Sempat kulirik sesobek kertas dari kitab takdir
Hudan Hidayat “alangkah sepi, ia yang mati” ia memakai tatto kalajengking di kakinya – mungkin di tangannya; ia, entah lanang entah betina – apakah masih penting identitas semacam itu, untuk bahasa? tapi ia me...

Hudan Hidayat
“alangkah sepi, ia yang mati”
ia memakai tatto kalajengking di kakinya – mungkin di tangannya; ia, entah lanang entah betina – apakah masih penting identitas semacam itu, untuk bahasa? tapi ia memang membuat puisi, dengan nama, “betina”. kadang-kadang kita belajar tentang tema – tapi mungkin bukan gaya/stylenya, yang agak biasa di ‘betina’ ini, lewat kalimat yang barangkali saja terpasang di akhir, walau betina itu sendiri, sudah tak mengatakan “kelembutan” dari bunyi misal bunyi “perempuan”. tapi, betina. dan inilah tema-nya:
ia harus pulang
membawa segenggam garam
agar rumahnya tak lagi tawar
sepertinya ada lagu titik puspa di sini – kupu-kupu malam; ada nyeri yang kita baca di akhir kalimat, puisi betina-nya ini, suatu riwayat dari kematangan berucap juga: kita pulang, membawa ingin adalah garam, yang pedih bila dituang ke luka itu; agar rumah tak tawar, dari masakan kaum, “perempuan” bukan, “betina”. tapi ini betina yang bercerita, sebuah nama yang artinya, tegar – jantan. lanang.
pagi, dari suatu percintaan yang aneh, oleh ia tumbuh tiba-tiba dan tapi oleh, bayangan intuitif kita bahwa di sana, entah di mana, mungkin di rumahnya, tak ada cinta semacam, yang ia rasakan oleh tumbuh mendadak – oleh kejantanan si lanang? oleh, begitu banyak oleh ini dan itulah yang ia bawa pulang: ia perempuan tapi betina yang mengais-ngais: ia harus pulang, bukan, membawa setumpuk nasib yang menyeretnya, keluar dari dunia domestik tapi demi dunia dalam itu juga: garam artinya uang, agar sayur mayur di rumah, katanya, dan pedih kata katanya ini, “tak tawar”.
Begitulah mungkin bahasa, memcoborkan tema-nya lewat gaya, yang mungkin biasa saja, ini.
tapi ia suka merenung dan katanya: suwung (nama sebuah puisinya) dan katanya: ia jatuhkan saja satu titik (tanda: .), pada suwung-nya itu. kita tahu apa artinya itu – seperti kita tahu apa suwung, yang diangkat tapi terjatuh jadi titik itu. jiwa hendak kesuwung, mesti mengangkat, tapi ia jatuh juga: itu buktinya, titik, di sebuah kalimat yang di betina, panjang juga ia seret. tapi bahasa tak pernah bisa di-suwung-kan: ia kuncup mekar sendiri. titik berarti juga dunia, alam ini, yang menjadi suwung dan kita, titik itu, adalah diri yang begitu teluk di suwung-nya.
ia memang suka “suwung” dan ia menulis, sebuah tinjauan impresi sebuah buku: mati baik-baik kawan, begitu nama buku itu dan begitu pula nama tulisannya, tentang buku itu. sesekali aku ke gramedia dan sesekali aku ingin melihat buku, dan ia petiklah “suwung” itu, sebuah pengap tersekap, seolah suwung, seakan butuh suwung – pendek kata, sebuah kehidupan yang direnggutkan dari porosnya. maka, mati baik baik saja kawan, tak usah direnggutkan seperti ini. artinya pula: biarkan aku ini mati alamiah jangan kau tusuk sama sangkurmu itu, kira-kiranya. tapi dunia tak begitu: akan selalu ada orang yang ditusuk, seperti ada orang yang menusuk. akhirnya, kita butuh perenungan itu: menyuwung lewat sebuah diri yang menjadi titik: teluk di sebuah suwung sebagai nama sebuah puisi.
benar pemaknaannya telah kita tarik sendiri, tapi setidaknya, suwung yang dijatuhi oleh titik itu, itulah bahan awalnya.
Betina
malam yang dingin dan telanjang
pupur itu baru saja luntur
gincu merahnya tak lagi nyala membara
bayang-bayang di cermin hanya menampilkan siluet pasi
dusta setangkai kembang cantik
yang mengejang dengan segala kewangian
berlalu dengan pahatan kenangan
betina, sebagai sebuah kata, seolah isi suwung itu juga: (hanya tanda) yakni titik. satu titik, satu manusia adalah betina di bawah alam ini – tapi toh ia harus pulang membawa garam ke rumahnya.
pupur itu baru saja luntur, sebuah kematian dari kecantikan fisik yang harus – bedak membuat wajah jadi cantik, tapi bedak juga sebuah gincur dari hati yang tak ingin: olehnya ia luntur, nasib itu tak sepenuhnya kita ingin, olehnya kita tolak – luntur, bukan? kita tak inginkan dan agarlah ia (me)luntur saja dari wajah ini – dari badan kita ini; agar nasib jadi berubah. kata iwan fals: nasib tak pernah berubah. hitam saja warnanya.
tetapi saya ingin masuk ke kamarnya – ke “sebuah kamar”-nya (nama puisi “si kalajengking” ini, yang lain – demikian ia kusebut karena, (hehe) toh pengarang telah mati, telah meninggal seperti banyaknya bunyi bunyi kematian di tema(tik) si kalajengking ini.
