Kopi Sore: Kebanggaan dan Revolusi Mental
Darma Lubis Pertandingan Persib vs Sriwijaya FC itu menyisakan sejumlah tesis di kepalaku. Padahal, sejak Jenderal Nagabonar melarang berpikir, udah mulai kuturuti. Tapi peristiwa final Piala Presiden ini tak pelak membuatku bertanya-tanya. Bagai...
Darma Lubis
Pertandingan Persib vs Sriwijaya FC itu menyisakan sejumlah tesis di kepalaku. Padahal, sejak Jenderal Nagabonar melarang berpikir, udah mulai kuturuti. Tapi peristiwa final Piala Presiden ini tak pelak membuatku bertanya-tanya. Bagaimana mungkin sebuah even yang harusnya melahirkan kebanggaan pada Indonesia sebagai sebuah negara bangsa, dipecah oleh konflik-konflik kebanggaan kedaerahan (meski diwakili oleh klub sepakbola).
Apa ya yang sesungguhnya terjadi? Apakah saudara kita yang ditempat lain tidak lebih baik dari yang di Jakarta? Atau kita memang sedang tidak memiliki kebanggaan pada negeri ini? Karena kebanggaan kita sedang dikoyak-koyak oleh para elite dan pemilik modal? Padahal kebanggaan adalah salah satu pemantik lahirnya gerakan perubahan. Jadi, Pak Presiden Jokowi, kalau kabinet Anda ingin mendapat dukungan dari rakyat, lahirkanlah kebanggan. Tentu saja, kebanggaannya bukan kebanggaan semu. Tapi kebanggaan yang berfondasi pada realitas aktual. Kebanggaan yang memang bisa diukur secara empirik oleh rakyat.
Seorang teman kemudian menyela, “Salah satu yang paling berdosa pada negeri ini adalah partai politik. Namun dalam sejarah politik di Indonesia, pernahkah partai politik itu kemudian meminta maaf atas kesalahan-kesalahan yang mereka lakukan? Termasuk kesalahan dalam menentukan siapa mestinya orang yang dapat mewakili rakyat dan parpol itu sendiri. Baik itu di level eksekutif maupun legislatif?”
Kalau kesadaran meminta maaf saja kita tidak bisa budayakan, lanjutnya, bagaimana mungkin revolusi mental berjalan? Bukankah meminta maaf adalah kunci perubahan? Bukankah mengakui kesalahan-kesalahan kecil, bahkan akan mendorong kita tidak melakukan kesalahan-kesalahan besar.
Makanya, dalam konteks revolusi mental, mengutip syair lagu Iwan Fals, “Jangan ajari kami moral!” Urus saja moralmu, agar negeri ini dapat dinakhodai dengan baik hingga ke tujuannya.



