Orang Indonesia Menyimpan Deritanya Sepanjang Hidupnya
Dahta Gautama Orang Indonesia itu lahir dari ruang dan waktu yang berbeda. Pikiran mereka berbeda, pekerjaan mereka berbeda, cara menjalani hidup berbeda. Jika ada yang sama, bahwa Orang Indonesia, gemar makan nasi. Kesamaan lain, Orang Indonesia s...
Dahta Gautama
Orang Indonesia itu lahir dari ruang dan waktu yang berbeda. Pikiran mereka berbeda, pekerjaan mereka berbeda, cara menjalani hidup berbeda. Jika ada yang sama, bahwa Orang Indonesia, gemar makan nasi. Kesamaan lain, Orang Indonesia sama-sama menderita.
Memiliki kekayaan perut bumi berupa emas dan batubara, laut luas yang menyimpan triliunan ton ikan dan areal sawah seluas samudra. Namun kekayaan ini yang bikin Orang Indonesia menderita.
Orang Indonesia yang memiliki kekuasaan atau akses menuju Kekuasaan, sangat percaya diri jika “jalan kekuasaan” nya mengikutsertakan negara hebat, macam Amerika dan China. Jadilah, negara ini “di atur-atur” dan “tunduk”.
Orang Indonesia, strata aman, cukup gembira dengan pesangon dan gaji bulanan: mereka berada di kantor pemerintah dan industri-industri. Tapi pas-pas saja. Menderita juga karena mesti hidup mengirit-irit dan ketar-ketir. Jika mau sedikit enak, ya, tilap uang. Kalau beruntung jual hartanya lagi, untuk sogok hukum. Atau di bui karena uang ludes.
Orang Indonesia lainnya, yang terus menerus menderita. Tak ada jaminan masa tua. Tak menerima gaji bulanan. Jika sakit, berobat seadanya. Tak memiliki otoritas apapun atas hidup orang lain, kecuali kekuasaan atas istri dan anak-anaknya. Mereka marginal, yang bergerak di pangkalan ojeg, pasar-pasar, pekerja-pekerja non formal. Jumlahnya ratusan juta.
Orang Indonesia seterusnnya adalah “para pemain”. Mereka menerima uang karena kondisi-kondisi sosial politik yang rumit. Bergerak seperti tiada batas. Melakukan apa saja: makelar anggaran dana pusat untuk daerah. Makelar perkara: penghubung antara orang-orang berperkara dengan pemilik otoritas perkara. Mereka masuk kemana-mana.
Hari ini jadi pembicara “Kiat Sukses” di hotel-hotel, besoknya menjelma sebagai Pengusaha tanpa pabrik. Kemudian punya organisasi, dan jika musim pemilu, ikut jadi “calon pemimpin pura-pura” untuk pecah suara. Sedikit lebih bagus, membangun Lembaga Survey.
Tapi mereka juga tetap menderita. Kelihatan perfect dan percaya diri. Namun kalau malam, suka melamun dan menghitung-hitung kelakuan yang mirip orang gila.
Orang Indonesia. Anda dan saya adalah Orang Indonesia. Kita lahir di sini, mempertahankan umur di negeri ini, mati pun (barangkali) di negeri ini. Rupa-rupa polah dan lelaku kita jalani. Kita masuk ke banyak persoalan di negeri ini. Kita di ajak terlibat, segala urusan yang terjadi di negeri ini, meski barangkali, pekerjaan kita cuma kuli panggul.
Dan hari-hari ini, ada kondisi yang aneh di Jakarta. Di pusat negeri ini. Lima ledakan kecil merampas beberapa nyawa, dan melukai tubuh belasan orang.
Ini “bukan sandiwara” bukan “keadaan yang di stel” untuk pengalihan konsentrasi rakyat atas banyak perkara lain di negeri ini.
Bom itu adalah bentuk penderitaan Orang Indonesia yang nyata. Sangat nyata, sebab yang terlibat di dalamnya: pelaku teror, perencana, pengalih isyu, terlebih para korban. Sejatinya, orang-orang yang hidupnya menderita, jauh sebelum bom-bom itu meledak. Karena kita Orang Indonesia.



