|
Prosesi pernikahan Kodok Sukodok dengan peri Setyowati. (Foto dok Adrian Crapciu) |
Oleh Ahmad Yulden Erwin*
Menafsirkan seni kejadian “Mbah Kodok Rabi Peri Setyowati” karya Bramantyo Prijosusilo memang asyik. Pada dasarnya happening art atau seni kejadian adalah seni tentang gagasan, seni ide. Sebermula suatu ide muncul, dipertanyakan, diperdebatkan dalam pikiran senimannya sebagai penggagas seni kejadian, kemudian dihadirkan ke realitas sehari-hari dalam bentuk karya seni.
Setelah gagasan itu menjadi seni kejadian, maka gagasan itu akan kembali muncul, dipertanyakan, diperdebatkan dalam pikiran banyak orang, kemudian hadir menjadi wacana publik. Pada intinya, jangkau estetik seni kejadian, tak selesai ketika hadir sebagai pertunjukan seni semata, tetapi, lebih lagi, setelah pertunjukan seni itu selesai dilakukan dan menjadi wacana publik.
Seni kejadian adalah suatu upaya untuk menghadirkan gagasan ke dalam ekspresi seni, oleh sebab selama ini gagasan cenderung diekspresikan ke dalam bentuk wacana ilmiah, filosofis, atau spiritual semata.
Nah, seni kejadian mencari jalan lain untuk menghadirkan gagasan, ke dalam ekspresi seni, yang menghadirkan ambiguitas, tafsir lain itu, dengan cara yang menggugah rasa dan pikiran kita sebagai manusia yang berbudaya.
Pada seni kejadian yang digagas oleh Bramantyo Prijosusilo ini, gagasan atau kritik yang ditampilkan benar-benar sublim, halus, dan pastilah mengguncang wacana publik. Ini saja sudah menunjukkan kualitas seni dari penggagasnya, dari senimannya.
Seni kejadian yang diekspresikan oleh Bramantyo membuka ruang wacana publik, memunculkan tafsir-tafsir yang beraneka, dan menghadirkan parodi atas realitas status quo di tengah keseriusan ekspresi seninya. Seni kejadian yang digagas oleh Bramantyo bukan sekedar seni aksi orang-orang yang yang tubuhnya dicat hitam atau putih, mengenakan celana jeans buntung yang sengaja digunting dan bertelanjang dada, lalu berjalan sambil menyeret-nyeret kerdus bekas yang ditulisi “KERANDA MATINYA DEMOKRASI” — seperti banyak dipertunjukkan dalam berbagai aksi demonstrasi mahasiswa selama ini.
Sebaliknya, seni kejadian Bramantyo Prijosusilo ini diekspresikan dengan estetik, karena saya yakin sebagai seorang seniman pastilah Bramantyo Prijosusilo menyadari bahwa inti dari seni kejadian adalah kematangan dan kedalaman dari gagasan, bukan sekadar verbalitas dan atau vulgaritas gagasan. Karena itu, karya seni kejadian Bung Bram memang pantas diapresiasi.
Saya sendiri menikmati seni kejadian yang dihadirkan oleh Bung Bram selama ini, meski tidak pernah menontonnya secara langsung, oleh sebab saya menikmati permainan gagasannya yang sublim sekaligus menyentak. Misalnya: gagasan untuk menikahkan manusia dengan mahluk gaib dalam tradisi Jawa, setahu saya, pernah terjadi dalam cerita antara Sultan Agung dengan Nyai Roro Kidul. Tapi, dalam seni kejadian Bung Bram, pernikahan gaib itu, justru dibumikan derajat hagemoninya, relasi kuasanya, dengan menyelenggarakan upacara perkawinan adat Jawa bagi “orang biasa”.
Lalu, saya pun teringat, bahwa ini seperti sebuah gema atas peristiwa politik yang baru saja terjadi, saat “orang biasa” itu, yang sama sekali tak diperhitungkan dalam konstelasi elit politik negeri ini, tiba-tiba, dengan dukungan para relawan yang tanpa pamrih, bisa menjadi Presiden RI ke-7. Tafsir terhadap seni kejadian itu kemudian juga bisa berkembang lagi setelah menyimak pesan-pesan pelestarian lingkungan dan budaya, semangat kegotong-royongan dan kebhinekaan, serta ajaran “keluhuran budi” dalam spiritualitas di Nusantara yang dihadirkan pada saat pertunjukan.
Video dok Sao/Youtube.com
* Penyair, tinggal di Bandarlampung