Jabatan dan Kekuasaan Sebagai Ladang Cuan

Oleh Syarief Makhya Dalam tiga bulan terakhir, sejumlah kasus besar yang melibatkan pejabat tinggi negara kembali mencuat ke permukaan. Mulai dari Operasi Tangkap Tangan (OTT) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), penggeledahan rumah pejabat oleh...

Jabatan dan Kekuasaan Sebagai Ladang Cuan
Dr. Syarief Makhya (Foto: Istimewa)

Oleh Syarief Makhya

Dalam tiga bulan terakhir, sejumlah kasus besar yang melibatkan pejabat tinggi negara kembali mencuat ke permukaan. Mulai dari Operasi Tangkap Tangan (OTT) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), penggeledahan rumah pejabat oleh Kejaksaan Tinggi, hingga pengusutan dugaan korupsi yang menyeret sejumlah mantan pejabat.

Beberapa di antaranya adalah: Nadiem Makarim, mantan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, ditangkap melalui OTT oleh KPK atas dugaan keterlibatannya dalam korupsi pengadaan laptop Chromebook dalam Program Digitalisasi Pendidikan tahun 2019–2022.

Ada juga Immanuel Ebenezer atau yang dikenal sebagai Noel, Wakil Menteri Ketenagakerjaan, yang juga ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK dalam kasus dugaan korupsi pemerasan terkait pengurusan sertifikasi keselamatan dan kesehatan kerja (K3) di Kementerian Ketenagakerjaan.

Sementara itu, fenomena kekuasaan di daerah juga tidak luput dari persoalan korupsi. Mantan gubernur atau bupati kerap kali terseret dalam kasus penyalahgunaan wewenang, mulai dari pengaturan proyek pengadaan barang dan jasa, manipulasi anggaran daerah, hingga pengelolaan dana bagi hasil dan partisipasi sektor energi. Kasus-kasus ini menunjukkan bahwa korupsi tidak hanya terjadi di level pusat, tetapi juga telah mengakar hingga ke tingkat lokal.

Fenomena pejabat atau mantan pejabat yang terseret kasus korupsi bukan hal baru di negeri ini. Ia telah berlangsung lama dan menunjukkan bahwa tidak ada efek jera yang nyata. Mirisnya, banyak dari mereka yang tetap tampil percaya diri di ruang publik, seolah tidak bersalah. Bahkan, sebagian pendukung atau penasihat hukumnya justru membela dengan menyalahkan proses hukum—disebut tidak transparan, sarat muatan politik, atau tidak masuk akal sehat.

Namun, terlepas dari pro-kontra yang muncul, secara akademis kita perlu menelaah: ada apa sebenarnya di balik praktik kekuasaan? Mengapa jabatan publik bisa berubah fungsi menjadi ladang untuk meraup keuntungan pribadi?

Praktik di Balik Kekuasaan

Dalam ilmu politik, kekuasaan merupakan prasyarat penting untuk mengelola negara dan menjalankan pemerintahan secara efektif. Dengan kekuasaan, otoritas ditegakkan, kebijakan dijalankan, dan fungsi-fungsi pemerintahan dapat dioperasionalkan demi mencapai tujuan publik. Namun, dalam praktiknya, kekuasaan sering tidak berjalan sesuai idealisme teori. Ia tidak hanya digunakan untuk mencapai kepentingan bersama, tetapi juga kerap disalahgunakan untuk memenuhi kepentingan pribadi atau kelompok tertentu. Alih-alih menjadi instrumen keadilan dan kesejahteraan, kekuasaan justru kerap berubah menjadi alat dominasi, eksploitasi, dan pratik korupsi.

Di sinilah pentingnya kajian kritis terhadap struktur dan praktik kekuasaan—terutama bagaimana jabatan publik dapat bertransformasi menjadi sarana akumulasi kekayaan, atau dalam bahasa populer hari ini: ladang cuan.

Benar bahwa kekuasaan tidak hanya beroperasi melalui struktur formal negara, tetapi juga melalui mekanisme ideologis, budaya, dan wacana yang sering kali tersembunyi. Pemikiran Antonio Gramsci dan Michel Foucault menunjukkan bahwa kekuasaan tidak semata-mata bersifat represif, melainkan juga dipengaruhi oleh kekuatan hegemonik

Dari perspektif ini, kecenderungan kekuasaan untuk melanggengkan dominasi menjadi sesuatu yang nyaris tak terhindarkan. Ketika struktur kekuasaan tidak transparan, tidak akuntabel, dan tertutup terhadap kritik, maka penyalahgunaan akan lebih mudah terjadi. Kekuasaan yang minim pengawasan menciptakan ruang bagi praktik korupsi, nepotisme, dan penyalahgunaan wewenang yang dilegitimasi melalui narasi yang tampak sah secara formal.

Figur, Jaringan, dan Kepentingan

Fenomena yang melibatkan Nadiem, Immanuel Ebenezer, dan sejumlah pejabat lainnya menjadi bukti bahwa di balik praktik kekuasaan terdapat dinamika yang jauh dari orientasi kepentingan publik. Figur-figur ini mencerminkan bahwa kekuasaan tidak dijalankan secara tunggal oleh lembaga formal, tetapi juga melalui jejaring kepentingan, simbol politik, pencitraan, dan pengaruh ideologis tertentu.

Kekuasaan membentuk relasi yang kompleks antara negara, elite politik, dan masyarakat—di mana kepentingan ekonomi, ideologi, dan popularitas saling berkelindan. Dalam ekosistem inilah, jabatan publik menjadi komoditas bernilai tinggi yang diperebutkan bukan untuk melayani rakyat, melainkan untuk membuka akses pada sumber daya, proyek, atau keuntungan material lainnya.

Dengan kata lain, jabatan menjadi sarana produksi dan distribusi kekuasaan—dan sekaligus kapital. Maka tidak mengherankan bila banyak pejabat menggunakan posisi mereka untuk memperkaya diri atau membangun dinasti politik yang bisa mewariskan akses terhadap ‘ladang cuan’ tersebut.

Kegagalan dan Reformasi Struktural

Dengan melihat realitas kekuasaan yang tidak bisa dijontrol untuk meminimalisir penyelahgunaan kekuasaan, menunjukkan bahwa negara gagal membangun struktur kekuasaan yang transparan, akuntabel, dan berorientasi pada kepentingan publik. Akibatnya, kekuasaan justru menjadi instrumen untuk mengeruk keuntungan pribadi atau kelompok.

Prinsip ‘aji mumpung’ dan praktik transaksional tumbuh subur, diwujudkan dalam bentuk kebijakan publik yang sarat kepentingan sempit. Bahkan, banyak regulasi atau proyek yang dirancang sedemikian rupa agar membuka ruang untuk praktik rente, penggelapan anggaran, dan pengaturan proyek yang tidak berpihak pada rakyat.

Fenomena kekuasaan yang disalahgunakan tidak cukup dihadapi dengan imbauan moral atau himbauan etika belaka. Diperlukan langkah konkret dan tegas berupa regulasi yang memaksa pejabat publik untuk tunduk pada prinsip transparansi dan akuntabilitas.

Penerapan mekanisme pembuktian terbalik terhadap kekayaan pejabat, serta percepatan pengesahan RUU Perampasan Aset, dapat menjadi instrumen penting untuk mempersempit ruang gerak penyalahgunaan kekuasaan dan jabatan oleh pejabat pemerintah.***

*Dr. Syarief Maknya, M.Si adalah staf pengajar FISIP Universitas Lampung