Jawa dalam Pilkada di Lampung

Oyos Saroso H.N. Simbol suku tertentu sering dimanfaatkan dalam pilkada. Khamami, misalnya, memakai blangkon ketika akan maju sebagai calon kepala daerah di Kabupaten Mesuji, Lukman Hakim juga mengenakan pakaian khas Jawa saat berpasangan dengan Alzi...

Jawa dalam Pilkada di Lampung
Pentas wayang kulit semalam suntuk dengan dalang Ki Enthus Susmono di Dusun Wonijoyo, Desa Trimodadi, Kecamatan Abung Selatan, Kabupaten Lampung Utara, Sabtu malam (12/8//2017).

Oyos Saroso H.N.

Simbol suku tertentu sering dimanfaatkan dalam pilkada. Khamami, misalnya, memakai blangkon ketika akan maju sebagai calon kepala daerah di Kabupaten Mesuji, Lukman Hakim juga mengenakan pakaian khas Jawa saat berpasangan dengan Alzier Dianis Thabranie pada Pilgub Lampung 2014 lalu. Sementara itu, Anang Prihartoro mengenakan caping saat maju sebagai calon anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) pada Pemilu 2009.

Blangkon dan caping merupakan bahasa simbol, dipakai secara sadar untuk mengidentifikan diri. Memakai blangkon berarti mengidentifikasi sebagai orang Jawa. Mengenakan caping di kepala artinya mengidentifikasikan diri sebagai petani.

Begitulah simbol sering dipakai dalam politik — terutama pilkada– di Indonesia. Bentuknya tidak hanya benda (pakaian, alat) dengan maksud sebagai sarana mengidentifikan diri, tetapi juga dalam bentuk bentuk seni budaya.

Pemanfaatan seni budaya dalam pilkada tidak melulu dilakukan oleh orang yang menjadi bagian langsung dari pemilik budaya yang bersangkutam. Misalnya pentas wayang kulit,kuda lumping, reog, atau seni tradisi lainnya – tidak selalu dilakukan oleh pemilik budaya yang bersangkutan.Yang penting sasarannya adalah kelompok masyarakat pemilik budaya tertentu yang bisa ‘segera diambil simpatinya’ karena seni budaya nenek moyangnya disuguhkan kembali.

Itulah yang dilakukan Ridho Ficardo – Bachtiar Basri saat sosialisasi pencalonannya sebagai calon Gubernur Lampung dan calon Wakil Gubernur Lampung pada Pilgub Lampung 2014 lalu dengan menggelar pentas wayang kulit bersama dalang Ki Entus Susmono. Pentas wayang kulit digelar Ridho bersama Ki Entus di banyak daerah yang mayoritas penduduknya berasal dari etnis Jawa. Agar lebih menarik dan simpati lebih mengalir, anek hadiah disiapkan, mulai ternak hingga alat elektronik.

Diyakini, pemanfaatan kesenian wayang kulit dalam solialiasi bakal calon gubernur di Lampung dilakukan dengan pertimbangan banyak kantung masyarakat Jawa di Lampung. Hal itu sealur dengan data Badan Pusat Statistik (BPS) 2010 yang menyebutkan bahwa penduduk Provinsi Lampung berasal dari etnis Jawa komposisinya mencapai hampir 65 persen (dari total 7.581.948 jiwa).  Menurut data BPS 2010, sebanyak 55 persen penduduk Lampung memakai bahasa Jawa dalam komunikasi lisan (tutur) sehari-hari.

Maka itu, tidak heran jika setelah Ridho Ficardo sukses menggandeng Ki Entus dengan pentas wayang kulitnya menjelang Pilgub 2014, kini Arinal Djunaidi pun melakuan hal yang sama menjelang Pilgub Lampung 2018.

Dua kali pemanfaatan seni wayang sebagai cara untuk menyampaikan simpati dan meraih simpati sekaligus dukungan dalam dalam dua momen pilkada yang berbeda menunjukkan adanya kesadaran di kalangan politikus (atau penyandang dana) bahwa kebudayaan yang dimiliki kelompok masyarakat tertentu merupakan ‘jantung-hati’ atau titik lemah yang bisa ‘dirogoh’ sehingga simpati itu mengalir. Sejauh mana kebenaran sinyalemen ini tentu masih perlu peneletian lebih jauh.

Yang pasti, patut diyakini bahwa wayangan yang dilakukan Ridho Ficardo menjelang Pilgub 2014 sedikit-banyak telah membuatnya makin dikenal publik dan melalui proses panjang akhirnya ia memenangi Pilgub Lampung 2014 bersama dengan Bachtiar Basri.

Pemanfataan wayang oleh Ridho masih agak masuk akal karena Ridho memiliki darah Jawa (ayah Ridho asli Jawa, sementara ibunya asli Lampung).

Bagaimana dengan  pemanfaatan wayang kulit oleh Arinal Djunaidi? Jawabnya: Ya tetap oke-oke saja dan tidak perlu dicari masuk akal atau tidaknya. Yang penting masing-masing pihak saling diuntungkan. Warga terhibur, Arinal semakin dikenal dan popularitasnya terkerek (menurut hasil beberapa lembaga survei).

Pemanfatan kesenian Jawa dalam politik menjelang pilkada di Lampung menunjukkan bahwa citra diri bisa ditingkatkan dengan permainan seni tradisi. Manfaatnya barangkali sama dengan pemanfataan simbol budaya dan simbol agama.

Bedanya: pemanfataan seni tradisi biasanya dengan maksud untuk menyampaikan kepedulian terhadap budaya yang bersangkutan dan berbiaya mahal, sedangkan pemakaian simbol budaya dan simbol agama dimaksudkan untuk mengidentiikasikan diri dan memperkuat citra diri sehingga orang lain lebih terkesan sehingga bersimpati. Biayanya tentu saja jauh lebih merah. Ujung-ujungnya maksudnya tetap sama, yaitu untuk mendongkrak citra agar menangguk suara.

Pertanyaannya kemudian: seberapa efektifkah pemakaian seni budaya dan simbol-simbol budaya di zaman kekinian ini untuk menangguk suara dalam pilkada? Mengapa di zaman sentimen kesukuan mestinya meluruh atau melebur menjadi kesatuan Indonesia justru pemanfataan identitas suku yang dipakai?

Ketika saya masih belum bisa menjawab dua pertanyaan tersebut, tiba-tiba saya mendengar kabar Sekda Provinsi Lampung, Ir. Sutono, dipasangkan dengan Herman HN oleh Ketua DPP PDIP Megawati Soekarnoputri untuk maju pada Pilgub Lampung 2018. Alasannya, karena Sutono berprestasi. Tentu saya tidak percaya dengan alasan itu. Saya meyakini Sutono dipilih karena ia berdarah Jawa. Sama seperti Jarot dikirim ke Sumatera untuk ikut Pilgub karena Jarot orang Jawa.

Sejumlah pilkada di beberapa kabupaten dan kota di Lampung membuktikan bahwa orang Jawa tidak selalu memilih calon bersuku Jawa. Sebaliknya, banyak penduduk beretnis Jawa justru mendukung calon asli suku Lampung. Kalau pertimbangan memilih calon dalam pilkada di Lampung adalah asal-usul sukunya, maka orang beretnis Jawa akan selalu menang karena etnis Jawa di Lampung jumlahnya lebih dari 60 persen jumlah penduduk. Dan itu tentu saja tidak sehat untuk ‘metabolisme’ pembangunan di daerah.***