Istimewakah Din Minimi?
Cut Meutia “Siboek ngen Din Minimi dum. Troh bak aneuk manyak ciret komentar, aleh pu hom!” Dun Minimi dan Kepala BIN Sutiyoso (Foto: dok trenaceh.co) Kalimat tersebut adalah isi dari sebuah status di media sosial, milik seorang sahabat saya...
Cut Meutia
“Siboek ngen Din Minimi dum. Troh bak aneuk manyak ciret komentar, aleh pu hom!”
| Dun Minimi dan Kepala BIN Sutiyoso (Foto: dok trenaceh.co) |
Kalimat tersebut adalah isi dari sebuah status di media sosial, milik seorang sahabat saya. Menilik isi kalimat di atas, sepertinya sosok Din Minimi baginya adalah tidak begitu penting. Anggapan ini, sepertinya berbeda jauh dengan anggapan para tokoh, yang datang silih berganti menemui Din Minimi, pasca penjemputan dirinya oleh Sutiyoso.
Beberapa tokoh tersebut, di antaranya Irwandi Yusuf mantan Gubernur Aceh, Sudirman atau yang akrab disapa dengan Haji Uma, Sofyan Daud dan lain-lainnya. Saya juga tidak begitu paham apakah kunjungan mereka karena menganggap Din Minimi sebagai sosok yang sangat penting dan istimewa sehingga wajib selfi bersama Din Minimi? Atau, hanya sekedar ingin mengucapkan terimakasih karna Din Minimi telah mengakhiri aktifitasnya, yang membuat masyarakat resah. Entahlah! Yang pasti, Din Minimi adalah dua suku kata yang akhir-akhir ini kerap menghiasi media massa dan menghantui masyarakat Aceh, termasuk pikiran saya selama setahun terakhir.
Bahkan, saya pernah menjadi korban dari ulah Din Minimi. Rumah saya yang berada di Desa Limpoek, Darussalam, Aceh Besar, sempat digrebek oleh aparat keamanan, ketika itu demi mencari anak buahnya din Minimi yaitu Tgk Plang.
Sebenarnya, sosok Din Minimi di mata saya tidak jauh berbeda dengan apa yang dituliskan oleh teman saya di media sosialnya. Tidak begitu penting, apalagi dia telah membuat saya beradu tegang dengan aparat keamanan, beberapa bulan yang silam. Untuk apa kita terlalu sibuk berbicara tentang Din Minimi. “Mandum Pegah ke Din Minimi. Saya juga bingung, mandum tuleh dan komen ke Din Minimi. Bahkan saya juga ikut-ikutan menulis tentang dirinya, pu hom!”
Sahabat saya mungkin bingung, sama dengan kebingungan saya. Saya bingung, kenapa kita begitu disibukkan dengan sosok Din Minimi. Apanya yang istimewa dari sosok Din Minimi, apa karna berani membunuh, menculik, mengancam dan melakukan aksi kriminal lainnya?
Jika dikatakan istimewa akan tujuan pemberontakannya, maka saya akan bertambah bingung. Bukankah tuntutan yang diajukan oleh Din Minimi juga sering disuarakan oleh kelompok lainnya, seperti LSM, aktifis mahasiswa, parpol, pengamat politik dan kelompok-kelompok bentukan masyarakat lainnya. Kenapa mereka tidak dianggap istimewa dan hebat seperti Din Minimi?
Sebahagian pengamat mengatakan bahwa gerakan Din Minimi menjadi istimewa karna mendapat dukungan penuh dari masyarakat menengah ke bawah. Din Minimi disebut membawa aspirasi masyarakat yang merasa belum di sentuh dan diperlakukan adil oleh pemerintahan ZIKIR. Satu sisi anggapan ini bisa saja benar adanya, di sisi lain kita juga patut bertanya, jika Din Minimi mendapat tempat di hati rakyat, kenapa gerakannya hanya bertahan seumur jagung. Bukankah sebuah gerakan yang mendapat restu mutlak dari rakyat biasanya akan bertahan lama dan sulit untuk dipatahkan? Contoh paling dekat adalah Gerakan Aceh Merdeka yang diproklamirkan oleh Tgk Hasan Di Tiro.
Menurut teori dan falsafah perang warisan Carl von Clausewitz, rakyat adalah salah satu dari tiga elemen (The Paradoxical Trinity) dalam suatu negara yang sudah menjadi karakteristik dari perang atau suatu perlawanan. Tanpa dukungan penuh dari rakyat, sebuah perlawanan tak akan bertahan lama. Persis seperti perlawanannya Din Minimi. Berdasarkan teori tersebut saya berkeseimpulan bahwa dukungan masyarakat terhadap gerakan pemberontakan Din Minimi sangatlah minim. Sehingga kembalinya Din Minimi dalam dekapan Bang Yos adalah hal yang sangat melegakan bagi masyarakat Aceh.
