Yulianti, Guru-Relawan Pulau Pahawang
Firman Seponada Bu Guru Yulianti mengajar siswanya menanam pohon mangrove. (Foto dok ulunlampung.blogspot.com) Yulianti bukan guru biasa. Perempuan kelahiran Tanjungkarang, 17 Juli 1974 ini, rela meninggalkan kehidupan kota yang serba...
Firman Seponada
| Bu Guru Yulianti mengajar siswanya menanam pohon mangrove. (Foto dok ulunlampung.blogspot.com) |
Yulianti bukan guru biasa. Perempuan kelahiran
Tanjungkarang, 17 Juli 1974 ini, rela meninggalkan kehidupan kota yang serba
mudah. Dia malah memilih mengabdikan diri di sebuah pulau terpencil: Pahawang.
Ini pulau kecil berpenghuni warga hasil pembauran suku Lampung dan Bugis.
Untuk mencapai desa pulau itu butuh waktu sekitar 20 menit.
Itu kalau naik speed boat dari dermaga Desa Ketapang, Kecamatan Punduh Pidada,
Kabupaten Pesawaran, Lampung. Sedangkan andai naik perahu motor dari dermaga
Gudang Lelang, Telukbetung, Bandar Lampung, harus menghabiskan waktu 2,5 jam.
Terbelakang, miskin, dan kumuh. Begitulah gambaran umum
kehidupan masyarakat di Desa Pulau Pahawang. Kenyataan itu pula yang mendorong
Mitra Bentala pada tahun 2001 mengirim Yulianti, seorang akivisnya, mendampingi
warga di sana.
LSM lingkungan yang fokus pada isu pesisir itu memilih
aktivis perempuannya menetap di pulau itu memang pilihan tepat. Maklum, sekitar
1.664 jiwa penduduk desa ini, 60 persen di antaranya kaum hawa.
Sejak itu Yulianti mengorganisasi masyarakat. Forum-forum
diskusi dihidupkan untuk membahas dan mencari jalan keluar berbagai
permasalahan yang dihadapi warga.
Mbak Iyung, begitu Yulianti disapa, sedih melihat
keterbelakangan warga Desa Pulau Pahawang. Baik dari sisi ekonomi maupun
pendidikan. Dia tergerak membantu. Tetapi, kepada warga dia selalu menekankan
perubahan hanya mungkin dilakukan oleh warga sendiri. LSM hanyalah jembatan
antara warga, pemerintah, dan donator.
Kecintaan Iyung kepada Pulau Pahawang begitu besar. Sehingga,
dia betah tinggal di sana, di pulau yang jauh dari keramaian, tiada listrik dan
sarana hiburan. Dia juga memutuskan menikah dengan Suryadi, pemuda desa itu,
untuk membuatnya makin terikat pada kehidupan warga Pulau Pahawang. Kini, Iyung
dan Suryadi dikaruniai anak perempuan yang cantik, Fathiya Rizqi Suryadi.
Di pulau terpencil itu, Iyung sungguh-sungguh total
mengabdikan dirinya. Dia tidak hanya gigih mengampanyekan perlunya menjaga
kelestarian pulau itu, tetapi juga terjun menjadi guru bagi anak-anak di sana.
Dia bersama warga kemudian mendirikan sebuah SD dengan fasilitas seadanya. Yang
penting ada tempat belajar baca-tulis bagi anak-anak pulau itu. Iyung mengajar
di SD kurang fasilitas itu, tanpa digaji! Tetapi dia gembira melakoninya karena
punya mimpi mampu mencetak insan bermutu dari jerih payahnya.
Jebolan Politeknik Universitas Lampung Jurusan Perkebunan
tahun 1994 ini, cakap mengajar murid-muridnya. Tetapi, bekal pendidikan formal
dan kemampuan mendidik itu dianggap pemerintah belum cukup sebagai syarat
mengangkat dia menjadi guru PNS.