“sebuah kamar” itu menggoda saya justru oleh dua dunia di sana: dunia misteri, yang kita sukai, dunia bahasa yang tampak biasa/rutin saja sebagai sebuah puisi, yang tak begitu kita minati. mata pebahasa yang baik, akan melihatnya walau ia dalam suatu bahasa yang bercampur. maksud saya baris-baris ini menggoda – tapi tampak kurang pada baris baris selanjutnya.
sebuah kamar
petak-petak
sebuah gemerincing
kunci yang diputar berulang-ulang
tadi siang
sudah itu senyap
mungkin saja puisi ini musti berhenti di sini, tak perlu maju lagi. sebab di sinilah ada puisi, dari dunia kata-kata yang hadir tak secara rutin lagi. tapi penuh kejutan karena ia pendek? bukan: karena apa isi yang hendak ia katakan, dengan ringkas, dan karena itu, tapi ia memang membawa pesona dari tanda tanya itu, yang dibuat pendek, tak rutin sebagaimana bahasa puisi – selanjutnya, di baris baris puisi ini.
saya terbiasa membaca ini, tak menimbulkan sensasi lagi?
seonggok jasad terbujur
matanya ditutup maut
baik kita pasang baris baris sambungannya ini, yang mungkin bisa lebih mengatakan apa maksud itu.
tapi, hujan dan angin
yang meliuk di pepohonan
terbata dan mengeluh
hampa dan perih bunyi
mengikis damai di hati
apalah arti suka dalam hidup ini
mulai kelihatan rutin itu: yang meliuk di pepohonan // terbata dan mengeluh – lukisan yang tak sukar kita membacanya, biasa, tak lagi menimbulkan sensasi dari kepengalaman akan hidup.
tapi cobalah kita lihat paduan atas itu.
baris baris gugup, baris baris tercekat, atau baris baris orang menghitung pendek pendek – nah sudah begitu banyak sensasi-nya. ia tak meluncur rutin lagi: (misa): yang meliuk di pepohonan, atau: terbata dan mengeluh, bahasa yang datar saja itu, tak membawakan kemungkinan dari apa adanya dia. ia tak melakukan, kata teori itu: disproporsi dari dirinya.
apakah “sebuah kamar” itu melakukannya? tidak juga bila ia hanya sendirian di sana. tapi itu rantai kata, larik puisi. pendek pendek, membawa kemungkinan, janji akan – kemungkinan yang kita raba raba apa-nya. pendek pendek, ya seolah gugup, seakan tercekat, seolah berita bahwa ada yang akan terjadi dan ini saya lukiskan landskapnya.
kita langsung menjadi “penghuni” di sana: di “sebuah kamar”, seolah masuk ke dalam, sebuah jiwa manusia. diberi janji “petak-petak” dari nasib penghuninya, seolah masuk ke dalam petak-petak nasib kita. tafsir? sungguh benar, tuan: olehnya ia disebut puisi, yang memberi umpan baik untuk bergeraknya tafsir. tak baik, kukira, yang meliuk di pepohonan, terbata dan mengeluh, tadi itu. ia biasa, tak perlu ditafsirkan (baca: ia tak menggoda tafsir. ia hanya kita pandangi saja. hidup tak diolah di sana: di “meliuk” itu.
cobalah timbang pikiran saya ini:
lepaskan awalnya: (se) kini jadi “buah” saja, bukan: ia buah kamar bukan se-buah lagi. inilah sensasi: kamar itu oleh hadirnya (se)buah membawa akibat buah isi: sebuah kamar jadi sebuah yang mungkin penuh/ada isi, di petak petak-nya. insting yang bergerak di sini, bukan ratio, tapi insting yang intuitif menyampaikan kisahnya. jadi bahasa di sini jujur pada hidupnya. ia pure dan oleh itu, insting intuisi membantunya. ia bukan ratio yang mencari tapi hati dalam yang meletup itu.
ada pengalaman lama tersekap di sini, pengalaman hidup yang barangkali seperti kata nietzsche tadi: kuambil dari jalanan. kuambil dari dalam hidup manusia. tapi ia tak jadi tanpa petak petak – seolah dalam neraka saja: tingkatan tingkatan nama, isi petak petak, tanpa gemerincing, seolah maut yang hendak datang saja. atau wahyu yang hendak turun, berbunyi gemerincing, atau seolah gelang dari besi yang dirantaikan pada, sebuah kisah di manusia.
sebuah itulah yang tampak berupaya menangkapnya: agar jangan berbunyi lagi di kamar ini. sebuah gemerincing. gemerincing dari banyak bunyi, tapi ia sebuah dan lagi lagi se buah itu membantu kita: bunyi itu banyak, bukan (se) buah tapi hasil: gemerincing, dari serantai kunci nasib di tangan manusia. yang kini hendak ia buka dan menyala-lah bel kehidupan itu: ia berbunyi, bergemerincing di sebuah nasib adalah diriku seorang ini.
lain sekali penampilan bahasa itu dengan keterangan yang jelas di bawah itu. tapi lagi lagi: rasio sukar membuat hal seperti itu. ia otentik dari dalam. ia sudah nasibnya dilahirkan, ia bukan dikarang karang tapi buah dari pahitnya petak petak kamar dalam hidupnya – hidup bahasa ini, tuan tuan.
“Sempat kulirik sesobek kertas dari kitab takdir…”
16 Desember 2014 pukul 21:38