Kisah Sukses Desa Titiwangi Lampung Selatan Sebagai Desa Inklusi Keuangan Pertama di Lampung

TERASLAMPUNG.COM —  Sejak 20 November 2019, Desa Titiwangi, Kecamatan Candipura, Lampung Selatan diresmikan sebagai Desa Inklusi Keuangam. Peresmian yang dilakukan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) bersama Tim Percepatan Akses Keuangan Daerah (TPAKD...

Kisah Sukses Desa Titiwangi Lampung Selatan Sebagai Desa Inklusi Keuangan Pertama di Lampung
Sekda Provinsi Lampung, Fahrizal Darminto menandatangani prasasti peresmian Desa Titiwangi sebagai Desa Inklusi Keuangan, Rabu, 20 November 2019. Foto: Teraslampung.com

TERASLAMPUNG.COM —  Sejak 20 November 2019, Desa Titiwangi, Kecamatan Candipura, Lampung Selatan diresmikan sebagai Desa Inklusi Keuangam. Peresmian yang dilakukan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) bersama Tim Percepatan Akses Keuangan Daerah (TPAKD) Provinsi Lampung itu bersamaan dengan peresmian  Galeri Investasi dan Edukasi Keuangan pertama di luar Pulau Jawa dan pertama di Provinsi Lampung, Rabu (20/11/2019).

Peresmian yang digelar di di Gedung Serba Guna (GSG) Kecamatan Candipuro dan Gedung BumDes Titiwangi berlangsung meriah. Hadir pada peresmian itu antara lain pala OJK Perwakilan Lampung, Indra Krisna; Kepala BEI Lampung, Hendi Prayogi; Sekda Provinsi Lampung, Fahrizal Darminto; dan Kepala Mandiri Sekuiritas, M Bagus Pambudi.

Bagi warga Desa Titiwangi, peresmian Desa Inklusi Keuangan tersebut cukup membanggakan. Maklum, peresmian itu sekaligus menandai Desa Titiwangi sebagai desa inklusi keuangan pertama di Lampung dan di luar Pulau Jawa.

Kepala OJK Lampung Indra Krisna menyatakan, dengan ditetapnya Desa Titiwangi sebagai desa inklusi keuangan maka berdampak sangat positif bagi warga desa. Bukan saja warga menjadi makin paham soal investasi yang benar, tetapi juga terpacu untuk menghimpun diri dalam gerakan menabung saham. Bahkan dampak positif lainnya adalah perekonomian masyarakat makin menggeliat karena bisnis baru terus berkembang.

“Dulu banyak warga Desa Titiwangi yang terjebak investasi bodong. Dengan adanya Galeri Investasi dan Edukasi Keuangan, masyarakat desa kini makin sadar tentang inklusi keungan. Mereka tidak lagi terjebak janji manis  pelaku kejahatan untuk mendapatkan keuntungan pribadi dengan berkedok investasi,” kata Indra Krisna.

Indra mengatakan, kini warga yang memiliki uang tidak lagi menitipkannua kepada investor yang tidak jelas alias ilegal.

“Desa Inklusi Keuangan kini menjadi jawaban. Dengan adanya literasi yang cukup tinggi, mereka paham dan tidak mudah untuk ditipu-tipu lagi dan mengerti pilihannnya ada yang professional dan syariah. Kalau mereka sudah paham dan cerdas, maka mereka akan inklusif. Kini tingkat inklusifitas masyarakat sudah 76 persen. Artinya,  mereka sudah terlibat. Tapi untuk pemahaman literasinya baru 38 persen, artinya mereka belum paham tapi sudah berinteraksi. Maka akan lebih baik lagi kalau mereka paham, cerdas dan terlibat juga secara bijak,” kata Indra.

