Orang-Orang Berjasa
Ukim Komaruin Saya tidak tahu motivasi utama saya pindah ke jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia (BSI). Sepertinya saya hanya melarikan diri saja dari jurusan sebelumnya. Sebab, ketika sampai di jurusan BSI pun kegelisahan saya tak juga su...

tidak tahu motivasi utama saya pindah ke jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia (BSI).
Sepertinya saya hanya melarikan diri saja dari jurusan sebelumnya. Sebab,
ketika sampai di jurusan BSI pun kegelisahan saya tak juga surut. ternyata saya
juga merasa salah memilih jurusan lagi. Mengapa BSI? Mahasiswa di sini banyak
juga yang minder karena merasa salah pilih jurusan juga. Celaka, pikir saya.
Saya berada dalam iklim yang tak baik untuk berprestasi!
Tuhan mempertemukan saya dengan orang-orang besar. Mas Hari Suhari. Saya
terpesona dengan dia. Lelaki berbadan besar dan berotak besar. Atas nama segala
kebaikan, ia menasehati saya agar mau aktif di Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ). Saya ingat atas pesannyalah
saya mulai mau melakukan ini-itu atas nama HMJ Bahasa dan Sastra Indonesia IKIP Jakarta.
bersastra, saya diajari oleh seseorang yang sampai kini saya kagumi. Orangnya
godrong. Ganteng. Memiliki rasa percaya diri tinggi. Sitok Srengenge, namanya.
Saya ikut LAS, Lingkaran Apresiasi Sastra. Saya bayar Rp. 75. katanya uang
photo copy, atau apalah saya lupa. Saya menonton pementasan Pak Syam Muchtar
Chaniago dan Ibu Sri Suhita. Saya juga mendengarkan Sitok Srengenge baca puisi. Pementasan
mereka bagus sekali, juga dialognya. Saya masih ingat serangan Mas Budoyo
Pracahyo waktu itu.
sajak Sitok, itu seperti memahami tahi kucing. Awalnya menyengat, tapi setelah
itu kering, hancur, dan tak berbekas apa-apa.”
gugatan itu hadirin tertawa ngakak. Semua sepakat Mas Budoyo menyerang dan
semua menunggu jawabannya.
bos kami menanggapi dengan tenang. “Kalau puisi saya dianggap tahi kucing
tidak apa-apa. Ada bentuknya. Tapi mana puisi Anda? Saya belum lihat bentuk
tahinya?” Kini giliran Mas Sitok yang mendapat tepuk tangan.
kemudian mengajarkan saya betapa mereka yang saling serang itu memang
orang-orang yang memiliki kompetensi yang jelas, sehingga dapat berkiprah
dengan elegan.
itu saya menghirup udara kreativitas. Meski demikian, jalan saya berbeda dengan
teman lainnya. Saya bukan orang cerdas seperti Nurzain, Oyos, dan Iwan Gunadi
yang menyusul kakak tingkat mereka yang mulai berkibar tulisannya di beberapa media.
Saya lebih banyak menyerap. itu mungkin kata yang lebih melindungi saya
daripada terkesan tak berdaya.
banyak menonton Mas Ning, Mas Sitok, Mas Edy Angus, Mas Joko baca puisi dan
bermain drama. Saya sering diam-diam membaca tulisannya Pak Nusa Putra,
Pracoyo, Zainudin HM, Mustofa, dll. yang jelas, sampai hampir lulus saya
mengalami kesulitan mendefinisikan siapa dan apa kemampuan saya.Itu sebabnya
saya terlambat lulus karena hampir saja saya tidak tahu harus berbuat apa.
kondisi sulit saya lagi-lagi ditolong oleh Mas Joko. Ia ditawari mengajar. Atas
restu Ibu Zulfah Nur (sekretaris jurusan BSI) juga saya akhirnya mengajar di tempat yang sampai saat ini saya
mengabdi. baru setelah lulus dan bekerja saya mulai merajut yang saya dapat
dari beberapa orang besar itu. Saya mulai berani menulis karena saya pikir itu
ekspresi pribadi saya. Saya juga berusaha bersikap profesional dalam bekerja.
Untuk yang satu ini, memang saya belajar dari Cak Joko.
di tahun 90-an, di zaman itu kami diundang menjadi juri di Hotel Indonesia.
Saat itu Cak Joko marah-marah dan menolak menjadi juri karena ternyata honor
yang diterima hanya Rp350.000 rupiah. saya bengong. Mengapa uang sebesar itu
ditolak, pikir saya. Ternyata, Cak Joko membuka mata dan pikiran saya.
bukannya materialiistis. saya hanya sedang membela martabat jurusan kita.
Mengapa dengan jurusan lain bisa limaratus ribu, sedangkan dengan kita hanya
segitu!”
itu saya belum bisa menerima. Saya juga maklum pada diri saya. Saat itu, beliau
sudah sampai pada derajat memilih, sementara saya baru sebatas menerima.
selalu berterima kasih atas jasa-jasa besar mereka. Secara jujur, mereka juga
menjadi dosen di hati saya.