Petaka Gaji ke-13 dan ke-14
Oleh Budi Hutasuhut* Berkah ibadah puasa Ramadan bagi pegawai negeri sipil (PNS) adalah kebijakan pemerintah mengeluarkan peraturan presiden tentang gaji ke-13 dan ke-14 sebelum Idulfitri. Ini juga berkah bagi masyarakat di daerah, karena ada cash tr...

Oleh Budi Hutasuhut*
Berkah ibadah puasa Ramadan bagi pegawai negeri sipil (PNS) adalah kebijakan pemerintah mengeluarkan peraturan presiden tentang gaji ke-13 dan ke-14 sebelum Idulfitri. Ini juga berkah bagi masyarakat di daerah, karena ada cash transfer yang masuk ke daerah.
Dana ini berimplikasi terhadap meningkatnya konsumsi masyarakat di daerah. Namun, jika melihat tradisi masyarakat menyambut lebaran yang cenderung sangat konsumtif, bukan mustahil total dana gaji ke-13 dan gaji ke-14 ini tidak cukup memadai. Pengeluaran masyarakat akan lebih tinggi lagi dari nilai gaji ke-13 dan gaji ke-14 yang diperolehnya.
Sudah umum diketahui, pola konsumsi pegawai negeri sipil (PNS) relatif tidak berpatokan pada perencanaan keuangan rumah tangga yang memadai. Begitu memperoleh gaji ke-13 dan gaji ke-14, yang mereka sebut sebagai tunjangan hari raya (THR) dari pemerintah pusat, dengan mudah dana itu akan dihabiskan hingga melebihi total yang diperoleh. Jangan berharap ada program untuk menyimpan atau setidaknya sebagai dana cadangan.
Tradisi belanja besar-besaran para PNS yang baru mendapat THR gaji ke-13 dan ke-14 ini berdampak terhadap peningkatan harga barang dan jasa. Akibatnya, keberadaan gaji ke-13 dan gaji ke-14 bukan lagi berkah bagi PNS tetapi malapetaka, yang tentunya juga menjadi semacam hukuman bagi masyarakat yang bekerja di sektor formal dan sector informal.
Naiknya harga barang dan jasa membuat daya beli masyarakat yang sudah sangat rendah, akan semakin tak mampu menjangkau harga yang ada. Alhasil keberadaan gaji ke-13 dan ke-14 bukannya membantu masyarakat, tapi semakin memurukkan yang akhirnya memperngaruhi perekonomian nasional terutama pada meningkatkan inflasi melebihi target dalam APBN 2016.
***
SUDAH jadi pendapat umum, ibadah puasa di bulan Ramadan mendorong masyarakat lebih konsumtif. Permintaan barang dan jasa lebih tinggi, sementara pasokan barang sangat rendah. Harga pun menjadi melonjak, menyebabkan konsumen tak mampu menyesuaikan diri karena daya belinya sangat rendah akibat terjadinya perlambatan pertumbuhan ekonomi nasional.
Menjelang puasa Ramadan, ekonomi Indonesia dalam triwulan pertama 2016 hanya tumbuh 4,92 persen, jauh di bawah target yang dibuat dalam APBN 2016 sebesar 5%. Kondisi ini berdampak serius terhadap dunia usaha, karena terjadi defisit anggaran yang mempengaruhi permintaan terhadap barang dan jasa. Jika permintaan terhadap barang dan jsa lemah, dunia usaha berpikir ulang untuk melakukan ekspansi. Akibatnya, banyak kredit yang tak dicairkan (undisbursed loan) di triwulan I-2016.
Idealnya dunia usaha sudah paham, tradisi tahunan menyambut puasa ini merupakan momentum meningkatkan pendapatan dengan menambah produksi. Momentum ini pun sangat panjang, akan berlangsung lebih sebulan, sebelum Ramadan sampai sesudah Ramadan. Ini peluang usaha yang mesti ditangkap. Potensinya sangat besar.
Dengan meningkatkan tingkat produksi, semakin besar kemungkinan memperoleh keuntungan lebih banyak karena permintaan terus meningkat. Tapi, persoalan menjadi lain karena permintaan barang yang melonjak itu sebagian besar komoditas pangan.
Kita tahu, di negeri ini, komoditas pangan adalah primadona, sehingga menjadi komoditas yang paling banyak dipengaruhi politik dagang. Komoditas pangan rentan berada dalam kendali monopoli dagang dengan rantai usaha dari ulu ke ilir yang dipegang oleh kalangan tertentu. Instabilitas harga pangan terjadi setiap tahun disebabkan dominannya relasi kapitalistik.
Melonjaknya harga daging sepekan sebelum Ramadan, misalnya, salah satu fakta yang menguatkan. Belum lagi harga berbagai jenis sembako. Instruksi Presiden Joko Widodo kepada para pembantunya untuk menjungkirbalikkan harga pangan menjelang puasa dan Lebaran tidak banyak pengaruhnya.
Keinginan Presiden Jokowi bahwa harga daging tetap pada Rp 80.000 per kilogram selama bulan puasa yang bertujuan mengurangi beban (ekonomi) rakyat, justru membuatnya “dilecehkan” masyarakat karena harga daging di tingkat konsumen melebihi Rp100.000 per kilogram.
Bila pemberian gaji ke-13 dan ke-14 ini diniatkan pemerintah pusat untuk meningkatkan daya beli masyarakat dengan asumsi konsumsi akan meningkat, maka investasi akan naik, maka kebijakan itu tidak akan berjalan sebagaimana diharapkan.
Memang, konsumsi yang tinggi akan mendorong pertumbuhan ekonomi nasional dalam jangka pendek. Tapi, kenyataan justru terbalik, karena gaji ke-13 dan gaji ke-14 itu hanya untuk kalangan PNS dan mungkin sektor formal, jumlahnya sangat terbatas. Sementara dampak pengumuman gaji ke-13 dan ke-14 mendera semua lapisan masyarakat, lebih parah lagi menghantam masyarakat miskin di daerah yang daya belinya memang sudah rendah.***
*Seorang Nahdliyin