Guru, Ikhlas Menyediakan Diri Sebagai Jembatan Generasi
Oleh: Sudjarwo Guru Besar Ilmu-Ilmu Sosial di FKIP Unila Beberapa waktu lalu saat menghadiri undangan rapat di salah satu program studi doktor pada perguruan tinggi terkenal di daerah ini untuk membahas revisi kurikulumnya, saya menjumpai keadaan yan...

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Ilmu-Ilmu Sosial di FKIP Unila
Beberapa waktu lalu saat menghadiri undangan rapat di salah satu program studi doktor pada perguruan tinggi terkenal di daerah ini untuk membahas revisi kurikulumnya, saya menjumpai keadaan yang sedikit mengejutkan. Banyak guru besar yang diundang, tetapi banyak yang tidak hadir karena berhalangan. Acara menjadi sedikit terganggu, karena dialog dialog kritis tidak terjad. Yang terjadi justru anya curah pendapat, kristalisasi pendapat, dan penulisan pendapat. Rapat dianggap selesai dan persiapan artifisial akademik berupa power point tidak bersemangat untuk ditayangkan. Cukup dijadikan referensi ketua program manakala menghadapi asesor kelak dikemudian pada waktunya.
Usai dari ruangan rapat itu, terbersit dalam pikiran: ternyata jika kita cermati susunan atau tata urut matakuliah atau mata ajar itu adalah seperti bilah-bilah jembatan yang harus dilalui oleh peserta ajar untuk mencapai tujuan pembalajarannya. Bilah-bilah itu ditopang, bahkan dipikul, oleh mereka yang berpredikat guru. Dari guru TK sampai guru di perguruan tinggi. Sehingga, jembatan itu layak disebut sebagai “Jembatan Generasi”.
Risiko sebagai jembatan setelah dilalui oleh apa pun dan siapa pun adalah “berlalu” dan “siap dilupakan”. Oleh karena itu, sebagai jembatan tidak perlu sakit hati atau merasa paling berjasa, karena sudah menyeberangkan banyak makhluk, kemudian dilupakan, atau paling maksimal hanya dikenang. Hal ini disebabkan tugas jembatan secara hakiki memang untuk dilalui atau memudahkan orang menyeberang. Tidak jarang, orang setelah meniti jembatan dan sampai ke seberang, menoleh pun tidak. Jika toh ada yang balik kanan kemudian membungkuk memberi hormat, mungkin itu sangat langka dan jika terjadi bisa-bisa dianggap perilaku tidak umum.
Beberapa waktu lalu ada celotehan seorang guru sekolah menengah yang viral di media masa berkenaan dengan dua peristiwa yang berpangkal sama, namun berakhir beda. Ia mengaku bertemu muridnya yang dulu pandai di kelas saat ia menjadi walikelasnya. Begitu sang murid menjadi dokter dan sang mantan wali kelas itu berjumpa dengan mantan murid pintar itu, si mantan murid tidak mengenal sama sekali guru yang semula membanggakan sang murid itu.
Pada waktu yang berbeda, sang guru dibuat takjub dengan mantan siswa lainnya saat sepeda motornya mogok di jalan. Begitu melihat mantan gurunya terlihat kesusahan di jalan, mantan murid yang dulu saat sekolah dikenal badung itu langsung membantu mantan gurunya. Sang guru pun menyimpulkan bahwa keceradasan akademik tidak identik atau selamanya beriring dengan kecerdasan sosial.
Peristiwa di atas jika dimasukkan dalam sistem berpikir keIlmuan, kecerdasan akademik seseorang tidak serta merta beriring perkembangannya dengan kecerdasan sosial. Bahkan bisa jadi berbanding terbalik. Memang idealnya kecerdasan akademik sebangun dengan kecerdasan sosial. Namun untuk yang satu ini merupakan bahan langka untuk saat ini.
Berdasarkan penelusuran ditemukan bahwa kecerdasan akademik itu didominasi oleh keberhasilan transformasi yang dilakukan oleh pendidik kepada peserta didik berkaitan dengan materi ajar. Sementara kecerdasan sosial didominasi oleh keberhasilan transformasi yang dilakukan pendidik kepada peserta didik berkaitan dengan nilai nilai kehidupan. Menjadi persoalan jika semua materi bahan ajar yang ditransformasikan sudah mengandung unsur keduanya dapat ditangkap secara utuh oleh peserta didik. Bisa saja terjadi diversifikasi penangkapan, sehingga berakibat perbedaan perkembangan kepribadian mereka kelak di kemudian hari.
Menjadi persoalan jika penangkapan esensi tidak sempurna atau tidak berimbang, maka terjadilah kejadian seperti pengalaman Pendidik di atas. Dengan kata lain, fenomena yang muncul dari suatu perilaku peserta didik adalah hasil pengalaman panjang dirinya dalam berinterekasi antara dirinya dengan lingkungan. Di dalam lingkungan itu ada pendidik, perangkat pendidikan, termasuk kurikulum, dan semua perangkat sistem penyelenggaraan pendidikan.
Makin tinggi jenjang keilmuan ditempuh, maka penguasaan filosofis menjadi esensi, bukan lagi penguasaan teknis. Di sini peserta didik perlu pendampingan oleh seorang atau beberapa orang yang berkualifikasi guru besar dalam menumbuhkembangkan kematangan kepribadian sekaligus kedewasaan berpikir sampai pada tingkat tertinggi. Fungsi pendamping tentunya hanya mengkondisikan sehingga terjadi proses transformasi. Selanjutnya dilepas untuk mandiri.
Semoga menjelang tahun ajaran baru ini memberikan pemahaman kepada penyelenggara pendidikan akan tugas dan fungsi sebagai Jembatan Generasi; dengan demikian diharapkan generasi masa depan akan menjadi lebih baik lagi.
Selamat ngopi di Jumat pagi….