Maka, Iyung kemudian mengambil Akta IV jurusan Biologi di
Universitas Lampung. Dia selesaikan program formal kompetensi mengajar itu
tahun 2006. Setahun dari itu dia diangkat menjadi PNS, setelah berjuang enam
tahun lebih menjadi relawan guru di pulau terpencil.
Atas perjuangan Yulianti dan warga, pemerintah memutuskan
membangun SMP Terbuka Pahawang. Ini untuk menampung jebolan SD Pulau Pahawang.
Lagi-lagi, Yulianti yang harus mengajar di sekolah itu. Tetapi Iyung tidak
sendirian lagi mengajar. Sebab, sudah ada beberapa warga dan guru kiriman
pemerintah mengawaninya membikin pandai anak-anak di sana.
Sebagai guru, Iyung menanamkan kebiasaan positif kepada
siswanya. Anak-anak lebih mudah menerima masukan ketimbang orang dewasa, begitu
keyakinan Iyung. Di antaranya dengan melibatkan para pelajar SD dalam aksi
penanaman kembali bakau di Pulau Pahawang.
Dua minggu sekali Yulianti membawa siswanya yang kelas 4
sampai 6, ke pantai. Para bocah ini dilatih mencintai lingkungan, dengan
menanam bibit bakau. Ini untuk menyelamatkan hutan bakau di Pulau Pahawang yang
dirusak para pencari cacing untuk pakan udang.
Belasan pelajar SD Negeri Pulau Pahawang, beramai-ramai
turun ke pantai. Masih mengenakan seragam sekolah, mereka terjun ke lumpur
untuk menanam benih bakau di sepanjang zona kritis pulau itu.
Siswa tampak riang gembira mengikuti pelajaran ekstra itu.
Sebab, Yulianti, ibu Guru mereka, pandai mengemas acara menjadi menyenangkan.
Mereka tampak riang membersihkan sampah dan bebatuan yang berserakan di lokasi
penanaman bibit bakau. Karena dikerjakan sembari menyanyi dan bersenda-gurau,
anak-anak itu betah berlama-lama berkotor lumpur.
Setelah lama didampingi LSM, kehidupan warga Desa Pulau Pahawang sedikit
berubah. Mereka tidak lagi menggunakan bom dan racun untuk menangkap ikan.
Kesadaran akan arti pentingnya hutan mangrove juga sudah tumbuh. Berbagai
teknik budidaya, baik perikanan maupun pertanian juga
mulai digeliatkan warga
desa itu.
Meskipun demikian, permasalahan masih menggunduk di desa
pulau itu. Di antaranya soal pentingnya kesehatan. Banyak warga masih buang
hajat di sembarang tempat. Ini kebiasaan lama yang sulit diubah. Hanya sekitar
20 persen warga yang rumahnya memiliki kamar mandi dengan jamban.
Dulu, pada tahun 2002, Pemkab Lampung Selatan membangun
delapan fasilitas MCK (mandi, cuci, kakus) untuk 403 keluarga di sini. Di
setiap dusun dibangun dua MCK. Sayang, karena kurangnya kesadaran masyarakat
terhadap kesehatan lingkungan, MCK itu akhirnya rusak. Sekarang, fasilitas umum
itu tinggal satu yang bisa dipakai.
Warga masih menjadikan laut sebagai jamban. Sebagian besar
mereka tidak memahami kebiasaan buruk itu menyebabkan penduduk rawan penyakit
kulit, diare, dan penyakit lainnya. Kecuali itu, di pulau ini hanya ada satu
tenaga kesehatan, bidan desa, yang dikirim Dinas Kesehatan sejak tahun 1998.
Hingga kini belum ada tambahan tenaga kesehatan baru.
Meskipun demikian, kehidupan warga Desa Pulau Pahawang
sudah membaik. Warga tidak ada lagi yang berani menangkap ikan dengan racun dan
bom. Mereka juga tidak mau menebangi pohon di tepi pantai dan di Gunung
Pahawang. Ini berkat kerja tak kenal pamrih dari para aktivis.







