Ginta: Proyek Jalan Tol Trans Sumatera Seharusnya Pakai Material Lokal

“Lampung tidak mendapatkan apa-apa dari Jalan Tol Trans Sumatera. Orang Lampung hanya akan jadi penonton” Ginta Wirsasenjaya BANDARLAMPUNG, Teraslampung.com—Ginta Wiryasenjaya dari Asosiasi Batu Belah mengatakan untuk pengerjaan pembanguna...

Ginta: Proyek Jalan Tol Trans Sumatera Seharusnya Pakai Material Lokal

“Lampung tidak mendapatkan apa-apa dari Jalan Tol Trans Sumatera. Orang Lampung hanya akan jadi penonton”

Ginta Wirsasenjaya

BANDARLAMPUNG, Teraslampung.com—Ginta Wiryasenjaya dari Asosiasi Batu Belah mengatakan untuk pengerjaan pembangunan Jalan Tol Trans Sumatera (JTTS), kontraktor lokal Lampung hanya sebagai supplier atau subkontrak saja untuk pengadaan readymix (beton), yakni pengadaan batu coran , beton dan besi. Sementara itu, untuk pasokan asal belum tahu dari mana.

“Saya berharap soal pasokan  aspal berasal dari pengusaha lokal Lampung juga ,” kata Ginta, beberapa hari lalu.

Untuk konstruksi, kata Ginta, pengusaha lokal sama sekali  tidak dilibatkan dan  sepenuhnya dikerjakan oleh BUMN, yakni Waskita Karya, Adhi Karya, Wijaya Karya, dan PT PP (Persero) Tbk.

“Untuk pembangunan jalan tol sepenuhnya dikerjakan oleh BUMN di antaranya Waskita Karya untuk ruas Bakauheni hinga Sabah Balau, Adhi Karya dan Wijaya Karya  untuk ruas  Metro hingga Terbaggi Besar,” jelasnya.

Ginta menyayangkan pasokan semen yng akan didatangkan dari Jawa, yakni PT Semen Tiga Roda. Padahal, di Sumatera Selatan ada pabrik semen Baturaja.

“Bila mengambil dari semen Baturaja otomatis melibatkan masyarakat setempat. Saya berharap, proyek JTTS  memanfaatkan semen lokal saja (semen Baturaja, semen Padang, dan Holchim) yang akan mempekerjakan tenaga kerja dari Lampung sehingga sektor informal akan terbantu,” katanya.

Selain itu, jelas Ginta, ada beberapa kendala dalam pengadaan subkontrak ini, seperti soal biaya transportasi tinggi. Dia mencontohkan soal batu yang bagus kualitasnya adalah batu yang berasal
dari Lampung Selatan yang harus diangkut ke Lampung Tengah karena kualitas batu di sana kurang bagus.

“Ini memerlukan ongkos transportasi tinggi ,” katanya.

Ginta berharap  BUMN  atau konsorsium mengajukan ke asosiasi berapa jumlah kebutuhan untuk material batu belah  3 bulan sebelumnya. Misalnya saja, kami menyiapkan batu belah 1: 2 sedangkan tahun 2016 memerlukan batu belah 2 : 3.

Dengan adanya pengajuan 3 bulan sebelumnya, kata Ginta.  maka  bahan baku batu belah tidak akan kurang. Bila kekurangan material maka roses  pembangunan akan terganggu.

“Dan bila berhenti batu coran akan patah tidak bisa membuat readymix,” katanya.

Sementara itu, soal pendanaan dilakukan oleh BUMN semua. Namun , sangat disayangkan soal lamanya waktu pembayaran  hingga 180 hari atau 6 bulan baru bisa dicairkan. Hal ini menjadikan beberapa kontraktor mundur dari proyeknya karena mereka hanya menyiapkan casflow dua bulan saja, sementara itu dana dari BUMN baru tiga bulan kemudian cari.

“Harusnya kontraktor tahu dengan baik  tentang pendanaan BUMN. Dan pihak perbankan seharusnya memberikan edukasi tentang “anjak piutang”. Karena teman-teman kontraktor tidak banyak yang tahu tentang hal ini ada  yang tidak memperpanjang kontraknya,” ujarnya.

Menurut Ginta,  konsep pembangunan jalan tol JTTS ini telah lama dilontarkan yaitu sejak 2009 di Bappenas, Depdagri dan Dirjen Perkeretaapian Kemenhub. Awalnya proses pembebasan lahan dilakukan dengan obligasi daerah, tetapi sekarang menjadi urusan pusat.

Ginta mengatakan, dalam hal ini Lampung tidak mendapatkan keuntungan dengan adanya jalan tol tersebut. Sebab, Pemerintah Provinsi Lampung tidak punya saham dan tidak mendapatkan PAD dari jalan tersebut.

“Saya berharap agar Lampung jangan hanya menjadi penonton saja. Karena dengan dibelinya lahan oleh pemerintah pusat, maka tanah akan menjadi milik dan dikelola oleh negara  dan biasanya warga Lampung akan bertindak konsumtif dengan membeli mobil, rumah, dari uang hasil penjualan tanah . Uang pun langsung habis. Hal  ini jangan sampai terjadi,” katanya.

Ginta mengatakan, orang Lampung harus belajar dari orang-orang Betawi  di Jakarta yang tanahnya habis karena dijual pada orang di luar Jakarta.

Ginta mencontohkan dirinya yang pernah menolak menjual tanahnya kepada orang luar Lampung.

“Saya tidak ingin orang luar Lampung banyak memiliki tanah di sini dengan alasan investasi.Mungkin dengan sistem BOT (Build  on  Transfer) bisa dilakukan artinya  setelah masa sewa habis lalu dikembalikan pada pemiliknya seluruh aset  dan gedung,” tandasnya.

Mas Alina Arifin