Sebulan, Tiga Kasus Pelecehan Seksual terhadap Santriwati di Bawah Umur Terjadi di Lampung

Zainal Asikin | Teraslampung.com BANDARLAMPUNG–Kasus pelecehan seksual terhadap anak di bawah umur menimpa korban kalangan santriwati di tiga kabupaten di Provinsi Lampung. Mirisnya, para korban tersebut dicabuli di lingkungan pondok pesantren...

Sebulan, Tiga Kasus Pelecehan Seksual terhadap Santriwati di Bawah Umur Terjadi di Lampung
Ilustrasi pelecehan seksual/sumber: shutterstock.com

Zainal Asikin | Teraslampung.com

BANDARLAMPUNG–Kasus pelecehan seksual terhadap anak di bawah umur menimpa korban kalangan santriwati di tiga kabupaten di Provinsi Lampung. Mirisnya, para korban tersebut dicabuli di lingkungan pondok pesantren (Ponpes).

Berdasarkan data yang dihimpun teraslampung.com, ketiga kasus asusila terhadap santriwati anak itu terjadi di Kabupaten Lampung Utara, Tulangbawang Barat dan Lampung Selatan.

Kasus asusila yang terjadi di Kabupaten Lampung Utara, pelakunya pimpinan ponpes berinisial AH (45) diduga mencabuli santriwati berinsial LA berusia 14 tahun pada Desember 2022 lalu. Korban, dicabuli pelaku di rumah pelaku yang berada di lingkungan Ponpes.

Modusnya,  awalnya pelaku memanggil korban untuk membantu membersihkan rumahnya. Setelah selesai, pelaku menarik korban serta mendorong korban di atas kasur lalu mencabuli korban. Pelaku AH ditangkap berdasarkan laporan orangtua korban.

Saat ini pelaku ditahan di Mapolres Lampung Utara. Dari hasil pemeriksaan, Pelaku AH diduga mencabuli empat orang santrinya.

Kemudian memasuki awal tahun 2023 ada dua kasus asusila. Pertama terjadi di pondok pesantren  Kabupaten Tulangbawang Barat (Tubabar). Pelaku pelecehan seksual tersebut berinisial AH (45) yang merupakan pimpinan ponpes itu sendiri.

Saat melakukan aksi bejat itu, pelaku AH memanggil ketiga korban dengan dalih minta dibuatkan secangkir teh. Lalu pelaku memaksa ketiga korban untuk masuk ke dalam kamar. Untuk meyakinkan korban, pelaku membujuk korban dengan dalih akan mendapatkan barokah jika mau disetubuhi.

Kasus itu terbongkar, setelah salah satu keluarga korban melaporkan perbuatan bejat pelaku AA ke Mapolres Tulangbawang Barat. Dari laporan itu, polisi menangkap AH dan saat ini pelaku telah ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan.

Kemudian kasus asusila kedua di Kabupaten Lampung Selatan, dimana pelakunya berinisial MI yang juga merupakan pimpinan Ponpes. Pada kasus tersebut, pelaku MI diduga melakukan pelecehan seksual terhadap tiga orang santriwatinya.

Selanjutnya, MI dipanggil Polres Lampung Selatan berdasarkan laporan dari pihak keluarga korban untuk dilakukan pemeriksaan, hingga akhirnya pelaku MI ditetapkan tersangka dan ditahan.

Menanggapi peristiwa kejahatan seksual yang terjadi di tiga Ponpes itu, Direktur Eksekutif Lembaga Advokasi Perempuan DAMAR, Ana Yunita Pratiwi menyayangkan, awal tahun 2023 disambut beragam kasus kekerasan seksual di Lampung, terutama kekerasan seksual yang terjadi di lembaga pendidikan berbasis agama Pondok pesantren (Ponpes).

