Analogi Sederhana Dalam Polemik Dana Hibah Pilkada KPU Lampung Utara

Oleh: Feaby Handana Komisi Pemilihan Umum (KPU) Lampung Utara sepertinya sedang bermain api. Api yang bisa saja membakar mereka di masa mendatang. Api itu pulalah yang menimbulkan kontroversi di masyarakat. Bara api bermula dari kebijakan belanja pem...

Analogi Sederhana Dalam Polemik Dana Hibah Pilkada KPU Lampung Utara

Oleh: Feaby Handana

Komisi Pemilihan Umum (KPU) Lampung Utara sepertinya sedang bermain api. Api yang bisa saja membakar mereka di masa mendatang. Api itu pulalah yang menimbulkan kontroversi di masyarakat.

Bara api bermula dari kebijakan belanja pemeliharaan gedung dan bangunan, dan belanja modal peralatan mesin. Belanja-belanja itu diklaim mereka diperlukan untuk mendukung pelaksanaan Pilkada. Dengan kata lain, masih dilakukan dalam tahapan Pilkada. Total ketiga belanja yang menggunakan uang rakyat Lampung Utara ini sendiri nyaris menyentuh angka Rp1 miliar.

Belanja modal ini jugalah yang disoal oleh publik. Sebab, belanja modal itu dianggap dilakukan setelah tahapan Pilkada usai. Sesuai jadwal tahapan dari KPU RI, tahapan Pilkada dianggap berakhir setelah tahapan pengusulan pengesahan pengangkatan calon kepala daerah terpilih dilakukan.

Di Lampung Utara, tahapan pengusulan pengesahan pengangkatan calon kepala daerah terpilih dilakukan pada tanggal 9 Januari 2025. Dengan demikian, seluruh tahapan Pilkada Lampung Utara dapat dikatakan berakhir pada tanggal tersebut. Artinya, di atas tanggal tersebut, kegiatan yang dilakukan tak lagi dapat dianggap dalam tahapan Pilkada.

Seluruh dana hibah yang masih tersisa sepertinya wajib dikembalikan. Sebab, per tanggal tersebut, sepertinya dana yang tersisa tak lagi dapat digunakan. Pengembalian sisa dana itu diatur dalam pasal 17 ayat 8 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 41 Tahun 2020.

Sayangnya, yang terjadi tidak demikian. Pelaksanaan ketiga belanja modal itu justru dilakukan pada sekitar bulan Januari-Februari 2025 alias dilakukan setelah tahapan Pilkada berakhir.

Di samping menyoal hal di atas, publik juga menilai, belanja modal khususnya pemeliharaan gedung dan bangunan (rehabilitasi ruang komisioner dan halaman kantor KPU) dianggap sama sekali tidak ada kaitannya dengan Pilkada.

Baik atau buruknya kondisi ruang komisioner dan halaman kantor KPU tidak akan pernah dapat mempengaruhi jalannya pelaksanaan Pilkada. Dan, pemikiran mereka terbukti benar. Tanpa rehabilitasi tersebut pun, Pilkada Lampung Utara ternyata lancar-lancar saja tanpa kendala.

Dengan pemikiran tersebut, tak salah rasanya jika pikiran-pikiran liar mulai memenuhi isi kepala mereka. Jangan-jangan ada udang di balik batu. Spekulasi liar pun mereka kian menjadi. Saat membaca pernyataan Kepala Biro Keuangan Sekretariat Jenderal KPU RI (saat ini menjabat sebagai Inspektur utama KPU RI), Nanang Priyatna pada tahun 2016 lalu.

Kala itu, Nanang mengatakan bahwa penggunaan dana hibah langsung berbentuk uang dalam pilkada tidak dapat digunakan untuk belanja modal. Karena sesuai aturan, dana tersebut hanya dapat digunakan untuk belanja barang.

Pemikiran kritis yang cenderung liar publik tentu tidak dapat disalahkan. Sebab, Lampung Utara pernah memiliki sejarah kelam dengan urusan korupsi pada tahun 2019 silam. Kasus ini jugalah yang menjungkalkan Bupati Agung Ilmu Mangkunegara dari singgasananya di periode kedua kepemimpinannya. Kala itu, Agung disebut-sebut menerima setoran proyek dengan total sekitar Rp63 miliar.

KPU Lampung Utara bukannya tak berupaya untuk meluruskan persoalan ini kepada publik. Penjelasan telah sesuai ketentuan telah berulang kali disampaikan. Sebab, menurut mereka, apa yang dilakukan ini telah disetujui oleh pemkab selaku empunya dana.

Klaim persetujuan itu pun merujuk pada aturan yang ada. Sesuai aturan, rencana perubahan penggunaan anggaran hibah KPU dianggap disetujui oleh pemkab jika usulan perubahan itu tak direspons dalam waktu tujuh hari sejak usulan diterima. Pemkab melakukan hal itu terhadap usulan mereka.

Sah-sah saja KPU menyampaikan bantahan dan kebenaran versi mereka. Namun, analogi sederhananya dalam persoalan ini ibarat seorang pelaksana kegiatan atau event organizer.

Seorang EO wajib mengembalikan sisa dana kepada kliennya sesuai dengan ketentuan yang telah disepakati dalam kontrak atau perjanjian yang berlaku. Bukannya justru mengutak-atik sisa dana agar dapat dimanfaatkan di luar kegiatan yang telah disepakati.

Jika hal itu dilakukan, niscaya EO tersebut akan ditinggal oleh para kliennya di masa mendatang. Tak hanya itu, bisa jadi EO itu akan bermasalah dengan persoalan hukum jika kliennya merasa dirugikan dan memilih jalur hukum.

Kendati demikian, terlalu dini jika kita semua berkesimpulan bahwa ada pelanggaran hukum dalam polemik dana hibah Pilkada kali ini. Selagi belum ada putusan pengadilan, semuanya masih bersifat praduga. Yang terpenting dalam persoalan ini, KPU Lampung Utara dapat mengambil hikmah di balik persoalan ini. Hindari kebijakan-kebijakan serupa yang akan memicu reaksi publik di masa mendatang. Hindari kebijakan yang dapat mencederai perasaan publik. Dengan begitu, tak akan ada lagi kebijakan yang mengundang kontroversi yang hanya membuang-buang energi dan waktu di masa mendatang.****

Feaby Handana, jurnalis Teraslampung.com