Kepala OJK Provinsi Lampung Indra Krisna mengatakan, desa inklusi pengertiannya lebih luas dibandingdesa nabung saham. Mereka bisa memberikan tempat-tempat untuk literasi, sehingga literasi inklusi itu memberikan pemahaman ke masyarakat apa itu produk-produk jasa keuangan agar masyarakat bisa memahami.

Setelah memahami, kata Indra, mereka bisa memilih mau kemana kalau punya uang. Apakah mau ke bank atau ke pasar modal, atau sebaliknya kalau mereka tidak punya uang mau kemana mereka pinjam.

“Maka pinjam uangnya harus ke lembaga keuangan formal, melalui sistem yang ditetapkan pemerintah melalui KUR. Jadi literasi Inklusi ini lebih luas lagi daripada nabung saham. Dengan diresmikannya Titiwangi sebagai Desa Inklusi Keuangan, masyarakat agar lebih paham dan pintar apa yang namanya produk dan lembaga jasa keuangan. Di literasi inklusi ini, kita berikan pemahannya dan masyarakat bisa memilih mau kemana mereka,” katanya.

Menurut Indra, program Desa Inklusi Keuangan ini metodenya hampir sama dengan Desa Nabung Saham. Hanya ada perbedaan sedikit di program tersebut.

“Kalau nabung saham, hanya nabung saham saja dan ada teorinya di situ. Literasi inklusi keuangan lebih memberikan pemahaman dan pembelajaran di dalamnya. Inklusi keuangan ini adalah literasi, sehingga diberikan pemahaman dan ada tugas-tugas lain disamping adanya Galeri, bisa juga menabung di bank atau di pasar modal. Untuk tahap pertama kita adakan Galeri dulu, Galeri ini produknya ya saham. Tapi ada yang lain juga, untuk itu nanti sajalah pelan-pelan karena ini adalah Desa Inklusi Keuangan,”kata dia.

Setelah paham, masyarakat akan diarahkan untuk berinteraksi dengan industrinya secara tepat dan tidak salah sasaran.

“Terutama di pasar modal yang terbilang masih awam bagi warga, khususnya yang ada di perdesaan. Namun kami juga melihat kebutuhan warga untuk layanan keuangan lainnya. Jadi program Desa Inklusi Keuangan lebih umum. Tidak hanya pasar modal yang disosialisasikan, melainkan ada asuransi, perbankan, pembiayaan (leasing) dan lainnya. Semua industri keuangan, ada di program inklusi keuangan,” tandasnya.

Berawal dari Kisah Suram

Kades Titiwangi, Sumari (kiri), bersama warga desa yang menekuni bisnis jamban. Usaha jamban yang ditekuni warga bernama Ochit itu juga bermula dari mulai terbukanya kesadaran Ochit terhadap inklusi keuangan.

Desa Titiwangi, Kecamatan Candipuro, Lampung Selatan, sudah 53 tahun berdiri. Jumlah penduduknya 7.000 jiwa dan 1.623 jumlah Kepala Keluarga (KK).

Masyarakat yang tinggal di Desa Titiwangi, mayoritas bekerja sebagai petani dan pedagang. Petani ada 60 persen, pedagang 30 persen dan 10 persen sisanya adalah Pegawai Negeri Sipil (PNS).

Desa tersebut memiliki luas wilayah sekitar 750 Ha, dengan batas-batas wilayah, Utara berbatasan dengan Desa Berigin Kencana, lalu sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Way Panji, sebelah Timur berbatasan dengan Desa Trimokti dan sebelah Barat berbatasan dengan Desa Cintamulya dan Desa Sidoasri.

Untuk bisa menorehkan catatan membanggakan itu, ternyata banyak pengalaman pahit yang sudah dialami warga Desa Titiwangi berkaitan dengan masalah investasi. Utamanya adalah investasi bodong yang beroperasi hingga pelosok desa.

