Ini Jawaban Butet Kertaredjasa Terkait Puja-Puji tentang Freeport
Butet Kertaredjasa (Foto: Malmos) TERASLAMPUNG.COM–Aktor Teater Gandrik, Butet Kartaredjasa (54), dalam dua hari terakhir menjadi sasaran kritik dan caci maki para netizen terrkait dengan puja-pujinya terhadap PT Freeport. Puja-puja it...
| Butet Kertaredjasa (Foto: Malmos) |
TERASLAMPUNG.COM–Aktor Teater Gandrik, Butet Kartaredjasa (54), dalam dua hari terakhir menjadi sasaran kritik dan caci maki para netizen terrkait dengan puja-pujinya terhadap PT Freeport. Puja-puja itu menjadi gegeran dan mencptakan viral di media sosial karena diunggah oleh saluran resmi PT Freeport di Youtube.
Selain kalangan seniman, protes keras juga dilancaran para aktitvis lingkungan. (SIMAK: Soal Puja-Puji Freeport, Kami Mengutuk Keras Butet Kertaredjasa).
Menanggapi protes tersebut, Butet mengatakan video itu bukanlah berbayar atau iklan. Ia memang mengucapkan kata-kata seperti yang ada dalam video Youtube. yang dengan mudah bisa ditafsirkan sebagai dukungannya kepada Freeport.
Menurut Butet, pada Desember 2015 ia bersama rekannya, cerpenis dan penulis lakon Agus Noor, dan pemusik yang juga adik Butet, Djaduk Ferianto, berkunjung ke Timika, Papua. Ketika itu ia memang memenuhi undangan PT Freeport di Timika sekaligus mencari pemusik-pemusik setempat untuk mereka ajak tampil bersama dalam pergelaran Jazz Gunung 2016 di kawasan Bromo, Jawa Timur.
“Kami (Butet dan Djaduk) Desember kemarin (2015) sama Agus Noor. Kami kan punya program lain, Jazz Gunung. Djaduk itu punya keinginan kolaborasi sama orang-orang Papua. Saya ke Timika untuk penuhi undangan sambil cari seniman lokal untuk kolaborasi Agustus besok (2016),” kata Butet, seperti dilansir Kompas.com, Minggu (24/1/2016).
Menurut Butet, perjalanan di Timika biasa, diajak ke pertambangan di atas. Di sana dia, Djaduk dan Agus Noor bertemu para.
“Yang digali itu bukan gunung yang subur. Di ketinggan 4.000 meter itu ternyata enggak ada tanaman yang tumbuh, cuma tanaman perdu dan rumput. Orang-orang Freeport jelaskan, satu ton pasir yang dikeruk menghasilkan satu gram emas. Lalu, sisanya ke mana? Saya tanya gitu. Nanti dibawa ke Timika, di mana pasir-pasir yang tidak subur itu jadi produktif,” tuturnya.
“Setelah itu, kami dibawa ke tanah dan itu membuat saya gumun (kagum). Limbah tanah yang tadi diolah, dihamparkan di cekungan, 230 hektar. Melalui suatu teknologi, tanah yang semula pasir dan tak ada unsur hara itu bisa ditumbuhi pohon. Kami bertiga juga diminta tanam pohon di situ,” kisahnya lagi.
Menurut Butet, sesudah mendapat pengalaman tersebut, ia menyampaikan kekagumannya dalam video yang dibuat oleh PT Freeport Indonesia dan diunggah oleh perusahaan tersebut ke YouTube.
“Saat itulah saya dimintai pendapat. Jadi, itu dicopot konteksnya. Itu spontanitas saya saja, karena rasa gumun. Itu model pertambangan untuk alam karena pengolahan teknologi tadi. Itu semacam ekspresi rasa gumun itu. Ketika dia berdiri sendiri, jadi beda,” jelasnya.
Karena pernyataannya dalam video itu, oleh sejumlah netizen pada media sosial Facebook Butet diprotes, dinilai mendukung PT Freeport Indonesia.
“Saya dihujat, katanya saya dibayar. Ya, enggak lah. Tapi, kalau dihujat, ya risiko itu memang dinamikanya. Ya sudah, apa yang saya lakukan dan saya yakini tidak salah. Secara konteksnya benar, ya sudah,” katanya.
Menurut Butet pula, melihat respon tersebut, PT Freeport Indonesia kemudian memutuskan untuk menghapus video tersebut dari YouTube.
“Makanya, sekarang sama Freeport upload di YouTube ditarik. Sebenarnya saya tidak protes sama Freeport. Cuma, itu karena mereka sungkan. ‘Kok, akibatnya begini, Mas’,” ujarnya.
Butet merasa bahwa kejadian itu bisa menjadi pelajaran bagi dirinya.
“Saya enggak ada masalah, saya enggak ingin jadi pengecut. Kalau harus berpendapat, ya berpendapat. Tapi, ini proses pembelajaran untuk saya. Saya mesti hati-hati memilih kata yang tepat,” ujarnya.
Sementara itu, kepada tempo.co , Butet mengaku video itu hanya sebuah testimoni atas apa yang telah dilihatnya di kawasan tambang Freeport dalam kunjungannya pada Desember 2015. “Konteks omongan saya adalah apa yang saya lihat telah dilakukan Freeport untuk revitalisasi atau reboisasi lingkungan,” katanya.
Menurut Butet, testimoni itu sama sekali tidak bermuatan politis. “Omongan saya itu sudah pasti tidak menggambarkan kondisi seluruhnya yang ada di Timika atau Papua.”
Dalam video berdurasi 45 detik itu, Butet berujar, “Setelah melihat dari atas, dari Grasberg, tambang bawah tanah, dan kemudian di sini, saya melihat bagaimana satu siklus produksi yang sangat concern pada alam dan lingkungan. Ada tanggung jawab untuk mengembalikan apa yang diambil dari alam untuk dikembalikan kepada alam.”
Di akhir video, Butet menyebut operasi Freeport adalah “satu model pertambangan yang memperlihatkan keberadaban manusia”.
Video tersebut pertama kali tayang di channel YouTube PT Freeport Indonesia. Butet pun panen kritik. “Freeport sendiri jadi pakewuh sama saya dan menarik video itu,” tutur Butet.
Toh, video Butet itu sudah tersebar. Beberapa akun telah memunggah ulang video itu di YouTube. Selain itu, video tersebut banyak dibagikan melalui jejaring sosial dan fasilitas chatting.
“Ya, ini pelajaran buat saya agar lebih hati-hati kalau ngomong,” tuturnya.
Sumber: Kompas.com/tempo.co



