Solilokui Dahta Gautama: Kami dan Om Napitu. Idul Fitri dan Natal

Dulu, sudah lama. Kami bertetangga dengan saudara kami dari suku Batak. Mereka keluarga yang ramai. Om Napitu (begitu saya sapa kepala keluarga tetangga), punya 6 orang anak. 3 lelaki dan 3 perempuan. Yang laki-laki ganteng dan badannya bersih-bers...

Solilokui Dahta Gautama: Kami dan Om Napitu. Idul Fitri dan Natal

Dulu, sudah lama. Kami bertetangga dengan saudara kami dari suku Batak. Mereka keluarga yang ramai. Om Napitu (begitu saya sapa kepala keluarga tetangga), punya 6 orang anak. 3 lelaki dan 3 perempuan. Yang laki-laki ganteng dan badannya bersih-bersih, yang perempuan tubuhnya besar-besar dan putih.

Saya sudah bujang, pulang merantau dari Jakarta, umur saya 23. Dan anak-anak om Napitu, paling besar SMA. Semua familier, kepada kami yang warga pribumi Lampung Pubian, Hajimena. Tante Napitu (sebutan saya untuk istri om Napitu), juga sangat renyah. Mulutnya ringan, gembira, dan gemar menyapa.

Entah apa nama benarnya, saya menyebutnya sebagai Butet. Ya.. Butet, begitu saya menyapa anak perempuan nomor 3 dari keluarga itu. SMP kelas 2.

Gadis tanggung ini, rajin bikin kolak pisang, kadang es cincau dan kolang-kaling, diantar ke rumah kami sebelum jam 6 sore, 30 menit – 1 jam sebelum bedug magrib.

Saya tanya ayah, soal pemberian panganan untuk berbuka itu. Maklum, selama bertahun-tahun saya berada di luar rumah, jadi tak paham benar soal tradisi “munjungan” kolak dan cendol itu.

Mengingat tetangga sebelah, keluarga Om Napitu, yang saya tahu adalah penganut Kristen taat. Rumah mereka kosong saban hari Minggu, ke Gereja untuk Kebaktian.

Ayah bilang, sudah terbiasa begitu. Saban sore Butet antar kolak dan panganan lain untuk tambahan menu berbuka. “Kita juga suka kasih mereka makanan khas untuk berbuka kepada mereka, kurma dan apa yang kita sayur, supaya mereka menyicipi juga. Bertetangga harus begitu, meski kita beda keyakinan,” kata ayah kepada saya.

Dijelaskan ayah, mereka orang pertama yang menyicipi rendang dan gulai opor ayam, pas masak-memasak sehari sebelum Lebaran.

Benar saja, pada Idul Fitri pagi tahun 1997, Om Napitu, istri dan anak-anaknya, adalah tamu pertama kami yang mengucapkan Minal Aidin Wal Faidzin.

Begitulah, tradisi bertetangga yang pernah saya jalani, dulu, ketika ayah masih ada. Ketika saya masih berada di kampung, yang kini telah menjelma kota.

Ayah, yang suku Lampung klutuk, bikin saya paham, bagaimana harus memperlakukan tetangga, ataupun siapa saja, yang berbeda agama dan suku. Berbeda tabiat dan kebiasaan.

Dari itu, saya paham, bagaimana sikap menghormati ternyata sangat universal dan “tidak aneh”.
Dari ayah, saya mengerti, dan mengajarkan hal serupa kepada anak-anak saya, bagaimana dan dimana meletakkan “sikap santun” kepada tetangga atau siapapun yang berbeda.

Dan dari keluarga Om Napitu, saya belajar, bagaimana “cinta kasih” dikemas.