“Kami sangat prihatin dan menyayangkan adanya peristiwa pelecehan seksual itu. Pesantren yang seharusnya menjadi ruang aman dan transformasi pengetahuan ajaran agama dan moral bangsa, ini justru dikotori dengan perbuatan asusila,”kata Direktur Eksekutif Lembaga Advokasi Perempuan DAMAR, Ana Yunita Pratiwi, kepada teraslampung.com, Minggu (8/1).

Ana mengatakan, Lembaga Advokasi perempuan DAMAR bersama jaringan satu suara untuk keadilan korban kekerasan seksual, meminta kepada pihak kepolisian melakukan pengusutan tuntas perkara dugaan tindak pidana kekerasan seksual, dan mengingatkan mandat UU No 12 tahun 2022 tentang tindak pidana kekerasan seksual.

Menurutnnya, perkara tindak pidana kekerasan seksual, tidak dapat dilakukan penyelesaian di luar proses peradilan. Kemudian, korban berhak memperoleh informasi seluruh proses dan hasil penanganan, perlindungan, dan pemulihan. Selain itu, hak mendapatkan dokumen hasil penanganan, hak atas layanan hukum, hak atas penguatan psikologis, hak atas pelayanan kesehatan, hak atas layanan dan fasilitas sesuai dengan kebutuhan khusus korban.

“Korban kekerasan seksual berhak memperoleh hak korban atas pemulihan baik sebelum, selama hingga setelah proses peradilan,”ujarnya.

Selain itu, kata Ana, pihaknya mendorong pihak kepolisian dalam aspek penegakkan hukum, agar memberikan pemberatan hukuman terhadap para pelaku kejahatan seksual terhadap anak tersebut.

“Para pelaku kejahatan seksual tersebut, harus diberikan hukuman lebih berat. Ini agar menjadi contoh dan efek jera terhadap para pelaku kejahatan seksual, dengan tujuan agar tidak ada lagi perempuan dan khususnya anak-anak menjadi korban pelecehan seksual,”ungkapnya.

Menurutnya, relasi kuasa juga melekat di pesantren. Sehingga citra diri sebagai tokoh agama memiliki keilmuan agama atau sosok alim, nilai-nilai keta’dziman (taat) yang ditawarkan kepada santrinya untuk memperoleh keberkahan guru dan semua perkataan kyai dan keluarga merupakan sesuatu yang harus dilakukan jika tidak akan mengurangi keberkahan maupun syafaat.

“Kekerasan seksual, juga rentan terjadi untuk dalih memperoleh keberkahan dan sebagainya. Pelaku, biasanya dianggap memiliki kebenaran hakiki baik ucapan dan tindakannya. Hingga sedikit masyarakat yang mempercayai kebenaran peristiwa kekerasan yang dialami korban,”kata dia.

Dikatakannya, Kementerian Agama (Kemenag) RI telah menerbitkan Peraturan Menteri Agama (PMA) Nomor 73 Tahun 2022 Tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di satuan pendidikan pada Kementerian Agama.

“Berdasarkan hal itu, kami mendorong Kemenag RI dan Kantor wilayah (Kanwil) Kemenag Lampung melakukan sosialisasi dan implementasi kebijakan PMA No.73 Tahun 2022 ke seluruh lembaga berbasis keagamaan (formal dan non formal) dengan menekankan keberpihakan terhadap korban,”jelasnya.

Tidak hanya itu saja, DAMAR mendorong Kemenag RI dan Kanwil Kemenag Lampung untuk menyusun standar perizinan mendirikan lembaga pendidikan keagamaan bertingkat untuk non formal, informal dan formal, serta membangun sistem dan mekanisme evaluasi dan monitoring lembaga pendidikan berbasis agama dalam upaya pencegahan kekerasan seksual.

Kemudian, melakukan publikasi lembaga-lembaga itu secara terbuka di website Kemenag. Peningkatan kapasitas bagi seluruh civitas akademik di lembaga pendidikan agama (formal dan non formal) terkait pencegahan dan penanganan kekerasan seksual. Partisipasi seluruh stakeholder dalam perencanaan, pelaksanaan dan monev dalam upaya pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di lembaga pendidikan dan keagamaan lainnya.