa
atau berdiri. Musik menundukkan telinga lewat handphone yang selalu menyala
lenyap dalam gerbong. Tak ada yang bicara. Angin pun tak
setasiun, dua setasiun, tubuh didorong keluar-masuk
pada seribu tangga yang gigil
panah ke kiri atau ke kanan. Laju. Pintu. “Ohoi, jangan tersesat,”
angka, huruf-huruf tak terbaca, pada hatimu bicara. Syal dileher
jejak yang tak menemu ruang
telapakmu di udara. Rasakan bekunya)
itu bicara, tapi bisu. Tak ada peluit. Juga sinyal. Para pejalan menunggu waktu
berkunjung
waktu disesaki oleh senyap. Gempita terkurung tembok besi, bisikanmu nyaris
sampai
stasiun terdekat apartemenku, tak juga berkata-kata, memberikan seribu tangga
rintih sepatu.”
tua duduk di sebuah kursi panjang. Nafasnya menunggu, walau aku tak mengerti
siapa yang
Riuh lalu-lalang bergemuruh pada otak. Tak berkejap dipandangnya.
menunggu gunung, tepatnya sebuah bukit, ada soju di bangku-bangku kayu. Aku
ingin mabok mencungkili masa lalu.”
30 Maret 2014
kamu sebagai pintu. Kukenali karena bentukmu.
harus menunduk, bayang-bayang separoh badan
debu, hanya debulah aku
kamu ajak aku bersila pada dataran papan hangat. Energi
dari batin ditumbuk dalam lesung yang tersedia di sudut
kelembutan itu sebuah pintu abadi?” Pintu lain dari
ada yang bisa mengekalkan buka atau tutup
selalu bersambut
bayang separoh tubuh
Seoul,
30 Maret 2014
kutemukan musim dalam semangkuk kimchi. Salju pun mengirimkan kisah
dari jauh. Masam, semasam-masamnya , hingga lambung memanggil-manggil nama-Mu
jiwa terperangkap gerbong yang tak pernah menemu setasiun
matahari dan gerimis malam hari. Memindahkan kimchi ke ruang-ruang pribadi
yang tak kunjung usai. Bukankah kita selalu bergegas
yang tak kunjung sudah
kimchi dikubur dalam tanah. Di luar, langit beku. Itulah keheningan, bisikmu.
menjauh dari riuh, berjumpa asam, seasam-asamnya
dicecap, semakin dalam nemu hakikat
kimchi kan kau temui sawi, irisan bawang, cabe merah, garam, dan gugusan waktu.
musim diaduk dalam mangkuk. Siapa terbatuk-batuk tersedak tajam cuaca
menggigil di ruang tengah, pemanas telah lama mati. Bukankah begitu alasanku?
di meja tak sempurna tanpa kimchi. Musim yang tergelar siang-malam
narasi pohon-pohon, daun-daun bertimbun di kaki
duseyo!”— ”Selamat makan!” begitulah kira-kira maksud-Mu.
14 Maret 2014
di Jember pada 3 Oktober 1958. Memperoleh gelar sarjana (S1), magister
(S2), dan doktor (S3) di IKIP Malang (sekarang Universitas Negeri
Malang) pada program studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia.
Tenaga akademis FBS Universitas Negeri Surabaya (Unesa) ini banyak menulis
puisi, di samping novel, cerita pendek, naskah drama, dan esei atau
kritik. Novelnya yang berjudul Di Simpang Jalan pernah dimuat secara
bersambung oleh Harian Surya Surabaya.
Naskah dramanya yang berjudul
Jalan Pencuri dan Pohon dalam Piring Tanah pernah dipentaskan oleh
Teater Institut Surabaya. Tulisan-tulisannya yang berupa puisi, cerpen,
dan artikel dimuat di berbagai media: Harian Surya Surabaya, Jawa Pos,
Surabaya Post, Republika, Kompas, Panyebar Semangat, Jaya Baya, Horison,
dan sebagainya.
Buku yang sudah ditulisnya ialah: Sastra Indonesia:
Pengantar Teori dan Apresiasi Puisi, Menembus Kabut Puisi, Mendaki
Gunung Puisi, dan lain-lain.
Beberapa kali menjuarai lomba cipta puisi, antara lain: 5 Besar Lomba
Cipta Puisi Nasional (Universitas Sarjana Wiyata Yogyakarta, 1983), 10
Besar Lomba Cipta Puisi (Sanggar Minum Kopi Denpasar, 1992), 10 Besar
Lomba Cipta Puisi (Yayasan Selakunda Tabanan Bali, 1998).
Pada tahun
2012 memperoleh Anugerah Seni di bidang sastra dari Gubernur Jawa Timur.
Buku puisi tunggalnya: Fenomena (Lembaga Kesenian Indrakila Malang,
1983), Hom Pim Pa (Temperamen Bengkel Muda Malang, 1984), Mata Kalian
(Temperamen Bengkel Muda Malang, 1988), Ning (Sanggar Kalimas, 1998),
Terzina Penjarah (Sanggar Kalimas, 1998), Pertanyaan Daun (Komunitas
Kata Kerja Malang, 2003), Salam Mempelai (Pustaka Ilalang, 2010),
Slopeng (Rivka Media, 2012), dan Yang Bertamu adalah Ilham (Sanggar
Kalimas, 2013).
Buku antologi bersamanya dengan beberapa penyair lain antara lain:
Pendapa Taman Siswa Sebuah Episode (Universtas Sarjana Wiyata
Yogyakarta, 1983), Kul Kul (Sanggar Minum Kopi Denpasar, 1992), Suluk
Hitam Perjalanan Hitam Di Kota Hitam (Lingkar Sastra Tanah Kapur Ngawi,
1994), Drona Gugat (1995), Sajak-sajak Refleksi Setengah Abad Indonesia
Merdeka (Taman Budaya Surakarta, 1995), Bunga Rampai Bunga Pinggiran
(Parade Seni WR Soepratman, 1995), Akulah Ranting (Penerbit Dioma
Malang, 1996), Maha Duka Aceh (Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin
Jakarta), Malsasa 2009 (2010), Pesta Penyair (DKJT, 2010), Moh (Sanggar
Kalimas Surabaya, 2012), Gresla Mamoso (2013), Selendang untuk Bunda
(2013), dll. Sampai kini ia menjadi pemimpin umum Majalah Sastra Kalimas,Surabaya.
Kini Tengsoe Tjahjono sedang tugas mengajar di Hankuk University of Foreign Studies, Seoul, Korea Selatan.