Sekretaris Desa (Sekdes) Titiwangi, Muh Barudin, mengatakan masyarakat Desa Titiwangi sejak tahun 2000 sudah sering menjadi korban investasi bodong. Yang cukup banyak merugikan warga desa adalah investasi bodong yang dilakukan SSI. Saat itu, banyak warga desa yang uangnya lenyap. Nilainya mencapai ratusan juta rupiah.

“Yang menyedihkan, ada warga yang menjual sawah dan hewan ternak demi untuk bisa menyimpan uangnya. Ternyata investasi bodong. Sawah, ternak, dan uang pun melayang. Jumlah warga yang tertipu banyak, sampai ratusan orang,” katanya.

Menurut Bahrudin, pada  tahun 2013 lalu di di Kecamatan Candipuro pernah berdiri koperasi Baitul Maalwat Tamwil (BMT) Duta Jaya hingga tahun 2018. Saat itu warga diming-imgi  keuntungan sebesar 5 persen. Warga pun berbondong-bondong menyimpan uangnya di BMT tersebut.

“Begitu banyak warga yang sudah menyimpan uangnya di BMT, uang tabungan yang disetorkan bahkan sertifikat yang menjadi jaminan pembiayaan malahan dibawa kabur  pemilik BMT. Alasannya BMT bangkrut. Sampai sekarang tidak jelas ke mana kaburnya pemilik BMT itu. Pastinya kerugian warga mencapai miliaran karena korbannya banyak, dari beberapa desa di Kecamatan Sidorejo,” katanya.

Menurut Bahrudin, kisah suram itu menjadi penyemangat warga Desa Titiwangi untuk menyambut baik kehadiran aleri Investasi dan Edukasi Keuangan yang dinisiasi OJK Lampung.

“Semua kisah buruk itu  menjadi  pembelajaran. Kini warga di desa kami sudah paham bahwa berinvestasi itu harus dengan baan usaha yang jelas. Kami kini sangat berhati-hati,: katanya.

Dengan menjadi Desa Inklusi Keuangan dan memiliki Galer Investasi, kini masyarakat Desa Titiwangi dan sekitarnya lebih mengenal lembaga OJK, pasar modal, dan seperti apa perlindungan pemerintah dalam investasi keuangan.

“Jadi, Desa Titiwangi kini menjadi pusat kegiatan inklusi keuangan. Dampaknya sampai ke desa-desa lain di Kecamatan Candipuro,” katanya.

Ekonomi Desa Menggeliat

Deputi Direktur Pengawasan Lembaga Jasa Keuangan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Lampung, Aprianus Jhon Risnad, mengatakan dengan adanya inklusi dan literasi keuangan harapannya dapat mendorong perekonomian desa, meningkatkan kesejahteraan, serta menurunkan tingkat kemiskinan.

“Melalui desa inklusi kita menyediakan akses keuangan. Kalau dulu untuk mendapat akses keuangan sepertinya sulit karena lokasi. Dulu industri keuangan zaman Paket Kebijakan Oktober (Pakto) 1988 dengan memperbanyak kantor. Sekarang dengan dengan layanan yang lebih luas dengan teknologi, layanan keuangan masyarakat bisa melalui Laku Pandai,” katanya, beberapa waktu lalu.

Warga Desa Titiwangi bekerja di usaha keripik pisang “Rendra Utama”.

Kepala Desa Titiwangi, Sumari, mengatakan,  kehadiran Galeri Investasi dan Edukasi Keuangan sejak dua tahun terakhir di Desa Titiwangi bukan hanya membuat masyarakat desa makin paham untuk mendapatkan akses keuangan yang benar.

“Warga Desa Titiwangi kini juga banyak termotivasi untuk terus membuat usaha rintisan atau mengembangan usaha yang sudah dijalankan,” katanya.

“Alhamdulillah, dengan hadirnya program Laku Pandai di desa kami, masyarakat desa semakin termotivasi mengembangkan potensi usaha. Selain pasar desa dan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes), secara perorangan atau berkelompok warga desa ini mulai mengembangkan usaha,” kata Sumari.