Sejauh ini, kita patut mengucapan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada rakyat Aceh yang sudah berdiri tegak mempertahankan perdamaian Aceh. Kesadaran masyarakat untuk mempertahankan hal-hal yang bermanfaat bagi dirinya ternyata telah memotong langkah Din Minimi. Gramsci menyebutkan kesadaran seperti ini adalah kesadaran yang dimiliki oleh para intelektual organic, mereka adalah orang-orang yang berpartisipasi aktif dalam kehidupan masyarakat, paham dan mengerti seluk beluk serta kebutuhan masyarakat itu sendiri. Mereka paham bahwa yang mereka butuhkan saat ini bukan Din Minimi. Damai sepertinya masih menduduki rating tertinggi dalam pikiran masyarakat Aceh, dibandingkan perlawanan ala Din Minimi
Pertanyaan selanjutnya, akan kemanakah Din Minimi setelah turun gunung?
“Amnesti atau adili”?
Untuk menjawab dua pertanyaan besar tersebut, baiknya kita merujuk kembali kepada penjelasan saya di atas. “Jika pemberontakan Din Minimi didukung penuh oleh rakyat maka saat ini perlawanan itu belum masanya untuk tumbang.” Tumbangnya Din Minimi membuktikan bahwa dukungan rakyat sangatlah minim.
Minimnya dukungan rakyat terhadap gerakan Din Minimi menjadi jawaban tersendiri akan upaya hukum apa yang tepat untuk Din Minimi. Dan yang pasti, korban dari kebrutalan Din Minimi tidak akan serta merta menganggukkan kepala demi memaafkan tindakan Din Minimi. Jika sudah demikian apakah amnesti untuk Din Minimi menjadi jawaban??? Entahlah! Semuanya ada di tangan pemerintah. Semoga pemerintah bisa bijak dalam mengambil langkah dengan tetap mengedepankan kepentingan rakyat.
Ketika sayup-sayup Din Minimi mendengar kabar bahwa dirinya tidak akan mendapatkan amnesti, secepat angin pula dirinya mengeluarkan ancaman bahwa mereka akan kembali mengangkat senjata. Ancam mengancam sudah menjadi tabiat para pemberontak, dan itu hak mereka, layaknya hak presiden memberikan amnesti.
Namun Din Minimi hendaknya jeli melihat efek dari ancamannya tersebut, masih ber-ruh-kah ancaman tersebut, layaknya ruh ancaman ketika masa-masa Bang Yos masih intens menelfon Din Mini?
Hari ini kondisinyapun sudah berbeda. Dulu, Bang Din masih di hutan, sekarang sudah di kampung halaman. Sesadis apapun ancaman yang dikeluarkan oleh Din Minimi saat ini sepertinya tidak akan lagi menjadi kekuatan penuh, karena taringnya sudah berada dalam genggaman Bang Yos dan kukunya ada di tangan publik di Republik ini. Atau, istimewanya Din Minimi karena salah satu bagian dari korban main-mainnya kelompok yang ingin menggangu stabilitas keamanan Aceh dan hanya ingin mengusik pemerintahan Aceh yang sedang berada dalam genggaman Eks Kombatan?
Jika ini benar adanya, maka Din Minimi harus menelan pil pahit atas keluguan dirinya. Din Minimi mesti merenungi diri, bertanya pada hati nurani “siapa sebenarnya yang diperangi oleh Din Minimi, benarkah Din Minimi membawa aspirasi rakyat kecil, atau hanya sekedar berteriak dan melangkah tanpa tau asal muasal serta ujung pangkal dari apa yang dilakukannya selama ini?”
Sebagai penutup, saya sarankan kepada siapa saja yang ingin melakukan perlawanan, agar menyiapkan segalanya dengan matang, terutama tujuannya dan juga persiapan untuk mendapat dukungan dari masyarakat dan para intelektual. Tanpa mereka di belakang kita maka perlawanan akan berjalan di tempat. Jangan sampai sejarah Din Minimi terulang kembali, lebih tepatnya saya sebutkan saja “sejarah pedang yang memenggal leher siempunya pedang.” Wallahualam.
*Cut Meutia (Pucoek Cut) adalah Ibu Rumah Tangga, Tinggal di Limpoek, Aceh
sumber: acehtrend.co



