Mungkin
Oleh Slamet Samsoerizal Minggu tenang jelang pilpres, sebuah catatan biasa dari orang biasa usai dipun serat dening Mas Nakurat. Mungkin tersebab baru, pada pilpres 2014 ini kita punya dua capres, maka pengusung dan pemuja capres berpora dengan ane...
Oleh Slamet Samsoerizal
Minggu tenang jelang pilpres, sebuah catatan biasa dari orang biasa usai dipun serat dening Mas Nakurat. Mungkin tersebab baru, pada pilpres 2014 ini kita punya dua capres, maka pengusung dan pemuja capres berpora dengan aneka aksi. Dampaknya antara lain adanya kampanye hitam dan kampanye putih yang bersliweran. Korek-korek kuman di seberang lautan dari pesaing capres dilancarkan.
Kampanye butek pun coba dilontarkan agak malu-malu. Serombongan penyanjung dan pemaki berakting dalam seteru sempurna. Kampanye hitam dan putih dicampur aduk. Bak kebeningan sumber mata air dari gunung yang mengalir ke sungai-sungai kota dan bersua dengan sampah lumpur nan kumuh.
Capres-cawapres dipancing Sikap, Pengetahuan dan Keterampilan (SPK) intelektualnya lewat acara yang baru pula: debat. Namanya tradisi baru, maka debat disaksikan penuh debar sang pengusung dan penyanjung. Sang pengusung dan penyanjung sekonyong-konyong jantungan, cemas akan SPK kandidatnya yang mungkin gagap ketika moderator yang menggiring pertanyaan dan tak mampu dipahami sang kandidat. Bisa jadi malah Tanya dalam segmen tertentu, antarkandidat saling lempar melalui sepak pojok yang menggetarkan pertahanan pesaing.
Maka, ingar-bingar cemooh dan puja puji kita baca dan dengar dari media sosial hingga obrolan di warung kaki lima, tempat Mas Nakurat dan komunitasnya mangkal. Tak penting komentatornya adalah pakar. Karena kini, sejak Orde Baru tumbang, tiba-tiba saja kita dibanjiri jutaan pakar yang bisa menulis dan mencuap-cuap dengan hebat. Ini juga dampak pengguna media sosial yang kian hari kian bertambah.
Dua Larik
penyanjung suka buta walau melek
pemaki suka melek walau buta
Dua larik puisi itu saya bayangimpikan akan dibaca penuh teatrikal oleh Mohamad Akil, sastrawan dari Pemalang Jawa Tengah. Apa komentarnya tentang puisi distikhon tersebut?
“Brilian! Itu wabah yg sekarang lagi mengindonesia” ungkap Mas Akil, sapaan akrabnya.
Mas Zaenal Hayat, salah pakar pendidikan bahkan berani menyimpulkan: “Untuk 9 Juli, tampaknya semua sudah terbelah. Para elit terbelah, Kaum intelek terbelah, kaum profesional terbelah, para mantan petinggi terbelah, di bawah sudah tidak keruan.” Sehingga ia buru-buru mengingatkan: “Kita sama2 bangsa Indonesia, yok kita ciptakan rasa aman di lingkungan kita masing2!”
Padahal, mungkin kelak, ketika pilpres usai, para penyanjung dan pemaki saling berangkulan baik langsung maupun tak. Mereka tiba-tiba pikun dengan masa lalunya yang heroik demi capres-cawapres yang dibelanya.
Usai itu, seperti kebanyakan psikologi rakyat (cilik), mereka akan bekerja dengan peluhnya masingmasing. Cuma politisi yang menikmati efek dari menyanjung dan memaki.
Menanggapi celoteh itu, budayawan E Sumadiningrat menggarisbawahi: “Dan, ketika para elit berangkulan, bahkan menyatu kembali dalam kepentingan yang lain, sesungguhnya mereka telah menanam benih kerusakan pada kerukunan kawula cilik. Intimidasi pilihan dijejalkan elite sebagai perbedaan yang diartikan sama dengan permusuhan. Masyarakat menjadi terkotak pada warna bendera partai. Sifat arif gotong royong menjadi tergeser oleh jargon “wani piro”. Duhai.., seandainya para elit politik memahami pendekatan kultural, seperti syiar Islam para wali di tanah jawa, alangkah damainya hidup ini.”
Ia sampai pada renungan: Mungkinkah? ***