Sumari mengungkapkan, perekonomian masyarakat Desa Titiwangi ada di sektor pertanian, perikanan, peternakan, dan industri kecil.

Di bidang industri kecil, Sumari mencontohkan tumbuhnya beberapa Usaha Mikro, Kecil, Menengah (UMKM) seperti industri keripik pisang, sale pisang, tempe, dan jamban. Sedangkan lembaga keuangan yang beraktivitas di Desa Titiwangi antara lain adalah lembaga ekonomi unit usaha desa, BUMDes, Samsat Desa Elektronik (E-Samdes), Galeri Investasi Desa, dan agen Laku Pandai.

Menurut Sumari, makin banyaknya pelaku usaha dan lembaga keuangan di Desa Titiwangi bisa meningkatkan perekonomian warga sehingga masyarakat desa pun menjadi sejahtera.

“Sebab UMKM-UMKM itu pasti membutuhkan tenaga kerja. Mereka tentu mencari tenaga kerja dari  warga sekitar, bukan orang jauh,” katanya.

Hal itu dibenarkan Yuli Asmara (41), pemilik UMKM keripik pisang “Rendra Utama” di Dusun Candi Rejo, Desa Titiwangi, Kecamatan Candipuro, Lampung Selatan.

Yuli Asmara mengaku, usaha keripik pisang Rendra Utama menghidupkan ekomoni warga sekitar. Menurut Yuli, pengeluarannya dalam satu bulan untuk gaji karyawannya berkisar Rp7 sampai Rp8 juta.

“Belum yang harian ya. Untuk pengupas pisang sehari bisa dapat Rp40 sampai Rp50 ribu,” jelas pemilik usaha keripik pisang Hendra Utama Yuli Asmara.

Sedangkan untuk bahan baku pisang yaitu pisang Ambon Menado selama ini masih tidak kesulitan, masih bisa di dapat di sekitar Lampung Selatan dan kabupaten lain.

“Kecuali lagi kosong ya, kalau lagi kosong kita datangkan pisang Kepok Menado dari Bengkulu,” jelasnya.

Yuli Asmara masih berharap mendapatkan bantuan berupa pinjaman lunak untuk membuat usahanya lebih besar lagi dengan menambah peralatannya.

“Kalau dapat bantuan pinjaman lunak saya ingin beli alat-alat penggoreng lagi. Selain itu kalau ada penyuluhan juga saya siap mengikutinya,” kata dia.

Naiknya harga minyak goreng juga berpengaruh bagi usahanya yang menggunakan minyak goreng sebagai bahan utamanya selain pisang.

“Harga minyak naik ya harga pisang kripik juga mengalami kenaikan sedikit,” katanya tapi enggan menyebutkan nilainya.

Kripik pisang Hendra Utama menghasilkan kripik pisang Kepok Ambon dasar, pengubahan rasa dikerjakan oleh mitranya yaitu Askha Jaya.

Di belakang tenpat usaha penggorengan pisang tampak tiga orang ibu yang tengah asyik mengupas pisang. Mereka rata-rata berusia diatas 50-an tahun. Salah seorang bernama Supinah (70),  nenek 5 cucu dan memiliki juga 15 buyut.

“Saya sudah enam tahun kerja di sini. Sehari bisa dapat minimal Rp30 ribu kalau saya mengupas pisang sebanyak 100 sisir pisang. Lumayan buat tambahan. Daripada menganggur di rumah,” kata Supinah yang tinggal berseberangan dengan tempatnya bekerja.

Dari Supinah juga teraslampung.com mendapat informasi kalau pemilik usaha kripik pisang itu menyisihkan penghasilannya untuk membangun mushola yang terletak di belakang tempat usahanya.

“Itu yang bangun bos, hampir jadi. Nantinya selain tempat salat warga, juga dipakai untu tempat belajar mengaji anak-anak,” kata Supinah.

Mas Alina Arifin/Teraslampung.com