Gerhana Hukum Kita

Fathoni* BESOK (09/03), para ahli ilmu astronomi memprediksi terjadinya gerhana matahari total. Yakni suatu keadaan saat bumi, bulan, dan matahari berada di satu garis lurus, sehingga bayangan bulan menutupi bumi pada siang hari.  Secara...

Gerhana Hukum Kita

Fathoni*

BESOK (09/03), para ahli ilmu astronomi memprediksi terjadinya gerhana matahari total. Yakni suatu keadaan saat bumi, bulan, dan matahari berada di satu garis lurus, sehingga bayangan bulan menutupi bumi pada siang hari. 

Secara ilmiah, ini kejadian lumrah, karena dalam setahun diperkirakan terjadi empat kali gerhana matahari di seluruh muka bumi. Istimewanya, gerhana matahari total yang akan terjadi pada  Rabu besok adalah gerhana yang terjadi setiap 375 tahun sekali, yaitu orde di saat gerhana matahari dapat dilihat di titik yang sama. Kali ini, jalur lintasannya ada di Indonesia, mulai dari Sumatera hingga Ternate.
Gerhana menurut Mitologi Jawa adalah saat Batara Kala Menggenggam Dewa Surya (Matahari) dan Dewi Candra (Bulan). Gerhana bermakna negatif sebagai “kegelapan”, yang secara filosofis dimaknai sebagai “ketiadaan cahaya”, atau “terhalangnya cahaya”. 
Matahari adalah lambang cahaya, sedangkan cahaya adalah perlambang “kebenaran”. Kegelapan adalah lambang “keburukan”, dan kita diajarkan untuk berlindung kepada Tuhan dari kegelapan. Di dalam kegelapan, segala keburukan mungkin terjadi. 
Lalu, apa kaitannya dengan judul “Gerhana Hukum Kita”? Hukum adalah lambang keteraturan. Hukum peredaran matahari dan bulan adalah contohnya. Hukum itu keajegan. Aturan yang didesain agar sesuai dengan fitrah kemanusiaan. Hukum yang disusun tanpa memperhatikan tata nilai keajegan norma yang dianut masyarakat menjadi tidak dapat diterima. Diponeering, misalnya, tentu bertentangan dengan keajegan Hukum Acara Pidana. Rekomendasi Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN), misalnya, secara logika bertentangan dengan semangat otonomi daerah.
Pasti Tuhan tidak sedang iseng merancang “Gerhana Matahari Total” yang tahun ini diprediksi hanya akan bisa diamati dari Indonesia. Tuhan tentu telah mengatur segala peristiwa dengan presisi. Percaya atau tidak, banyak peneliti yang datang dari negeri jauh “hanya” untuk mengamati fenomena alam langka ini. 
Banyak keriuhan bertajuk “Festival Gerhana” digelar, mudah-mudahan tidak melupakan esensi gerhana yang sejati sebagai bentuk “sapaan Tuhan”. “Gerhana Hukum Kita” hanya metafor saja untuk mengambarkan kondisi hukum di negara ini. Saat hukum sebagai lambang keajegan menemukan anomali di negeri ini. Banyaknya lembaga penegak hukum tidak serta merta memperkecil peluang pelanggaran hukum. Dibentuk lembaga antikorupsi, justru korupsi makin meluap. Disusun hukum tentang otonomi daerah, namun pemerintahan justru terpolarisasi menjadi kartel politik. Jabatan yang sejatinya merupakan amanah berat justru menjadi objek “job seekers”. Seperti kita membuat tanggul anti banjir, tapi banjir justru makin bandang.
Bagaimanapun, gerhana adalah momentum. Hukum yang mengalami masa kegelapan tentu tidak bisa diterima begitu saja sebagai sesuatu yang lumrah. Barangkali, kita tidak bisa bertindak seperti Batara Kala yang mampu menelan matahari. 
Kita juga tentu tidak bisa menyorong rembulan agar tidak menutupi cahaya matahari. Kita bisa mengajukan banyak metafor untuk menggambarkan gerhana ini: Pembangunan adalah cahaya, namun kerusakan lingkungan adalah kegelapan. Demokrasi adalah Matahari, tetapi kelicikan politik uang adalah gerhananya. 
Keteraturan lalu lintas adalah cahaya di setiap seyum masyarakat, kemacetan adalah sisi gelapnya. Sungai yang bersih adalah cahaya, sedangkan limbah dan pendangkalan penyebab banjir adalah kegelapan. Naiknya tingkat ekonomi adalah matahari, sedangkan kemiskinan adalah gerhana gelapnya. Dan kita bisa mengajukan beratus metafor lain.
Kegelapan tentu bukan hanya perlambang keburukan. Malam, misalnya, dirancang Tuhan agar pejam mata menjadi sempurna. Malam bukanlah keburukan. Ia bukan antagonis dari siang. Keduanya punya fungsi yang sama-sama mulia. Seperti kemiskinan, tentu ia tidak selalu keburukan. Terkadang ia adalah sebuah pilihan hidup. 

Tentu ini bukan sekadar fatalisme, bahkan mungkin ini adalah sebuah optimisme terbesar dalam hidup. Bahwa pagi pasti akan menggantikan malam. Bahwa gerhana matahari hanya terjadi sebentar. Bahwa kegelapan hukum kita suatu hari akan menjadi pagi. Lalu bangsa ini bisa membangun lagi kebudayaan sekelas Atlantis dan Lemuria. Kebudayaan agung sekelas Sriwijaya, Majapahit, Mataram, dan Demak.***

* Fathoni, pegiat Filsafat Jati Diri, Fakultas Hukum Unila. Tulisan ini juga dimuat di pojoksamber.com